Dahsyatnya Al-Qur'an: Satu-satunya Kalam yang Bersifat Abadi (3/Tamat)
Sabtu, 10 Juli 2021 - 21:55 WIB
Saya beberapa kali mengalami mimpi bertemu dengan tokoh yang sudah meninggal, dan itu pengalaman yang sungguh luar biasa mengingat saya sangat jarang sekali bermimpi. Saya merekomendasikan buku berjudul Barzakh karangan Sufi Akbar, Muhyiddin Ibn Arabi untuk memahami alam diantara dua dunia itu.
Menurut Maulana Khalid, kalam ilahi (Firman Allah Ta’ala) menceritakan berbagi hal. Jika itu menceritakan kejadian yang terjadi atau yang akan terjadi, itu disebut khabar (narasi); jika tidak demikian, itu disebut insha'. Apabila itu menyatakan hal-hal yang harus dilakukan, itu disebut amr (perintah). Jika itu menyatakan larangan, Nahy (larangan). Tapi tidak ada perubahan atau penambahan di Kalam al-ilahiyya.
Setiap kitab atau setiap halaman yang diturunkan adalah selembar firman Allah Ta’ala. Artinya, mereka adalah milik kalam an-Nafsi-Nya. Bila dalam bahasa Arab itu disebut Al-Qur'an. Wahyu yang terungkap dalam puisi dan yang bisa ditulis dan dikatakan dan didengar dan diingat adalah disebut kalam al-lafzi atau Al-Qur'anul-Karim.
Karena kalam al-lafzi menunjukkan ayat-ayat kalami, diperbolehkan untuk menyebutnya sebagai Al-ilahiyya. Meskipun Firman ini dalam satu modul, namun dapat dibagi dan dipecahkan menjadi beberapa bagian berkenaan dengan manusia. Karena keseluruhannya disebut Al-Qur'an, juga bagian-bagiannya disebut Al-Qur'an.
Para ulama sudah bulat mengatakan bahwa kalam Nafsi adalah qadim (abadi). Namun, tidak ada kebulatan suara apakah kalam al-lafzi adalah hadits atau qadim. Beberapa orang yang menganggap kalam al-lafzi sebagai hadist memperingati bahwa lebih baik tidak mengatakannya hadits berhubung hal itu bisa disalahpahami dan berarti bahwa kalam an-nafsi adalah hadist. Menurut Maulana Khalid, kesimpulan ini adalah solusi terbaik tentang kedudukan kalam nafsi dan kalam lafzi.
Ketika seorang ilmuwan dari pada 'jalan yang benar' terdengar telah mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kerukunan, kita harus mengerti bahwa ia mengacu pada suatu dan kata-kata yang kita ucapkan dengan mulut kita. Para ilmuwan ini telah menyatakan bahwa baik Kalam an-nafsi dan kalam al-lafzi adalah Firman Allah Ta'ala.
Meskipun beberapa ilmuwan menganggap pernyataan ini adalah metafora, mereka semua sepakat bahwa itu adalah Firman Allah Ta'ala. Bahwa kalam an-nafsi adalah Firmah Allah Ta'ala berarti bahwa atas ucapan Allah Ta'ala. Dan bahwa kalam al-Lafzi adalah Firman Allahu Ta'ala berarti bahwa itu adalah diciptakan oleh Allah Ta'ala.
Redefinisi Sikap Iman atas Kitab Sebelumnya
Tafsir Kementerian Agama RI menyatakan bahwa keimanan kita terhadap Qur'an haruslah komprehensif dan rinci, sementara keimanan terhadap kitab-kitab sebelumnya bersifat global saja. Anjuran ini sangat masuk akal, seperti juga dikemukakan banyak mufassir, termasuk pula Maulana Khalid, bahwa ayat-ayat Quran otomatis menggugurkan ketentuan-ketentuan Allah pada kitab sebelumnya, dan memang setiap nabi hanya bertanggung jawab teradap umatnya masing-masing.
Namun, di sisi lain, saya melihat anjuran ini juga dipengaruhi oleh fakta, kitab-kitab sebelumnya sudah terdistorsi oleh pihak gereja, sehingga anjuran kepada masyarakat untuk bahkan membaca kitab-kitab tersebut tidak saya dengar dari para ulama-ulama, kecuali para ilmuan pada jurusan atau fakultas perbandingan agama dan tafsir. Bahwa, Qur'an otomatis menggugurkan semua ketentuan dalam kitab sebelumnya, namun saya kira bukan berarti detail kitab-kitab lama tidak berguna untuk dibaca dan dipelajari.
