Pergaulan dan Syirik Tersembunyi
Selasa, 29 Juni 2021 - 18:19 WIB
Sebagai mukmin, kita perlu untuk terus mengecas keimanan . Bukan hanya datang ke kajian-kajian saja, tetapi datang berziarah ke para ulama untuk mendapatkan siraman rohani serta untuk mendapatkan nasihat-nasihat yang mulia.
Siraman dan nasehat itu perlu, agar kita tidak salah memilih bergaul sehingga berdampak pada keimanan kita sendiri. Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, MA, dalam salah satu tayangan ceramahnya menjelaskan, para ulama menyebutkan bahwasanya pergaulan kita dengan manusia itu ada 4 jenis, yakni:
Pertama, pergaulan seperti makanan bergizi yang kita perlu mengkonsumsinya setiap hari, bahkan tidak sekali dalam sehari. Seperti itulah pergaulan kita dengan orang-orang berilmu, orang-orang shalih yang senantiasa mengingatkan kita kepada Allah, yang melihat mereka saja sudah menambahkan keimanan kita.
Kedua, pergaulan seperti obat. Yaitu kita bergaul dengan manusia hanya tatkala perlu. Seperti obat, tatkala kita sakit kita minum obat, adapun jika sehat, tidak perlu. Dan obat tidak boleh overdosis , karena ketika overdosis maka akan menjadi penyakit.
Siapa yang seperti obat itu? Yaitu bergaul dengan orang-orang yang kita perlukan bergaul sama mereka. Yaitu teman-teman bisnis kita, kolega-kolega, kawan-kawan sejawat. Kita bekerja dan memang perlu berjumpa dengan mereka, kita perlu rapat, duduk sama mereka, tapi secukupnya, jangan sampai overdosis.
Ketiga, ibarat penyakit. Yaitu pergaulan dengan orang-orang yang tidak bermanfaat untuk dunia dan akhirat. Waktu habis, luang begitu saja tanpa ada manfaat baik dunia maupun akhirat. Ada yang bergaul dengan manusia, kita mendatanginya dan tidak mendapatkan dunia maupun akhirat. Mungkin tidak dalam perbuatan dosa, tapi sia-sia, omong kosong.
Keempat, racun. Yaitu bergaul dengan orang-orang yang akan membuat kita teracuni. Yaitu bergaul dengan pelaku maksiat. Mungkin kita mengatakan, “Alhamdulillah Ana bisa menahan diri, Ana bisa menjaga diri.” Tapi lama-kelamaan racun itu mungkin masuk sedikit, tapi tatkala masuk dia akan mengalir ikut aliran darah. Sehingga sampai ke jantung.
Hati-hati dengan Syirik Tersembunyi
Dalam sebuah kisah, Ma’qil bin Yasar mengatakan bahwa dia pergi bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq ke tempatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
“Wahai Abu Bakar, syirik itu di dalam diri kalian lebih tersembunyi dari jalannya semut.”
Yang dimaksud di sini adalah riya’ (keinginan untuk dilihat orang, keinginan untuk dipuji), itu lebih tersembunyi dari jalannya semut.
Lalu Abu Bakar mengatakan:
وَهَلِ الشِّرْكُ إِلاَّ مَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ؟
“Bukankah syirik itu orang yang menyekutukan Allah?”
Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَلشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya. Sungguh syirik itu lebih tersembunyi daripada jalannya semut.”
Ustadz Syafiq menjelaskan, yang dimaksud adalah syirkul khafi. Kita tahu bahwa orang-orang yang ahli ibadah mungkin setan sudah capek untuk menggoda orang ini dari sisi syahwatnya. Maka dia akan menggoda ahli ibadah dari sisi niat ibadahnya.
