Menjadi Menantu Abu Lahab, Kisah Pilu Ruqayyah Putri Rasulullah
Jum'at, 29 Mei 2020 - 16:00 WIB
EMOSI Abu Lahab benar-benar menyala begitu mendengar dirinya dilaknat Allah melalui Al-Qur’an Surat Al-Lahab 1-5. "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut."
Setelah ayat ini turun, Abu Lahab berkata kepada anaknya, "Hubungan kita terputus jika kau tidak menceraikan anak perempuan Muhammad!" ( )
Mendapat instruksi demikian, Utbah pun langsung menceraikan Ruqayyah. Padahal pasangan ini belum sempat berbulan madu.
Ya, putri Rasulullah, Ruqayyah sempat menikah dengan putra Abu Lahab, Utbah. Itu terjadi sebelum masa kenabian. Ruqayyah menikah dengan sepupunya Utbah bin Abu Lahab ketika ia masih belum berusia 10 tahun. Bukan hanya itu, putri Rasulullah satunya lagi, Ummu Kultsum, juga menikah dengan putra Abu Lahab bernama 'Utaibah.
Dr Bassam Muhammad Hamami dalam Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam, menceritakan kala itu, para tokoh pembesar keluarga Abdul Muththalib berdatangan ke rumah Rasulullah untuk dapat berbesan dengan putri paman mereka, Muhammad SAW.
Sesepuh mereka Abu Thalib pun datang mendekat kepada Rasulullah seraya berkata, "Wahai keponakanku, engkau telah menikahkan Zainab dengan Abu al-Ash ibn Rabi dan ia merupakan menantu terbaik, tetapi para sepupumu yang lain merasa engkau pun harus memberikan kepada mereka seperti yang telah engkau berikan terhadap lbnu Rabi'. Mereka juga tidak kalah mulia dan terhormat dari Ibnu Rabi'." ( )
Rasulullah pun menjawab, "Engkau benar wahai pamanku."
Seperti kebiasaan Rasulullah dalam menikahkan para putrinya, beliau meminta izin kepada dua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, tentang pernikahan mereka dengan putra paman mereka Abdul 'Uzza, 'Utbah dan 'Utaibah putra Abu Lahab.
Kedua putri Rasulullah itu bukankah putri yang berani menentang perintah ayah mereka atau menimbulkan kesulitan bagi keluarga dan sanak familinya. Diam dan tenang adalah jawaban mereka.
Beberapa hari kemudian, pernikahan mereka pun berlangsung dengan tenang dan tentram. Ruqayyah dinikahi oleh Utbah ibn Abi Lahab sementara Ummu Kultsum dinikahi oleh saudaranya, Utaibah.
Sang ayah yang penyayang, Muhammad, memberkahi pernikahan ini. Beliau serahkan perlindungan kedua putrinya tersebut kepada Allah SWT.
Demikian pula Sayyidah Khadijah yang melepaskan kedua putrinya dengan tetesan air mata. la pun lebih banyak meluangkan waktu untuk memberi perhatian kepada sang suami yang terpercaya dengan menjamin ketenangan dan kedamaian saat beliau melakukan ibadah kepada Allah SWT.
Di samping itu, Khadijah merawat putrinya terakhir yang tinggal bersamarnya, yang menjadi penghibur dan penyejuk hati baginya. la adalah Fathimah yang pada saat itu masih kecil, manja, dan dicintai oleh sang ayah.
Pada awalnya, Sayyidah Khadijah, kurang berkenan dengan pernikahan itu. Soalnya, beliau membenci perilaku ibu Utbah, Ummu Jamil binti Harb. Istri Abu Lahab itu terkenal berperangai buruk dan jahat. Ia khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya itu.
Ruqayyah lahir sekitar 20 tahun sebelum Hijrah. Dan ketika Muhammad diangkat menjadi Nabi, maka Abu Lahab adalah orang yang paling memusuhi Rasulullah dan Islam. Lelaki gemuk yang gampang emosian ini kerap menghasut orang-orang Makkah agar memusuhi Nabi dan para sahabat. Begitu pula istrinya, Ummu Jamil. Ia selalu berusaha mencelakai Rasulullah.
Konspirasi Jahat
Kisah lain menyebutkan, begitu Muhammad menerima risalah dari Allah SWT dan menyeru umat manusia kepada agama yang benar, berkumpullah kaum Quraisy dan mulai menyusun konspirasi jahat terhadap Rasulullah. Salah seorang juru bicara mereka berkata, "Sesungguhnya, kalian telah melepaskan beban Muhammad. Karena itu, kembalikanlah putri-putrinya agar ia sibuk mengurus mereka!"
Mereka segera menemui ketiga menantu Rasulullah dan mengatakan, "Ceraikanlah istrimu dan kami akan menikahkanmu dengan wanita Quraisy mana saja yang engkau kehendaki!"
Abu al-'Ash menolak untuk memulangkan Zainab kepada Rasulullah karena ia telah memilih Zainab melebihi seluruh wanita Quraisy. Adapun kedua putra Abu Lahab segera mengiyakan tawaran mereka. Utbah memilih calon istri untuk menggantikan Ruqayyah. Ia memilih seorang gadis dari keluarga Sa'id ibn 'Ash.
