Amalan di Bulan Syawal Berdasar Hadis Sahih, Dhaif, dan Palsu
Senin, 25 Mei 2020 - 07:48 WIB
Syawal merupakan salah satu bulan hijriah yang dianjurkan melakukan puasa enam hari setelah Idul fitri . Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab yang mengutip beberapa pendapat ahli bahasa mengungkapkan alasan penamaan bulan hijriah yang jatuh setelah Ramadan tersebut disebut dengan Syawwāl.
Konon, pada musim bulan Syawal susu unta betina hanya keluar sedikit. Dalam bahasa Arab, fenomena tersebut dikenal dengan tasywīl laban al-ibil, kondisi susu unta yang menjadi sedikit. Menurut pendapat ini, kata Syawal berasal dari bahasa Arab syawwala yang berarti ‘menjadi sedikit (susu unta atau perbekalan).
Selain itu, ada juga ahli bahasa yang menyebutkan bahwa kata Syawal berkaitan dengan fenomena orang Arab Jahiliah yang enggan menikah pada bulan tersebut. Mereka beranggapan bahwa menikah pada bulan Syawal dapat membuat sial pasangan pengantin.
Nah, fenomena ini dimetaforkan oleh orang Arab pada masa lalu dengan perilaku unta betina yang enggan dikawin jantannya. Saat unta jantan hendak membuahi, unta betina menolak sambil menggerakkan buntutnya. Dalam bahasa Arab, unta betina yang menggerak-gerakkan buntutnya sebagai tanda penolakan itu disebut syāla bi dzanabiha.
Mitos larangan menikah pada bulan Syawal dalam tradisi Jahiliah ini lantas ditentang oleh Nabi Muhammad saw. Beliau sendiri menikahi beberapa istrinya pada bulan Syawal. Paling tidak ada tiga istri Nabi yang dinikahi pada bulan Syawal
Sementara itu, Ibnul ‘Allan Asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta yang mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang. (Dalil al Falihin li Syarh Riyadh al Shalihin – karya Muhammad bin ‘Allan al Shiddiqi al Syafii al Maki)
Seusai bulan syawal, orang akan memasuki bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. Di tiga bulan ini, tidak dibolehkan terjadinya peperangan.
Kini, banyak orang beranggapan bahwa syawal adalah bulan peningkatan, dalam arti peningkatan amal dan kebaikan. Barangkali anggapan ini didasari makna bahasa kata: syawal di atas.
Akan tetapi, kurang tepat jika dikatakan bahwa sebab mengapa bulan ini dinamakan syawal adalah karena seusai Ramadhan, manusia melakukan peningkatan dalam beramal dan berbuat baik. Karena nama bulan “syawal” sudah ada sejak zaman jahiliyah (sebelum datangnya Islam), sementara masyarakat jahiliyah belum mengenal syariat puasa di bulan Ramadhan.
Hadis Sahid dan Dhaif
Ada beberapa hadis sahih seputar bulan Syawal. Namun juga ada hadis dhaif bahkan palsu tentang hal-hal yang terkait bulan ini.
Hadis sahih terkait Syawal, bisa dicontohkan: Pertama, dari Abu Ayyub radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berpuasa Ramadlan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad & Muslim)
Hadis kedua , A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Biasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf di hari terakhir bulan Ramadlan. Aku buatkan kemah untuk beliau. Setelah selesai salat subuh, beliau memasukinya. Kemudian Hafshah minta izin Aisyah untuk membuat kemah, Aisyah-pun mengizinkannya. Katika Zainab melihatnya, dia-pun ikut membuat kemah. Di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah.
Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” Kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Sedangkan hadis dhaif bahkan palsu bisa disebut antara lain: Pertama, dari Muhammad bin Ibrahim At Taimy, bahwa Usamah bin Zaid radliallahu ‘anhu sering berpuasa di bulan-bulan haram. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Puasalah bulan syawal.”
Kemudian Usamah meninggalkan puasa bulan-bulan haram, dan beliau selalu berpuasa bulan syawal sampai beliau meninggal. (HR. Ibn Majah dan didhaifkan Syaikh Al Albani, karena sanadnya terputus)
Kedua, hadis: “Barangsiapa yang salat pada malam idul fitri seratus rakaat, setiap rakaat dia membaca Al Fatihah sekali dan surat Al Ikhlas sepululh kali….”(Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/130 dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal.52)
Ketiga, hadis: “Siapa yang salat empat rakaat setelah salat idul fitri, di rakaat pertama dia membaca Al Fatihah…seolah dia telah membaca semua kitab yang Allah turunkan kepada para nabinya.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/130 dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal.52).