Bagi saya, bahkan membaca Injil versi yang sudah disesuaikan keimanan Gereja Vatikan juga sangat penting untuk mempertebal keimanan sebagai muslim. Syaratnya tentu sudah mengkhatamkan beberapa tafsir-tafsir Qur'an atau minimal terjemahan bagi yang tidak tahu arti Qur'an, agar justru tidak terseret menjadi murtad.
Wallahu A'lam
Menurut Maulana Khalid, kalam ilahi (Firman Allah Ta’ala) menceritakan berbagi hal. Jika itu menceritakan kejadian yang terjadi atau yang akan terjadi, itu disebut khabar (narasi); jika tidak demikian, itu disebut insha'. Apabila itu menyatakan hal-hal yang harus dilakukan, itu disebut amr (perintah). Jika itu menyatakan larangan, Nahy (larangan). Tapi tidak ada perubahan atau penambahan di Kalam al-ilahiyya.
Setiap kitab atau setiap halaman yang diturunkan adalah selembar firman Allah Ta’ala. Artinya, mereka adalah milik kalam an-Nafsi-Nya. Bila dalam bahasa Arab itu disebut Al-Qur'an. Wahyu yang terungkap dalam puisi dan yang bisa ditulis dan dikatakan dan didengar dan diingat adalah disebut kalam al-lafzi atau Al-Qur'anul-Karim.
Karena kalam al-lafzi menunjukkan ayat-ayat kalami, diperbolehkan untuk menyebutnya sebagai Al-ilahiyya. Meskipun Firman ini dalam satu modul, namun dapat dibagi dan dipecahkan menjadi beberapa bagian berkenaan dengan manusia. Karena keseluruhannya disebut Al-Qur'an, juga bagian-bagiannya disebut Al-Qur'an.
Para ulama sudah bulat mengatakan bahwa kalam Nafsi adalah qadim (abadi). Namun, tidak ada kebulatan suara apakah kalam al-lafzi adalah hadits atau qadim. Beberapa orang yang menganggap kalam al-lafzi sebagai hadist memperingati bahwa lebih baik tidak mengatakannya hadits berhubung hal itu bisa disalahpahami dan berarti bahwa kalam an-nafsi adalah hadist. Menurut Maulana Khalid, kesimpulan ini adalah solusi terbaik tentang kedudukan kalam nafsi dan kalam lafzi.
Ketika seorang ilmuwan dari pada 'jalan yang benar' terdengar telah mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kerukunan, kita harus mengerti bahwa ia mengacu pada suatu dan kata-kata yang kita ucapkan dengan mulut kita. Para ilmuwan ini telah menyatakan bahwa baik Kalam an-nafsi dan kalam al-lafzi adalah Firman Allah Ta'ala.
Meskipun beberapa ilmuwan menganggap pernyataan ini adalah metafora, mereka semua sepakat bahwa itu adalah Firman Allah Ta'ala. Bahwa kalam an-nafsi adalah Firmah Allah Ta'ala berarti bahwa atas ucapan Allah Ta'ala. Dan bahwa kalam al-Lafzi adalah Firman Allahu Ta'ala berarti bahwa itu adalah diciptakan oleh Allah Ta'ala.
Redefinisi Sikap Iman atas Kitab Sebelumnya
Tafsir Kementerian Agama RI menyatakan bahwa keimanan kita terhadap Qur'an haruslah komprehensif dan rinci, sementara keimanan terhadap kitab-kitab sebelumnya bersifat global saja. Anjuran ini sangat masuk akal, seperti juga dikemukakan banyak mufassir, termasuk pula Maulana Khalid, bahwa ayat-ayat Quran otomatis menggugurkan ketentuan-ketentuan Allah pada kitab sebelumnya, dan memang setiap nabi hanya bertanggung jawab teradap umatnya masing-masing.
Namun, di sisi lain, saya melihat anjuran ini juga dipengaruhi oleh fakta, kitab-kitab sebelumnya sudah terdistorsi oleh pihak gereja, sehingga anjuran kepada masyarakat untuk bahkan membaca kitab-kitab tersebut tidak saya dengar dari para ulama-ulama, kecuali para ilmuan pada jurusan atau fakultas perbandingan agama dan tafsir. Bahwa, Qur'an otomatis menggugurkan semua ketentuan dalam kitab sebelumnya, namun saya kira bukan berarti detail kitab-kitab lama tidak berguna untuk dibaca dan dipelajari.
Bagi saya, bahkan membaca Injil versi yang sudah disesuaikan keimanan Gereja Vatikan juga sangat penting untuk mempertebal keimanan sebagai muslim. Syaratnya tentu sudah mengkhatamkan beberapa tafsir-tafsir Qur'an atau minimal terjemahan bagi yang tidak tahu arti Qur'an, agar justru tidak terseret menjadi murtad.
Wallahu A'lam
(rhs)