Akhirnya, kedua putri Rasulullah itu pun kembali kepada keluarganya sebelum sempat dipergauli.
Ummu Jamil, Hammalat al-Hathab, adalah wanita yang berada di balik pemulangan para putri Rasulullah ini.
Pembawa Kayu Bakar
Ibnu Ishaq mengatakan, "Aku mendengar bahwa Ummu Jamil, si wanita pembawa kayu bakar itu, saat mendengar ayat Alquran yang turun tentang dirinya dan suaminya, ia datangi Rasulullah yang sedang duduk di Masjidil Haram di dekat Ka’bah , bersama Abu Bakar ash-Shiddiq . Ummu Jamil datang dengan membawa segenggam batu. Ketika ia berdiri di dekat Rasulullah dan Abu Bakar, Allah membuatnya tidak bisa melihat Rasulullah hingga ia hanya melihat Abu Bakar.
Ia berkata: 'Wahai Abu Bakar, di manakah temanmu? Aku mendengar bahwa ia telah menghardikku. Demi Allah, jika menjumpainya, aku akan menyumpal mulutnya dengan batu ini. Demi Allah, aku adalah seorang penyair.' Setelah itu, Ummu Jamil melantunkan syair:
"Sejak kapan kami durhaka
Kami menolak perintahnya
Terhadap agamanya kami membenci."
Setelah itu, ia pun pergi dan Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, apakah ia tidak melihatmu?” Rasulullah menjawab: “Allah telah membuatnya sama sekali tidak bisa melihatku”.
Bagi keluarga Rasulullah yang jujur dan beriman, ujian dan cobaan di jalan Allah itu hanya semakin meningkatkan ketabahan dan keteguhan mereka.
Sejak masa-masa awal bi'tsah (pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul), Rasulullah telah mengatakan kepada Khadijah, istrinya, "Waktu istirahat telah lewat wahai Khadijah."
Sayyidah Khadijah pun mengerti yang dimaksud oleh kalimat Rasulullah ini. la pun meneguhkan hati untuk selalu berdiri di samping sang suami, Nabi yang mulia.
Sayyidah Khadijah selalu menguatkan Rasulullah dan meringankan beban yang beliau hadapi hingga hilanglah duka yang beliau rasakan.
Kedua putri Khadijah, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, juga mengerti apa yang sedang dikerjakan oleh kedua orangtua mereka. Mereka tahu sejauh mana penderitaan yang dihadapi oleh keluarga Muhammad akibat berbagai bentuk penindasan, gangguan, dan siksaan yang diperbuat oleh kaum dan sanak keluarganya.
Si wanita pembawa kayu bakar dan suaminya, Abu Lahab telah salah mengira, demikian pula dengan seluruh kaum Quraisy.
Menikah dengan Utsman
Sayyidah Ruqayyah memeluk Islam bersamaan dengan Bunda Khadijah. Rasulullah tidaklah menderita karena dipulangkannya kedua putri beliau. Perceraian mereka tidaklah menyusahkan bagi beliau karena Allah justru telah menyelamatkan mereka dari ujian untuk hidup bersama dua putra Abu Lahab dan istrinya, si wanita pembawa kayu bakar yang jahat.
Tak lama setelah itu Utsman bin Affan menikahi Sayyidah Ruqayyah. Putri kedua Rasulullah ini mendapat jodoh yang jauh lebih baik. Utsman adalah laki-laki saleh dan mulia. Salah satu pemuda Quraisy dari keturunan yang paling terhormat. Salah satu dari delapan orang yang paling awal masuk Islam dan salah satu dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira akan masuk surga.
Nama lengkap dan nasabnya, Utsman ibn Affan ibn Abi al-'Ash ibn Umayah ibn Abdi al-'Ash ibn Umayah ibn Abdi Syams. Dari jalur ayah, Utsman ibn Affan bertemu nasab dengan Rasulullah s.a.w pada Abdi Manaf ibn Qushay. Adapun dari jalur ibu, ia bertemu nasab dengan Rasulullah pada Abdul Muththalib ibn Hasyim karena neneknya dari pihak ibu adalah al-Baidha' Ummu Hakim binti Abdul Muththalib, kakek Rasulullah.
Tentang Utsman, Abdullah ibn Mas'ud mengatakan, "Utsman adalah orang yang paling rajin menyambung tali silaturahim di antara kami. Ia adalah salah seorang yang beriman, bertakwa, dan selalu mengerjakan kebaikan. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan."
Di samping memiliki nasab yang terhormat dan memiliki sifat-sifat yang baik sebagaimana dikatakan orang tentang dirinya, Utsman adalah orang yang berwajah cerah, berbudi pekerti mulia, hartawan, dan sempurna secara fisik.
Ketika Utsman ibn Affan mendatangi kediaman Rasulullah untuk menjadi menantu beliau dengan menikahi putri Ruqayyah binti Rasulullah, beliau pun menerima dan menikahkan Utsman dengan putrinya.
Beliau memberkahi mereka dalam pernikahan yang berbahagia itu. Ada yang mengatakan bahwa tidak pernah ada pasangan suami istri yang lebih sempurna dan lebih menyenangkan dibandingkan dengan mereka. Dalam pernikahan itu pun, para wanita melantunkan bait-bait syair yang paling indah:
"Pasangan terbaik yang pernah dilihat manusia adalah Ruqayyah dan suaminya, Utsman."