Lantas bagimana agar ibadah yang kita lakukan itu ikhlas dan ittiba'? Menurutbya, kita diciptakan untuk beribadah dan ibadah itu tidak diterima kecuali dengan dua persyaratan:
Pertama, ikhlas mengharapkan ridha Allah, tidak memandang kepada yang lainnya.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Tidaklah manusia diperintahkan kecuali untuk beribadah mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan untuk Allah saja...” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Hanya untuk Allah, bukan untuk yang lainnya. Maka tatkala kita beribadah, lelah, penat, capek kita bangun malam, kita keluarkan sedikit harta, meninggalkan negeri kita untuk berangkat umroh dan haji, kalau dalam ibadah kita ada riya’, maka selesai. Dalam hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah yang tidak butuh dengan partner/sekutu. Barangsipa yang beramal suatu amalan lalu dia sisipkan dalam niatnya selain Aku, maka akan Aku tinggalkan dia dengan apa Aku disekutukan dengannya.” (HR. Muslim)
Wallahu A'lam
Siraman dan nasehat itu perlu, agar kita tidak salah memilih bergaul sehingga berdampak pada keimanan kita sendiri. Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, MA, dalam salah satu tayangan ceramahnya menjelaskan, para ulama menyebutkan bahwasanya pergaulan kita dengan manusia itu ada 4 jenis, yakni:
Baca Juga
Pertama, pergaulan seperti makanan bergizi yang kita perlu mengkonsumsinya setiap hari, bahkan tidak sekali dalam sehari. Seperti itulah pergaulan kita dengan orang-orang berilmu, orang-orang shalih yang senantiasa mengingatkan kita kepada Allah, yang melihat mereka saja sudah menambahkan keimanan kita.
Kedua, pergaulan seperti obat. Yaitu kita bergaul dengan manusia hanya tatkala perlu. Seperti obat, tatkala kita sakit kita minum obat, adapun jika sehat, tidak perlu. Dan obat tidak boleh overdosis , karena ketika overdosis maka akan menjadi penyakit.
Siapa yang seperti obat itu? Yaitu bergaul dengan orang-orang yang kita perlukan bergaul sama mereka. Yaitu teman-teman bisnis kita, kolega-kolega, kawan-kawan sejawat. Kita bekerja dan memang perlu berjumpa dengan mereka, kita perlu rapat, duduk sama mereka, tapi secukupnya, jangan sampai overdosis.
Ketiga, ibarat penyakit. Yaitu pergaulan dengan orang-orang yang tidak bermanfaat untuk dunia dan akhirat. Waktu habis, luang begitu saja tanpa ada manfaat baik dunia maupun akhirat. Ada yang bergaul dengan manusia, kita mendatanginya dan tidak mendapatkan dunia maupun akhirat. Mungkin tidak dalam perbuatan dosa, tapi sia-sia, omong kosong.
Keempat, racun. Yaitu bergaul dengan orang-orang yang akan membuat kita teracuni. Yaitu bergaul dengan pelaku maksiat. Mungkin kita mengatakan, “Alhamdulillah Ana bisa menahan diri, Ana bisa menjaga diri.” Tapi lama-kelamaan racun itu mungkin masuk sedikit, tapi tatkala masuk dia akan mengalir ikut aliran darah. Sehingga sampai ke jantung.
Hati-hati dengan Syirik Tersembunyi
Dalam sebuah kisah, Ma’qil bin Yasar mengatakan bahwa dia pergi bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq ke tempatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
“Wahai Abu Bakar, syirik itu di dalam diri kalian lebih tersembunyi dari jalannya semut.”
Yang dimaksud di sini adalah riya’ (keinginan untuk dilihat orang, keinginan untuk dipuji), itu lebih tersembunyi dari jalannya semut.
Baca Juga
Lalu Abu Bakar mengatakan:
وَهَلِ الشِّرْكُ إِلاَّ مَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ؟
“Bukankah syirik itu orang yang menyekutukan Allah?”
Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَلشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya. Sungguh syirik itu lebih tersembunyi daripada jalannya semut.”
Ustadz Syafiq menjelaskan, yang dimaksud adalah syirkul khafi. Kita tahu bahwa orang-orang yang ahli ibadah mungkin setan sudah capek untuk menggoda orang ini dari sisi syahwatnya. Maka dia akan menggoda ahli ibadah dari sisi niat ibadahnya.
Lantas bagimana agar ibadah yang kita lakukan itu ikhlas dan ittiba'? Menurutbya, kita diciptakan untuk beribadah dan ibadah itu tidak diterima kecuali dengan dua persyaratan:
Pertama, ikhlas mengharapkan ridha Allah, tidak memandang kepada yang lainnya.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Tidaklah manusia diperintahkan kecuali untuk beribadah mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan untuk Allah saja...” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Hanya untuk Allah, bukan untuk yang lainnya. Maka tatkala kita beribadah, lelah, penat, capek kita bangun malam, kita keluarkan sedikit harta, meninggalkan negeri kita untuk berangkat umroh dan haji, kalau dalam ibadah kita ada riya’, maka selesai. Dalam hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah yang tidak butuh dengan partner/sekutu. Barangsipa yang beramal suatu amalan lalu dia sisipkan dalam niatnya selain Aku, maka akan Aku tinggalkan dia dengan apa Aku disekutukan dengannya.” (HR. Muslim)
Wallahu A'lam
(wid)