Keempat, hadis: “Termasuk sunnah, salat dua belas rakaat setelah salat idul fitri, dan enam rakaat setelah Idul Adha.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 52)
Kelima, hadist: “Siapa yang menghidupkan empat malam (dengan beribadah) maka dia wajib masuk surga: malam tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah), malam ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), malam Idul Adha, dan malam idul fitri.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Ilal Al Mutanahiyah, 2/78, dan Al Albani dalam Silsilah hadis Dlaif)
Amalan Sunnah
Pertama, Salat hari raya (id) di lapangan. Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan,”Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat idul fitri dan idul adha…”(HR. Al Bukhari & Muslim)
Kedua, puasa sunah 6 hari. Dari Abu Ayyub radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berpuasa Ramadlan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad & Muslim)
Hanya saja, ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal: ( )
Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarok. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah idul fitri. Karena itu adalah hari makan dan minum. Namun sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. (Lathaiful Ma’arif, hlm. 244)
Ketiga, i’tikaf. Dianjurkan bagi orang yang terbiasa melakukan i’tikaf, kemudian karena satu dan lain hal, dia tidak bisa melaksanakan i’tikaf di bulan Ramadlan maka dianjurkan untuk melaksanakannya di bulan Syawal, sebagai bentuk qadla sunnah.
Dari A’isyah, beliau menceritakan i’tikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Abu Thayib abadi mengatakan,”I’tikaf beliau di bulan Syawal sebagai ganti (qadla) untuk i’tikaf bulan Ramadlan yang beliau tinggalkan…”(Aunul Ma’bud-syarah Abu Daud, 7/99)
Keempat, membangun rumah tangga/menikah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah (campur) denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku. A’isyah suka jika wanita dinikahi bulan Syawal.” (HR. Ahmad & Muslim)
An Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikah dan membangun rumah tangga (campur) di bulan Syawal. Para ulama madzhab kami (syafi’iyah) menegaskan anjuran hal ini. Mereka berdalil dengan hadis ini…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)
Diantara hikmah dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah menyelisihi keyakinan dan kebiasaan masyarakat jahiliyah.
Imam An Nawawi mengatakan, “Tujuan A’isyah menceritakan hal ini adalah dalam rangka membantah anggapan jahiliyah dan keyakinan tahayul orang awam di zamannya. Mereka membenci acara pernikahan di bulan syawal, karena diyakini membawa sial. Ini adalah keyakinan yang salah, tidak memilliki landasan, dan termasuk kebiasaan jahiliyah, dimana mereka beranggapan sial dengan bulan syawal. ( )
Konon, pada musim bulan Syawal susu unta betina hanya keluar sedikit. Dalam bahasa Arab, fenomena tersebut dikenal dengan tasywīl laban al-ibil, kondisi susu unta yang menjadi sedikit. Menurut pendapat ini, kata Syawal berasal dari bahasa Arab syawwala yang berarti ‘menjadi sedikit (susu unta atau perbekalan).
Selain itu, ada juga ahli bahasa yang menyebutkan bahwa kata Syawal berkaitan dengan fenomena orang Arab Jahiliah yang enggan menikah pada bulan tersebut. Mereka beranggapan bahwa menikah pada bulan Syawal dapat membuat sial pasangan pengantin.
Nah, fenomena ini dimetaforkan oleh orang Arab pada masa lalu dengan perilaku unta betina yang enggan dikawin jantannya. Saat unta jantan hendak membuahi, unta betina menolak sambil menggerakkan buntutnya. Dalam bahasa Arab, unta betina yang menggerak-gerakkan buntutnya sebagai tanda penolakan itu disebut syāla bi dzanabiha.
Mitos larangan menikah pada bulan Syawal dalam tradisi Jahiliah ini lantas ditentang oleh Nabi Muhammad saw. Beliau sendiri menikahi beberapa istrinya pada bulan Syawal. Paling tidak ada tiga istri Nabi yang dinikahi pada bulan Syawal
Sementara itu, Ibnul ‘Allan Asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta yang mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang. (Dalil al Falihin li Syarh Riyadh al Shalihin – karya Muhammad bin ‘Allan al Shiddiqi al Syafii al Maki)
Seusai bulan syawal, orang akan memasuki bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. Di tiga bulan ini, tidak dibolehkan terjadinya peperangan.
Kini, banyak orang beranggapan bahwa syawal adalah bulan peningkatan, dalam arti peningkatan amal dan kebaikan. Barangkali anggapan ini didasari makna bahasa kata: syawal di atas.