Reaksi kaum musyrikin terhadap pernikahan ini adalah dengan semakin keras dalam menindas dan menyiksa setiap orang yang memeluk Islam, bahkan termasuk kepada Rasulullah.
Penderitaan kaum Muslimin pun bertambah berat, dengan tekanan dan penindasan kaum kafir Quraisy. Ketika Rasulullah melihat siksaan yang diderita oleh para sahabat semakin berat, beliau bersabda, "Jika kalian pergi ke tanah Habasyah, kalian akan bertemu dengan seorang raja yang di sisinya tidak seorang pun mendapat kezaliman. Negeri itu adalah tanah persahabatan hingga Allah memberikan jalan keluar dari apa yang kalian alami."
Utsman ibn Affan adalah orang pertama melakukan hijrah menuju Habasyah ditemani sang istri, Ruqayyah, yang baru beberapa saat ia nikahi.
Rombongan muhajirin ke Habasyah ini membawa 11 orang wanita. Mereka meninggalkan kesenangan hidup berupa harta, anak dan keluarga serta negeri demi Allah.
Anas bin Malik meriwayatkan, Utsman bin Affan keluar bersama istrinya, Ruqayyah, putri Rasulullah SAW menuju negeri Habasyah. Lama Rasulullah SAW tidak mendengar kabar kedua orang itu. Kemudian datang seorang wanita Quraisy berkata, "Wahai Muhammad, aku telah melihat menantumu bersama istrinya."
Nabi SAW bertanya, "Bagaimanakah keadaan mereka ketika kau lihat?"
Wanita itu menjawab, "Dia telah membawa istrinya ke atas seekor keledai yang berjalan perlahan, sementara ia memegang kendalinya."
Maka Rasulullah SAW bersabda, "Allah menemani keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah laki-laki pertama yang hijrah membawa istrinya sesudah Luth AS."
Setibanya di Habasyah, mereka memperoleh perlakuan yang sangat baik dari Raja Habasyah. Di Habasyah pasangan ini dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdullah. Sejak itu Ruqayyah berkunyah Ummu Abdullah. Mereka hidup tenang dan tenteram, hingga datanglah berita bahwa keadaan kaum Muslimin di Makkah telah aman.
Mendengar berita tersebut, disertai kerinduan kepada kampung halaman, maka Utsman memutuskan bahwa kafilah Muslimin yang dipimpinnya itu akan kembali lagi ke Makkah. Mereka pun kembali. Namun apa yang dijumpai berbeda dengan apa yang mereka dengar ketika di Habasyah.
Pada masa itu, mereka menyaksikan keadaan kaum Muslimin yang mendapatkan penderitaan lebih parah lagi. Pembantaian dan penyiksaan atas umat Islam semakin meningkat. Sehingga rombongan ini tidak berani memasuki Makkah pada siang hari. Ketika malam telah menyelimuti kota Makkah, barulah mereka mengunjungi rumah masing-masing yang dirasa aman.
Ruqayyah pun pulang ke rumahnya, hendak melepas rindu terhadap orang tua dan saudara-saudaranya. Betapa kagetnya ia, ketika ternyata ibunya, Sayyidah Khadijah, telah wafat. Ruqayyah dilanda kesedihan yang sangat mendalam.
Menggambarkan situasi kepulangan Ruqayyah ke tempat tinggal Doktor Aisyah Abdurrahman mengatakan, "Ruqayyah telah kembali ke rumah ayahnya dengan penuh kerinduan dan susah payah. Kedua saudarinya, Ummu Kultsum dan Fathimah, sangat gembira bertemu denganya. Mereka merangkul dan mendekap Ruqayyah dengan air mata yang mengalir meski telah berusaha untuk menahan diri. Ruqayyah melepaskan diri dari rangkulan mereka dan bertanya dengan penuh rasa penasaran: "Di manakah ayahku, di manakah ibuku?"
Mereka pun menjawab: Ayahmu baik-baik saja. Beliau sedang keluar untuk menemui mereka yang baru saja pulang bersamamu dari tanah hijrah di Habasyah.' Namun, bibir mereka bergetar dan menyembunyikan ratapan.
Ruqayyah kembali bertanya dengan hati yang mulai khawatir: 'Ibuku, di manakah ibuku?'
Ummu Kultsum menunduk dan diam tanpa menjawab sepatah kata pun. Adapun Fathimah meninggalkan ruangan sambil menangis. Saat itulah, Ruqayyah berhenti bertanya. la berjalan gontai menuju kamar almarhumah ibunya. la pun terbaring di atas ranjang dengan pandangan kosong dan hampa.
Sampai akhirnya, datanglah sang ayah, Rasulullah SAW, yang segera mencairkan kebekuan jiwa Ruqayyah dengan pertemuan yang hangat. Dengan sangat simpatik, Rasulullah menyingkirkan batu-batu kepedihan yang menyesakkan dada putrinya itu.
Air mata kesedihan dan duka mengalir deras dari kedua matanya lalu ia mendekap dada yang mulia dan lapang itu. Ruqayyah kembali menjadi tenang dan sabar.
Datanglah sang suami, Utsman ibn Affan, mengusap air mata Ruqayyah saat air mata itu membasahi jiwanya yang mengalir dalam hati karena kepergian sang ibu, Khadijah junjungan seluruh wanita Quraisy.
