Dahsyatnya Kandungan Al-Qur'an, Tak Ada Kitab yang Bisa Menandinginya (1)
Rabu, 07 Juli 2021 - 17:16 WIB
Makanya tidak mengherankan dalam sebuah hadist shahih Nabi Muhammad SAW mengumpamakan bahwa periode kerasulannya sampai kiamat hanyalah dari waktu Ashar sampai Maghrib, dan Nabi Isa dari Zuhur ke Ashar. Sementara, sejumlah perhitungan menggunakan formula QS. Al Hajj: 47 atau 1 hari di sisi Allah setara 1000 tahun di dunia—dengan menggunakan asumsi rata-rata angka harapan hidup manusia saat ini antara 63-70 tahun—maka lamanya hidup seorang manusia di dunia ini tidak lain hanyalah 1,5-1,7 jam saja di sisi Allah.
Suhanallah, mari kita tidak menyianyiakan sisa waktu umur kita, karena bagaimanapun bila sampai usia maksimal 70 tahun pun itu akan menentukan kehidupan abadi kita di akhirat kelak, entah di neraka atau di surga. Allah sudah mengingatkan dalam QS al-'Ashr: "Demi waktu (Ashar). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran."
Saya berdoa, tulisan ini dan anda yang membacanya bisa masuk dalam kategori saling menasehati, Aaamin.
Berdasarkan perbedaan waktu tersebut, mudah-mudahan saya mendapatkan kesempatan untuk menggali lebih dalam bahwa buku soal Adam dan Hawa ini bisa menawarkan sebuah pemahaman alternatif yang baru.Yaitu, menjembatani konfrontasi abadi antara ilmuwan penganut teori evolusi Darwin dengan ulama klasik Islam bahwa mengenai apakah mungkin Nabi Adam serumpun dengan kera atau simpanse, atau sebaliknya kera berevolusi dari Nabi Adam, karena kutukan Allah. Ini tentu masih sebatas dugaan kasar berdasarkan dua fakta yang tampaknya saling mendukung.
Homininii yang merupakan bahasa ilmiah untuk Homo sapiens atau spesies manusia. Kita termasuk kelompok kera besar yang disebut sebagai keluarga taksonomi hominid atau hominidae. Begitu juga neanderthal, australopitechus, manusia purba lain, orangutan, gorila, bonobo dan simpanse yang berevolusi dari nenek moyang yang sama sekitar 14 juta tahun yang lalu.
Fakta kedua, seperti dijelaskan dalam buku Adam dan Hawa dari naskah laut mati, proses pengusiran Adam dari surga ke dunia beserta iblis, memakan proses waktu adaptasi yang panjang.
Perihal lokasi penurunannya masih simpang siur diantara mufassir. At-Thabari misalnya, meriwayatkan iblis diturunkan di negeri Maisan, yaitu negeri yang terletak antara Basrah dengan Wasith. Sedangkan ular diturunkan di negeri Asbahan (Iran). Sementara itu, riwayat lain menyebutkan, Adam diturunkan di bukit Shafa dan Siti Hawa di bukit Marwah, atau juga di daerah India, sementara Hawa diturunkan di Irak. Mufassir sepakat, Adam dan Hawa kemudian bertemu di Jabal Rahmah.
Bagi saya, menghubungan Adam dengan spesies simpanse atau binatang sejenisnya bukan merupakan penghinaan terhadap manusia, dan malah sebaliknya membuktikan kemahakuasaan Allah, mengevolusikan makhluk tak berakal menjadi berakal—atau juga bisa sebaliknya.
Prinsip saya, kehinaan manusia yang membuktikan keagungan Allah adalah sebuah kemuliaan. Bila ini terbukti, maka bisa membuka kunci rahasia betapa Qur'an adalah kitab yang dapat dibuktikan secara empiris, khususnya untuk kisah-kisah para umat terdahulu.
(Bersambung)!
Suhanallah, mari kita tidak menyianyiakan sisa waktu umur kita, karena bagaimanapun bila sampai usia maksimal 70 tahun pun itu akan menentukan kehidupan abadi kita di akhirat kelak, entah di neraka atau di surga. Allah sudah mengingatkan dalam QS al-'Ashr: "Demi waktu (Ashar). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran."
Saya berdoa, tulisan ini dan anda yang membacanya bisa masuk dalam kategori saling menasehati, Aaamin.
Berdasarkan perbedaan waktu tersebut, mudah-mudahan saya mendapatkan kesempatan untuk menggali lebih dalam bahwa buku soal Adam dan Hawa ini bisa menawarkan sebuah pemahaman alternatif yang baru.Yaitu, menjembatani konfrontasi abadi antara ilmuwan penganut teori evolusi Darwin dengan ulama klasik Islam bahwa mengenai apakah mungkin Nabi Adam serumpun dengan kera atau simpanse, atau sebaliknya kera berevolusi dari Nabi Adam, karena kutukan Allah. Ini tentu masih sebatas dugaan kasar berdasarkan dua fakta yang tampaknya saling mendukung.
Homininii yang merupakan bahasa ilmiah untuk Homo sapiens atau spesies manusia. Kita termasuk kelompok kera besar yang disebut sebagai keluarga taksonomi hominid atau hominidae. Begitu juga neanderthal, australopitechus, manusia purba lain, orangutan, gorila, bonobo dan simpanse yang berevolusi dari nenek moyang yang sama sekitar 14 juta tahun yang lalu.
Fakta kedua, seperti dijelaskan dalam buku Adam dan Hawa dari naskah laut mati, proses pengusiran Adam dari surga ke dunia beserta iblis, memakan proses waktu adaptasi yang panjang.
Perihal lokasi penurunannya masih simpang siur diantara mufassir. At-Thabari misalnya, meriwayatkan iblis diturunkan di negeri Maisan, yaitu negeri yang terletak antara Basrah dengan Wasith. Sedangkan ular diturunkan di negeri Asbahan (Iran). Sementara itu, riwayat lain menyebutkan, Adam diturunkan di bukit Shafa dan Siti Hawa di bukit Marwah, atau juga di daerah India, sementara Hawa diturunkan di Irak. Mufassir sepakat, Adam dan Hawa kemudian bertemu di Jabal Rahmah.
Bagi saya, menghubungan Adam dengan spesies simpanse atau binatang sejenisnya bukan merupakan penghinaan terhadap manusia, dan malah sebaliknya membuktikan kemahakuasaan Allah, mengevolusikan makhluk tak berakal menjadi berakal—atau juga bisa sebaliknya.
Prinsip saya, kehinaan manusia yang membuktikan keagungan Allah adalah sebuah kemuliaan. Bila ini terbukti, maka bisa membuka kunci rahasia betapa Qur'an adalah kitab yang dapat dibuktikan secara empiris, khususnya untuk kisah-kisah para umat terdahulu.
(Bersambung)!
(rhs)