Kisah Al-Ghafiqi, Terulangnya Tragedi Uhud yang Memilukan

Sabtu, 30 Mei 2020 - 12:40 WIB
Balath Syuhada laksana ulangan tragedi Uhud yang memilukan. Foto/Ilustrasi/Ist
“Masih adakah generasi tabi’in senior di sini?” tanya as-Samah bin Malik al-Khaulani, usai dirinya diangkat menjadi gubernur yang bertanggung jawab atas seluruh Andalusia (sekarang Spanyol dan Portugal) dan beberapa kota yang telah ditaklukkannya di Prancis. Ia bermaksud mencari sahabat-sahabat baik yang bisa membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan.

“Masih, di sini masih ada seorang tabi’in utama bernama Abdurrahman al-Ghafiqi,” jawab sejumlah orang sembari memuji ilmu dan keahlian tabi’in tersebut tentang hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perannya dalam jihad, kerinduannya akan syahadah fi sabillah dan zuhud terhadap kesenangan dunia. Beliau juga berguru kepada sahabat utama, Abdullah bin Umar bin Khaththab yang ilmu dan perilakunya sangat mirip dengan ayahnya.

Selanjutnya, Gubernur as-Samah bin Malik segera mengundang Abdurrahman al-Ghafiqi. Kedatangan tokoh tabi’in tersebut disambut dengan penuh hormat. Kepada Al-Ghafiqi, as-Samah bin Malik menawarkan jabatan untuk menangani wilayah Andalusia, kini masuk wilayah Spanyol. ( )

“Wahai Gubernur, aku hanyalah orang biasa, seperti yang lain," jawab Al-Ghafiqi. "Aku datang ke daerah ini hanya untuk mengetahui batas-batas daerah kaum muslimin dan batas-batas fartah musuh mereka. Aku hanya meniatkan diriku untuk mencari ridlo Allah yang Maha Agung, dan aku membawa pedangku ini hanya untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Insya’allah Gubernur akan melihatku selalu taat selama engkau menegakkan kebenaran. Aku akan selalu mengikuti perintah Gubernur, selama Anda taat pada perintah Allah dan Rasul -Nya, walaupun aku tidak diberi kekuasaan dan perintah,” lanjutnya.

Tak lama berselang setelah pertemuan itu, Gubernur as-Samah bin Malik, bertekad untuk menaklukkan seluruh wilayah Prancis dan menyatukannya dengan wilayah Negara Islam.



Ketika itu, target berikutnya adalah Toulouse, ibukota Octania. Tanpa membuang-buang waktu, pasukan Islam segera memasang semacam ranjau-ranjau di berbagai tempat, kemudian memulai serangan dengan senjata-senjata yang tidak dikenal di Eropa.



Pada saat yang bersamaan raja Octania bertolak ke Eropa untuk mencari bala bantuan. Dia menyebar utusan-utusan ke seluruh negeri. Dia memprovokasi raja-raja Eropa dengan cara memperingatkan akan bahaya ekspansi Islam yang akan merambat ke wilayah mereka juga. Sehingga kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai tawanan. Hasilnya, semua negeri mengirimkan pasukan khususnya lengkap dengan persenjataan yang menjadi andalan mereka.

Jumlah pasukan begitu besar, gemuruh suara para tentara dan lengkapnya senjata perang belum pernah dilihat dunia sebelum itu. Hingga debu-debu terbang menutupi kota Rhone dari sinar matahari, lantaran banyaknya kaki yang menginjaknya.

Tatkala dua kubu telah berhadap-hadapan, terbayang oleh orang-orang seakan gunung tengah berhadapan dengan gunung. Perang sengit tak terelakkan lagi. as-Samah bin Malik selalu di garis depan. Dia dijuluki Dzaama, bergerak dengan tangkas ke sayap kanan dan sayap kiri tanpa mengenal lelah. Pada saat itulah anak panah meluncur mengenai dirinya. Maka robohlah panglima tertinggi yang perkasa itu dan syahid.

Begitu mengetahui panglimanya gugur, seorang orientalis Prancis Rhino, menggambarkan pasukan Islam menjadi goncang. Jatuhlah mental juang mereka, lalu barisan pun mulai kocar-kacir. Mereka bergerak mundur dan hampir dapat dipastikan bahwa pasukan Eropa berhasil menghancurkan mereka kalau saja pada saat yang kritis itu tidak tampil sosok yang cerdas dan tangguh yang selama ini telah disegani Eropa, yaitu Abdurrahman al-Ghafiqi.

Di bawah komando panglima baru ini, pasukan Islam bergerak mundur tanpa mengalami banyak kerugian. Mereka bergerak ke Spanyol dengan tekad kelak akan menebus kekalahannya.



Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam "Mereka adalah Para Tabi’in" berkisah, perang besar Toulouse telah melahirkan panglima baru yang tangkas dan berhasil menyelamatkan pasukan Islam dari timbulnya banyak korban. "Jika pasukan itu ibarat kafilah yang hampir mati kehausan di tengah sahara, maka Abdurrahman al-Ghafiqi adalah orang yang menyuguhkan minum kepada mereka. Beliau menjadi tumpuan para prajurit muslimin untuk memulihkan kekuatan dan membimbing mereka menjauhi banyaknya korban yang berjatuhan," tuturnya.

Pertempuran Toulouse telah menorehkan luka pertama yang teramat pedih pada diri pasukan Islam sejak menginjakkan kakinya di Benua Eropa. Kehadiran Abdurrahman al-Ghafiqi menjadi penawar luka tersebut dan dengan tangannya yang penuh kasih dia merawat mereka sepenuh perhatian.

Kabar kekalahan pasukan Islam tersebut akhirnya sampai ke telinga Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz, di Damaskus. Selanjutnya, beliau memerintahkan agar seluruh prajurit melakukan bai’at kepada Abdurrahman al-Ghafiqi.

Kini beliau diangkat sebagai pemimpin seluruh Spanyol dan daerah-daerah Prancis yang sudah berhasil dikuasai. Dengan jabatan tersebut al-Ghafiqi mendapatkan otonomi untuk mengatur strategi yang dikehendakinya.

Pemimpin baru Abdurrahman al-Ghafiqi tidak membuang-buang waktu. Beliau segera membenahi kembali pasukan Islam, menempa tekad para prajurit, mengembalikan kepercayaan diri, kehormatan, dan kekuatan mereka. Semua ditujukan untuk melanjutkan obsesi tokoh-tokoh muslimin Spanyol sejak Zaman Musa bin Nushair hingga as-Samah bin Malik, yaitu menguasa Prancis, Italia, Jerman hingga Konstantinopel, serta menjadikan laut putih tengah sebagai lautan Islam dan mengganti nama laut Romawi menjadi laut Syam.

Baca Juga: Sunan Kalijaga, Nyai Ratu Kidul dan Kisah Rompi Ontokusumo
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila Berbuka Puasa, beliau mengucapkan:  DZAHABAZH ZHAMAA'U WABTALLATIL 'URUUQU WA TSABATIL AJRU IN SYAA-ALLAAH (Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insya Allah).

(HR. Sunan Abu Dawud No. 2010)