Tak lama kemudian, kaum Muslimin memutuskan hijrah ke Madinah. Ruqayyah juga ikut hijrah bersama suaminya, Utsman, sehingga dia menjadi wanita yang hijrah dua kali.
Rasulullah mengizinkan keluarga dan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Salah satu Muhajirin yang paling awal melakukan hijrah adalah Utsman ibn Affan dan istrinya Ruqayyah binti Rasulullah.
Mereka berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, bahagia, dan tenang hingga hari-harinya mampu diisi dengan ibadah, baik untuk dunia maupun akhirat.
Hari-hari pertama saat mereka berada di Madinah al-Munawwarah merupakan hari yang penuh kebahagiaan dan ketenangan. Mereka hidup bersama putra tercinta, Abdullah ibn Utsman. Keluarga mereka diselimuti oleh cinta dan kebahagiaan ketika Rasulullah datang sambil menggendong putra mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang disertai untaian senyum yang menenteramkan hati. Kebahagiaan beliau menimbulkan kebahagiaan bagi seluruh kaum Muhajirin maupun Anshar.
Namur kebahagiaan itu segera sirna saat sang anak tercinta Abdullah ibn Utsman jatuh sakit hingga kemudian meninggal dunia dalam usia enam tahun. Ruqayyah kembali mengalami sedihnya perpisahan sesudah kepergian sang ibu.
la pun menyirami bumi dengan air mata karena merasakan pahitnya duka atas kematian yang begitu menekan jiwanya. Kondisinya itu pada akhirnya menyebabkan Ruqayyah jatuh sakit dan menderita demam yang cukup tinggi.
Perang Badar
Tak berapa lama kemudian bergema seruan Perang Badar. Para sahabat bersiap-siap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun sakit Ruqayyah belum juga sembuh. Rasulullah pun memerintahkan Utsman bin Affan untuk tetap tinggal menemani dan merawat istrinya.
Utsman ibn Affan tetap berada di samping istrinya tercinta yang sakitnya semakin parah dan mulai dibayang-bayangi oleh kematian. Utsman memandangi wajah Ruqayyah yang layu dan pucat.
Ketenangan pun hilang dari hatinya, berganti dengan kesedihan yang menyelimuti segenap jiwanya. Napas terengah yang dihirup oleh Ruqayyah dengan susah payah, meski samar-samar, menunjukkan dengan gamblang akan tanda-tanda kematiannya.
la telah menapaki jalan yang sama dengan jalan yang dilewati oleh sang ibu, Ummul Mukminin Khadijah ra, sebelumnya. Jalan menuju keabadian di dalam kerajaan Allah, Tuhan seluruh alam.
Sang suami tercinta yang setia mendampinginya tidak bisa melihat dengan jelas sang istri karena terhalang oleh air mata. Saat itu Ruqayyah sedang menghadapi sakratulmaul untuk menghadap Tuhan Yang Maha Mulia. Begitu suara kaum Muslimin yang pulang dari Perang Badar terdengar menggema di angkasa mengumandangkan kalimat, "Allahu Akbar", pertanda bahwa kemenangan telah berhasil diraih, nyawa Ruqayyah binti Rasulullah itu telah sampai waktunya untuk mengucapkan salam perpisahan pada dunia yang fana ini, berjalan menuju alam akhirat yang penuh keabadian.
Ruqayyah wafat pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah di kala Rasulullah SAW masih berada di medan Badar. Berita wafatnya Ruqayyah ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah SAW berkata, "Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Maz’un."
Utsman memakamkan jenazah istrinya pada hari dimana datangnya Zaid bin Haritsah ke Madinah membawa kabar kemenangan kaum muslimin pada pertempuran Badar. Ketika Nabi Muhammad S.A.W. mendapatkan kabar atas wafat putrinya Ruqayyah, ia bersabda: Segala puji bagi Allah, telah dimakamkan putri-putri dari perempuan-perempuan yang mulia.
Ketika Ruqayyah wafat banyak wanita di Madinah menangis sedih, sehingga membuat Umar bin Al-Khathab mengambil cemetinya untuk menghentikan tangisan mereka.
Namun Rasulullah SAW mengambil cemeti yang ada di tangan Umar, seraya bersabda, "Wahai Umar, biarkanlah mereka menangis. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan setan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari setan."
Fathimah, adik Ruqayyah, duduk di bibir liang kubur kakaknya di samping Rasulullah SAW dan menangis. Melihat putrinya menangis, Rasulullah mengusap air mata Fathimah yang menetes dengan ujung pakaian beliau.
Anas bin Malik bertutur, kami melihat prosesi pemakaman Ruqayyah binti Rasulullah SAW. Beliau duduk di atas kuburannya, kemudian kulihat kedua matanya berlinang air mata. Kemudian beliau bertanya, “Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tidak melakukan hubungan suami istri semalam?” Abu Talhah menjawab, “Saya”. Lalu, Rasulullah SAW berkata, “Turunlah ke liang kuburnya”. Kemudian Abu Thalhah turun ke liang kuburnya.