Akan tetapi, kurang tepat jika dikatakan bahwa sebab mengapa bulan ini dinamakan syawal adalah karena seusai Ramadhan, manusia melakukan peningkatan dalam beramal dan berbuat baik. Karena nama bulan “syawal” sudah ada sejak zaman jahiliyah (sebelum datangnya Islam), sementara masyarakat jahiliyah belum mengenal syariat puasa di bulan Ramadhan.
Hadis Sahid dan Dhaif
Ada beberapa hadis sahih seputar bulan Syawal. Namun juga ada hadis dhaif bahkan palsu tentang hal-hal yang terkait bulan ini.
Hadis sahih terkait Syawal, bisa dicontohkan: Pertama, dari Abu Ayyub radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berpuasa Ramadlan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad & Muslim)
Hadis kedua , A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Biasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf di hari terakhir bulan Ramadlan. Aku buatkan kemah untuk beliau. Setelah selesai salat subuh, beliau memasukinya. Kemudian Hafshah minta izin Aisyah untuk membuat kemah, Aisyah-pun mengizinkannya. Katika Zainab melihatnya, dia-pun ikut membuat kemah. Di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah.
Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” Kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Sedangkan hadis dhaif bahkan palsu bisa disebut antara lain: Pertama, dari Muhammad bin Ibrahim At Taimy, bahwa Usamah bin Zaid radliallahu ‘anhu sering berpuasa di bulan-bulan haram. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Puasalah bulan syawal.”
Kemudian Usamah meninggalkan puasa bulan-bulan haram, dan beliau selalu berpuasa bulan syawal sampai beliau meninggal. (HR. Ibn Majah dan didhaifkan Syaikh Al Albani, karena sanadnya terputus)
Kedua, hadis: “Barangsiapa yang salat pada malam idul fitri seratus rakaat, setiap rakaat dia membaca Al Fatihah sekali dan surat Al Ikhlas sepululh kali….”(Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/130 dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal.52)
Ketiga, hadis: “Siapa yang salat empat rakaat setelah salat idul fitri, di rakaat pertama dia membaca Al Fatihah…seolah dia telah membaca semua kitab yang Allah turunkan kepada para nabinya.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/130 dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal.52).
Keempat, hadis: “Termasuk sunnah, salat dua belas rakaat setelah salat idul fitri, dan enam rakaat setelah Idul Adha.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 52)
Kelima, hadist: “Siapa yang menghidupkan empat malam (dengan beribadah) maka dia wajib masuk surga: malam tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah), malam ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), malam Idul Adha, dan malam idul fitri.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Ilal Al Mutanahiyah, 2/78, dan Al Albani dalam Silsilah hadis Dlaif)
Amalan Sunnah
Pertama, Salat hari raya (id) di lapangan. Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan,”Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat idul fitri dan idul adha…”(HR. Al Bukhari & Muslim)
Kedua, puasa sunah 6 hari. Dari Abu Ayyub radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berpuasa Ramadlan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad & Muslim)
Hanya saja, ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal: ( )
Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarok. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah idul fitri. Karena itu adalah hari makan dan minum. Namun sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. (Lathaiful Ma’arif, hlm. 244)
Ketiga, i’tikaf. Dianjurkan bagi orang yang terbiasa melakukan i’tikaf, kemudian karena satu dan lain hal, dia tidak bisa melaksanakan i’tikaf di bulan Ramadlan maka dianjurkan untuk melaksanakannya di bulan Syawal, sebagai bentuk qadla sunnah.
Dari A’isyah, beliau menceritakan i’tikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Abu Thayib abadi mengatakan,”I’tikaf beliau di bulan Syawal sebagai ganti (qadla) untuk i’tikaf bulan Ramadlan yang beliau tinggalkan…”(Aunul Ma’bud-syarah Abu Daud, 7/99)
Keempat, membangun rumah tangga/menikah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah (campur) denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku. A’isyah suka jika wanita dinikahi bulan Syawal.” (HR. Ahmad & Muslim)
An Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikah dan membangun rumah tangga (campur) di bulan Syawal. Para ulama madzhab kami (syafi’iyah) menegaskan anjuran hal ini. Mereka berdalil dengan hadis ini…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)
Diantara hikmah dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah menyelisihi keyakinan dan kebiasaan masyarakat jahiliyah.
Imam An Nawawi mengatakan, “Tujuan A’isyah menceritakan hal ini adalah dalam rangka membantah anggapan jahiliyah dan keyakinan tahayul orang awam di zamannya. Mereka membenci acara pernikahan di bulan syawal, karena diyakini membawa sial. Ini adalah keyakinan yang salah, tidak memilliki landasan, dan termasuk kebiasaan jahiliyah, dimana mereka beranggapan sial dengan bulan syawal. ( )
(mhy)