Sayyidah Ruqayyah wafat pada tahun 2 H saat usianya masih belia, 21 tahun. Kemudian, pada tahun ke-4 H adiknya, Ummu Kultsum putri Rasulullah ketiga dinikahi Utsman bin Affan sehingga Utsman digelari Dzun-Nurain yang bermakna pemilik dua cahaya.***
Setelah ayat ini turun, Abu Lahab berkata kepada anaknya, "Hubungan kita terputus jika kau tidak menceraikan anak perempuan Muhammad!" ( )
Mendapat instruksi demikian, Utbah pun langsung menceraikan Ruqayyah. Padahal pasangan ini belum sempat berbulan madu.
Ya, putri Rasulullah, Ruqayyah sempat menikah dengan putra Abu Lahab, Utbah. Itu terjadi sebelum masa kenabian. Ruqayyah menikah dengan sepupunya Utbah bin Abu Lahab ketika ia masih belum berusia 10 tahun. Bukan hanya itu, putri Rasulullah satunya lagi, Ummu Kultsum, juga menikah dengan putra Abu Lahab bernama 'Utaibah.
Dr Bassam Muhammad Hamami dalam Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam, menceritakan kala itu, para tokoh pembesar keluarga Abdul Muththalib berdatangan ke rumah Rasulullah untuk dapat berbesan dengan putri paman mereka, Muhammad SAW.
Sesepuh mereka Abu Thalib pun datang mendekat kepada Rasulullah seraya berkata, "Wahai keponakanku, engkau telah menikahkan Zainab dengan Abu al-Ash ibn Rabi dan ia merupakan menantu terbaik, tetapi para sepupumu yang lain merasa engkau pun harus memberikan kepada mereka seperti yang telah engkau berikan terhadap lbnu Rabi'. Mereka juga tidak kalah mulia dan terhormat dari Ibnu Rabi'." ( )
Rasulullah pun menjawab, "Engkau benar wahai pamanku."
Seperti kebiasaan Rasulullah dalam menikahkan para putrinya, beliau meminta izin kepada dua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, tentang pernikahan mereka dengan putra paman mereka Abdul 'Uzza, 'Utbah dan 'Utaibah putra Abu Lahab.
Kedua putri Rasulullah itu bukankah putri yang berani menentang perintah ayah mereka atau menimbulkan kesulitan bagi keluarga dan sanak familinya. Diam dan tenang adalah jawaban mereka.
Beberapa hari kemudian, pernikahan mereka pun berlangsung dengan tenang dan tentram. Ruqayyah dinikahi oleh Utbah ibn Abi Lahab sementara Ummu Kultsum dinikahi oleh saudaranya, Utaibah.
Sang ayah yang penyayang, Muhammad, memberkahi pernikahan ini. Beliau serahkan perlindungan kedua putrinya tersebut kepada Allah SWT.
Demikian pula Sayyidah Khadijah yang melepaskan kedua putrinya dengan tetesan air mata. la pun lebih banyak meluangkan waktu untuk memberi perhatian kepada sang suami yang terpercaya dengan menjamin ketenangan dan kedamaian saat beliau melakukan ibadah kepada Allah SWT.
Di samping itu, Khadijah merawat putrinya terakhir yang tinggal bersamarnya, yang menjadi penghibur dan penyejuk hati baginya. la adalah Fathimah yang pada saat itu masih kecil, manja, dan dicintai oleh sang ayah.
Pada awalnya, Sayyidah Khadijah, kurang berkenan dengan pernikahan itu. Soalnya, beliau membenci perilaku ibu Utbah, Ummu Jamil binti Harb. Istri Abu Lahab itu terkenal berperangai buruk dan jahat. Ia khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya itu.
Ruqayyah lahir sekitar 20 tahun sebelum Hijrah. Dan ketika Muhammad diangkat menjadi Nabi, maka Abu Lahab adalah orang yang paling memusuhi Rasulullah dan Islam. Lelaki gemuk yang gampang emosian ini kerap menghasut orang-orang Makkah agar memusuhi Nabi dan para sahabat. Begitu pula istrinya, Ummu Jamil. Ia selalu berusaha mencelakai Rasulullah.
Konspirasi Jahat
Kisah lain menyebutkan, begitu Muhammad menerima risalah dari Allah SWT dan menyeru umat manusia kepada agama yang benar, berkumpullah kaum Quraisy dan mulai menyusun konspirasi jahat terhadap Rasulullah. Salah seorang juru bicara mereka berkata, "Sesungguhnya, kalian telah melepaskan beban Muhammad. Karena itu, kembalikanlah putri-putrinya agar ia sibuk mengurus mereka!"
Mereka segera menemui ketiga menantu Rasulullah dan mengatakan, "Ceraikanlah istrimu dan kami akan menikahkanmu dengan wanita Quraisy mana saja yang engkau kehendaki!"
Abu al-'Ash menolak untuk memulangkan Zainab kepada Rasulullah karena ia telah memilih Zainab melebihi seluruh wanita Quraisy. Adapun kedua putra Abu Lahab segera mengiyakan tawaran mereka. Utbah memilih calon istri untuk menggantikan Ruqayyah. Ia memilih seorang gadis dari keluarga Sa'id ibn 'Ash.
Akhirnya, kedua putri Rasulullah itu pun kembali kepada keluarganya sebelum sempat dipergauli.
Ummu Jamil, Hammalat al-Hathab, adalah wanita yang berada di balik pemulangan para putri Rasulullah ini.
Pembawa Kayu Bakar
Ibnu Ishaq mengatakan, "Aku mendengar bahwa Ummu Jamil, si wanita pembawa kayu bakar itu, saat mendengar ayat Alquran yang turun tentang dirinya dan suaminya, ia datangi Rasulullah yang sedang duduk di Masjidil Haram di dekat Ka’bah , bersama Abu Bakar ash-Shiddiq . Ummu Jamil datang dengan membawa segenggam batu. Ketika ia berdiri di dekat Rasulullah dan Abu Bakar, Allah membuatnya tidak bisa melihat Rasulullah hingga ia hanya melihat Abu Bakar.
Ia berkata: 'Wahai Abu Bakar, di manakah temanmu? Aku mendengar bahwa ia telah menghardikku. Demi Allah, jika menjumpainya, aku akan menyumpal mulutnya dengan batu ini. Demi Allah, aku adalah seorang penyair.' Setelah itu, Ummu Jamil melantunkan syair:
"Sejak kapan kami durhaka
Kami menolak perintahnya
Terhadap agamanya kami membenci."
Setelah itu, ia pun pergi dan Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, apakah ia tidak melihatmu?” Rasulullah menjawab: “Allah telah membuatnya sama sekali tidak bisa melihatku”.
Bagi keluarga Rasulullah yang jujur dan beriman, ujian dan cobaan di jalan Allah itu hanya semakin meningkatkan ketabahan dan keteguhan mereka.
Sejak masa-masa awal bi'tsah (pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul), Rasulullah telah mengatakan kepada Khadijah, istrinya, "Waktu istirahat telah lewat wahai Khadijah."
Sayyidah Khadijah pun mengerti yang dimaksud oleh kalimat Rasulullah ini. la pun meneguhkan hati untuk selalu berdiri di samping sang suami, Nabi yang mulia.
Sayyidah Khadijah selalu menguatkan Rasulullah dan meringankan beban yang beliau hadapi hingga hilanglah duka yang beliau rasakan.
Kedua putri Khadijah, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, juga mengerti apa yang sedang dikerjakan oleh kedua orangtua mereka. Mereka tahu sejauh mana penderitaan yang dihadapi oleh keluarga Muhammad akibat berbagai bentuk penindasan, gangguan, dan siksaan yang diperbuat oleh kaum dan sanak keluarganya.
Si wanita pembawa kayu bakar dan suaminya, Abu Lahab telah salah mengira, demikian pula dengan seluruh kaum Quraisy.
Menikah dengan Utsman
Sayyidah Ruqayyah memeluk Islam bersamaan dengan Bunda Khadijah. Rasulullah tidaklah menderita karena dipulangkannya kedua putri beliau. Perceraian mereka tidaklah menyusahkan bagi beliau karena Allah justru telah menyelamatkan mereka dari ujian untuk hidup bersama dua putra Abu Lahab dan istrinya, si wanita pembawa kayu bakar yang jahat.
Tak lama setelah itu Utsman bin Affan menikahi Sayyidah Ruqayyah. Putri kedua Rasulullah ini mendapat jodoh yang jauh lebih baik. Utsman adalah laki-laki saleh dan mulia. Salah satu pemuda Quraisy dari keturunan yang paling terhormat. Salah satu dari delapan orang yang paling awal masuk Islam dan salah satu dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira akan masuk surga.
Nama lengkap dan nasabnya, Utsman ibn Affan ibn Abi al-'Ash ibn Umayah ibn Abdi al-'Ash ibn Umayah ibn Abdi Syams. Dari jalur ayah, Utsman ibn Affan bertemu nasab dengan Rasulullah s.a.w pada Abdi Manaf ibn Qushay. Adapun dari jalur ibu, ia bertemu nasab dengan Rasulullah pada Abdul Muththalib ibn Hasyim karena neneknya dari pihak ibu adalah al-Baidha' Ummu Hakim binti Abdul Muththalib, kakek Rasulullah.
Tentang Utsman, Abdullah ibn Mas'ud mengatakan, "Utsman adalah orang yang paling rajin menyambung tali silaturahim di antara kami. Ia adalah salah seorang yang beriman, bertakwa, dan selalu mengerjakan kebaikan. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan."
Di samping memiliki nasab yang terhormat dan memiliki sifat-sifat yang baik sebagaimana dikatakan orang tentang dirinya, Utsman adalah orang yang berwajah cerah, berbudi pekerti mulia, hartawan, dan sempurna secara fisik.
Ketika Utsman ibn Affan mendatangi kediaman Rasulullah untuk menjadi menantu beliau dengan menikahi putri Ruqayyah binti Rasulullah, beliau pun menerima dan menikahkan Utsman dengan putrinya.
Beliau memberkahi mereka dalam pernikahan yang berbahagia itu. Ada yang mengatakan bahwa tidak pernah ada pasangan suami istri yang lebih sempurna dan lebih menyenangkan dibandingkan dengan mereka. Dalam pernikahan itu pun, para wanita melantunkan bait-bait syair yang paling indah:
"Pasangan terbaik yang pernah dilihat manusia adalah Ruqayyah dan suaminya, Utsman."
Reaksi kaum musyrikin terhadap pernikahan ini adalah dengan semakin keras dalam menindas dan menyiksa setiap orang yang memeluk Islam, bahkan termasuk kepada Rasulullah.
Penderitaan kaum Muslimin pun bertambah berat, dengan tekanan dan penindasan kaum kafir Quraisy. Ketika Rasulullah melihat siksaan yang diderita oleh para sahabat semakin berat, beliau bersabda, "Jika kalian pergi ke tanah Habasyah, kalian akan bertemu dengan seorang raja yang di sisinya tidak seorang pun mendapat kezaliman. Negeri itu adalah tanah persahabatan hingga Allah memberikan jalan keluar dari apa yang kalian alami."
Utsman ibn Affan adalah orang pertama melakukan hijrah menuju Habasyah ditemani sang istri, Ruqayyah, yang baru beberapa saat ia nikahi.
Rombongan muhajirin ke Habasyah ini membawa 11 orang wanita. Mereka meninggalkan kesenangan hidup berupa harta, anak dan keluarga serta negeri demi Allah.
Anas bin Malik meriwayatkan, Utsman bin Affan keluar bersama istrinya, Ruqayyah, putri Rasulullah SAW menuju negeri Habasyah. Lama Rasulullah SAW tidak mendengar kabar kedua orang itu. Kemudian datang seorang wanita Quraisy berkata, "Wahai Muhammad, aku telah melihat menantumu bersama istrinya."
Nabi SAW bertanya, "Bagaimanakah keadaan mereka ketika kau lihat?"
Wanita itu menjawab, "Dia telah membawa istrinya ke atas seekor keledai yang berjalan perlahan, sementara ia memegang kendalinya."
Maka Rasulullah SAW bersabda, "Allah menemani keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah laki-laki pertama yang hijrah membawa istrinya sesudah Luth AS."
Setibanya di Habasyah, mereka memperoleh perlakuan yang sangat baik dari Raja Habasyah. Di Habasyah pasangan ini dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdullah. Sejak itu Ruqayyah berkunyah Ummu Abdullah. Mereka hidup tenang dan tenteram, hingga datanglah berita bahwa keadaan kaum Muslimin di Makkah telah aman.
Mendengar berita tersebut, disertai kerinduan kepada kampung halaman, maka Utsman memutuskan bahwa kafilah Muslimin yang dipimpinnya itu akan kembali lagi ke Makkah. Mereka pun kembali. Namun apa yang dijumpai berbeda dengan apa yang mereka dengar ketika di Habasyah.
Pada masa itu, mereka menyaksikan keadaan kaum Muslimin yang mendapatkan penderitaan lebih parah lagi. Pembantaian dan penyiksaan atas umat Islam semakin meningkat. Sehingga rombongan ini tidak berani memasuki Makkah pada siang hari. Ketika malam telah menyelimuti kota Makkah, barulah mereka mengunjungi rumah masing-masing yang dirasa aman.
Ruqayyah pun pulang ke rumahnya, hendak melepas rindu terhadap orang tua dan saudara-saudaranya. Betapa kagetnya ia, ketika ternyata ibunya, Sayyidah Khadijah, telah wafat. Ruqayyah dilanda kesedihan yang sangat mendalam.
Menggambarkan situasi kepulangan Ruqayyah ke tempat tinggal Doktor Aisyah Abdurrahman mengatakan, "Ruqayyah telah kembali ke rumah ayahnya dengan penuh kerinduan dan susah payah. Kedua saudarinya, Ummu Kultsum dan Fathimah, sangat gembira bertemu denganya. Mereka merangkul dan mendekap Ruqayyah dengan air mata yang mengalir meski telah berusaha untuk menahan diri. Ruqayyah melepaskan diri dari rangkulan mereka dan bertanya dengan penuh rasa penasaran: "Di manakah ayahku, di manakah ibuku?"
Mereka pun menjawab: Ayahmu baik-baik saja. Beliau sedang keluar untuk menemui mereka yang baru saja pulang bersamamu dari tanah hijrah di Habasyah.' Namun, bibir mereka bergetar dan menyembunyikan ratapan.
Ruqayyah kembali bertanya dengan hati yang mulai khawatir: 'Ibuku, di manakah ibuku?'
Ummu Kultsum menunduk dan diam tanpa menjawab sepatah kata pun. Adapun Fathimah meninggalkan ruangan sambil menangis. Saat itulah, Ruqayyah berhenti bertanya. la berjalan gontai menuju kamar almarhumah ibunya. la pun terbaring di atas ranjang dengan pandangan kosong dan hampa.
Sampai akhirnya, datanglah sang ayah, Rasulullah SAW, yang segera mencairkan kebekuan jiwa Ruqayyah dengan pertemuan yang hangat. Dengan sangat simpatik, Rasulullah menyingkirkan batu-batu kepedihan yang menyesakkan dada putrinya itu.
Air mata kesedihan dan duka mengalir deras dari kedua matanya lalu ia mendekap dada yang mulia dan lapang itu. Ruqayyah kembali menjadi tenang dan sabar.
Datanglah sang suami, Utsman ibn Affan, mengusap air mata Ruqayyah saat air mata itu membasahi jiwanya yang mengalir dalam hati karena kepergian sang ibu, Khadijah junjungan seluruh wanita Quraisy.
Tak lama kemudian, kaum Muslimin memutuskan hijrah ke Madinah. Ruqayyah juga ikut hijrah bersama suaminya, Utsman, sehingga dia menjadi wanita yang hijrah dua kali.
Rasulullah mengizinkan keluarga dan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Salah satu Muhajirin yang paling awal melakukan hijrah adalah Utsman ibn Affan dan istrinya Ruqayyah binti Rasulullah.
Mereka berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, bahagia, dan tenang hingga hari-harinya mampu diisi dengan ibadah, baik untuk dunia maupun akhirat.
Hari-hari pertama saat mereka berada di Madinah al-Munawwarah merupakan hari yang penuh kebahagiaan dan ketenangan. Mereka hidup bersama putra tercinta, Abdullah ibn Utsman. Keluarga mereka diselimuti oleh cinta dan kebahagiaan ketika Rasulullah datang sambil menggendong putra mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang disertai untaian senyum yang menenteramkan hati. Kebahagiaan beliau menimbulkan kebahagiaan bagi seluruh kaum Muhajirin maupun Anshar.
Namur kebahagiaan itu segera sirna saat sang anak tercinta Abdullah ibn Utsman jatuh sakit hingga kemudian meninggal dunia dalam usia enam tahun. Ruqayyah kembali mengalami sedihnya perpisahan sesudah kepergian sang ibu.
la pun menyirami bumi dengan air mata karena merasakan pahitnya duka atas kematian yang begitu menekan jiwanya. Kondisinya itu pada akhirnya menyebabkan Ruqayyah jatuh sakit dan menderita demam yang cukup tinggi.
Perang Badar
Tak berapa lama kemudian bergema seruan Perang Badar. Para sahabat bersiap-siap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun sakit Ruqayyah belum juga sembuh. Rasulullah pun memerintahkan Utsman bin Affan untuk tetap tinggal menemani dan merawat istrinya.
Utsman ibn Affan tetap berada di samping istrinya tercinta yang sakitnya semakin parah dan mulai dibayang-bayangi oleh kematian. Utsman memandangi wajah Ruqayyah yang layu dan pucat.
Ketenangan pun hilang dari hatinya, berganti dengan kesedihan yang menyelimuti segenap jiwanya. Napas terengah yang dihirup oleh Ruqayyah dengan susah payah, meski samar-samar, menunjukkan dengan gamblang akan tanda-tanda kematiannya.
la telah menapaki jalan yang sama dengan jalan yang dilewati oleh sang ibu, Ummul Mukminin Khadijah ra, sebelumnya. Jalan menuju keabadian di dalam kerajaan Allah, Tuhan seluruh alam.
Sang suami tercinta yang setia mendampinginya tidak bisa melihat dengan jelas sang istri karena terhalang oleh air mata. Saat itu Ruqayyah sedang menghadapi sakratulmaul untuk menghadap Tuhan Yang Maha Mulia. Begitu suara kaum Muslimin yang pulang dari Perang Badar terdengar menggema di angkasa mengumandangkan kalimat, "Allahu Akbar", pertanda bahwa kemenangan telah berhasil diraih, nyawa Ruqayyah binti Rasulullah itu telah sampai waktunya untuk mengucapkan salam perpisahan pada dunia yang fana ini, berjalan menuju alam akhirat yang penuh keabadian.
Ruqayyah wafat pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah di kala Rasulullah SAW masih berada di medan Badar. Berita wafatnya Ruqayyah ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah SAW berkata, "Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Maz’un."
Utsman memakamkan jenazah istrinya pada hari dimana datangnya Zaid bin Haritsah ke Madinah membawa kabar kemenangan kaum muslimin pada pertempuran Badar. Ketika Nabi Muhammad S.A.W. mendapatkan kabar atas wafat putrinya Ruqayyah, ia bersabda: Segala puji bagi Allah, telah dimakamkan putri-putri dari perempuan-perempuan yang mulia.
Ketika Ruqayyah wafat banyak wanita di Madinah menangis sedih, sehingga membuat Umar bin Al-Khathab mengambil cemetinya untuk menghentikan tangisan mereka.
Namun Rasulullah SAW mengambil cemeti yang ada di tangan Umar, seraya bersabda, "Wahai Umar, biarkanlah mereka menangis. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan setan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari setan."
Fathimah, adik Ruqayyah, duduk di bibir liang kubur kakaknya di samping Rasulullah SAW dan menangis. Melihat putrinya menangis, Rasulullah mengusap air mata Fathimah yang menetes dengan ujung pakaian beliau.
Anas bin Malik bertutur, kami melihat prosesi pemakaman Ruqayyah binti Rasulullah SAW. Beliau duduk di atas kuburannya, kemudian kulihat kedua matanya berlinang air mata. Kemudian beliau bertanya, “Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tidak melakukan hubungan suami istri semalam?” Abu Talhah menjawab, “Saya”. Lalu, Rasulullah SAW berkata, “Turunlah ke liang kuburnya”. Kemudian Abu Thalhah turun ke liang kuburnya.
Sayyidah Ruqayyah wafat pada tahun 2 H saat usianya masih belia, 21 tahun. Kemudian, pada tahun ke-4 H adiknya, Ummu Kultsum putri Rasulullah ketiga dinikahi Utsman bin Affan sehingga Utsman digelari Dzun-Nurain yang bermakna pemilik dua cahaya.***
(mhy)