Kisah Penyerangan Ka'bah: Abrahah Binasa oleh Virus Mematikan
Minggu, 31 Mei 2020 - 05:00 WIB
PARA ahli banyak tertarik menganalisis ayat demi ayat pada surah al-Fil, khususnya pada tiga ayat terakhir, karena mereka menilai tersirat sebuah isyarat ilmiah yang cukup penting. Muhammad Abduh mengartikan al-thair dengan sejenis serangga atau dewasa ini sering disebut dengan virus . Virus atau mikroba ini disebarkan melalui angin yang memusnahkan seluruh pasukan gajah Abrahah .
Sebelum kita lebih banyak membahas sekitar tafsir Surat Al-Fil kita ungkit dulu ingatan kita tentang kisah penyerbuan tentara Abrahah yang gagal itu. ( )
Pada suatu hari di sekitar tahun 570 Masehi, Abrahah al-Asyram mengambil keputusan yang mengejutkan. Ka'bah harus dihancurkan agar orang-orang Arab lebih banyak datang ke gereja di Yaman.
Keputusan tersebut diambil penguasa Yaman itu setelah ia gagal menarik orang-orang datang ke gereja yang ia bangun. Padahal gereja itu jauh lebih megah dan mewah.
Kala itu, kedudukan Makkah dengan Ka'bah , mendorong daerah lain juga ingin memiliki hal serupa. Mereka pun berlomba-lomba membangun rumah-rumah ibadat sendiri-sendiri. Rumah ibadat itu dibuat lebih mentereng dan megah, dengan maksud mengalihkan perhatian orang dari Makkah dan Rumah Sucinya ke daerah mereka.
Di Hira pihak Ghassan mendirikan rumah suci, Abrahah al-Asyram juga membangun rumah suci di Yaman. Bahkan sampai demikian rupa Abrahah menghiasi rumah sucinya itu dengan membawa perlengkapan paling mewah yang kira-kira akan menarik orang-orang Arab - bahkan orang-orang Makkah sendiri – ke tempat itu.
Akan tetapi Abrahah hanyalah mimpi. Upayanya itu gagal. Jangankan orang Arab, orang-orang Yaman sendiripun meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap ziarah mereka tidak sah kalau tidak ke Makkah.
Bagi orang Arab, bangunan tempat ibadah nan megah itu tidak bisa menggantikan Ka'bah. Mereka enggan berpaling dari Makkah.
Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" memaparkan tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu kecuali ia harus menghancurkan rumah Ibrahim dan Ismail itu. "Dengan pasukan yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah besar," tulisnya.
Ada sedikit upaya melawan dari pihak pembela Ka'bah namun semua sia-sia. Seorang laki-laki bernama Dhu-Nafar - salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman - tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang Arab lainnya yang bersedia berjuang melawan Abrahah serta maksudnya yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapat menghalangi Abrahah. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi tawanan.
Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin Habib al-Khath'ami. Ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari kabilah Syahran dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan, yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk jalan.
Pada saat Abrahah sudah mendekati Makkah, ia kirim pasukan berkuda sebagai kurir. Tidak hanya itu mereka juga mengambil harta benda Quraisy, termauk seratus ekor unta milik Abd'l-Muttalib bin Hasyim.
Pada mulanya orang-orang Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi bergitu melihat kekuatan tentara Abrahah, mereka membatalkan niatnya.
Sementara itu Abrahah sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan bernama Hunata dan Himyar untuk menemui pemimpin Makkah. Ia diantar menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia menyampaikan pesan Abrahah, bahwa kedatangannya bukan akan berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Makkah tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.
Ka'bah: Kisah Nazar Abdul Muthalib Menyembelih Anaknya
Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud berperang, ia pergi ke markas pasukan Abrahah bersama Hunata, bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Makkah lainnya.
Kedatangan delegasi Abd'l-Muttalib ini disambut baik oleh Abrahah, dengan menjanjikan akan mengembalikan unta Abd'l-Muttalib. Akan tetapi ia menolak pembicaraan terkait Ka'bah.
Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali ke Makkah. Ia mengajak warga Makkah meninggalkan tempat itu dan pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari Abrahah dan pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan Ka'bah.
Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan kota itu dan di mana pula akan tinggal. Malam itulah Abd'l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Quraisy, berkumpul sekeliling pintu Ka'bah. Dia bermohon, kepada tuhan terhadap agresor yang akan menghancurkan Baitullah itu.
Wabah
Haekal memaparkan ketika mereka sudah pergi dan seluruh Makkah sunyi dan tiba waktunya bagi Abrahah mengerahkan pasukannya menghancurkan Ka'bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman, ketika itu pula wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan Abrahah dan membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah dialami sebelumnya.
Seluruh tentara dan gajah yang ditumpangi mereka hancur melalui serangan burung atau serangga Ababil, sebagaimana dilukiskan di dalam Al-Quran:
اَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصۡحٰبِ الۡفِيۡلِؕ
اَلَمۡ يَجۡعَلۡ كَيۡدَهُمۡ فِىۡ تَضۡلِيۡلٍۙ
وَّاَرۡسَلَ عَلَيۡهِمۡ طَيۡرًا اَبَابِيۡلَۙ
تَرۡمِيۡهِمۡ بِحِجَارَةٍ مِّنۡ سِجِّيۡلٍ
فَجَعَلَهُمۡ كَعَصۡفٍ مَّاۡكُوۡلٍ
Artinya: Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (QS Al-Fil 1-5)
Haekal menduga barangkali kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari jurusan laut, dan menular menimpa Abrahah sendiri. Ia merasa ketakutan sekali.
Pasukannya diperintahkan pulang ke Yaman, dan mereka yang tadinya menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati.
Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi banyaknya.
Sampai juga Abrahah ke Shan'a' tapi badannya sudah dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun mati seperti anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Makkah mencatatnya sebagai Tahun Gajah.
Seperti juga Haekal, menurut seorang ahli medicohistorico, Dr Kurtz Sprenger, musnahnya pasukan Abrahah tersebut karena epidemi cacar yang sangat dahsyat. Alasannya, epidemi sejenis itu mula-mula menjangkit di Jazirah Arab, bersamaan dengan peristiwa hancurnya pasukan Abrahah, yaitu sekitar tahun 558 M.
Pendapat Sprenger dikuatkan Sir William Muir. Ibnu Katsir jauh sebelumnya juga telah mengemukakan riwayat bahwa pada Tahun Gajah itu mulai menjangkit penyakit sejenis campak atau sejenis cacar.
Para ahli banyak tertarik menganalisis ayat demi ayat pada surah al-Fil, khususnya pada tiga ayat terakhir, karena mereka menilai tersirat sebuah isyarat ilmiah yang cukup penting. Kata thairan ababil banyak diterjemahkan para mufasir dengan ‘binatang yang berbondong-bondong’.
Hanya Muhammad Abduh yang menolak mengartikan al-thair dengan ‘burung’. Ia mengartikannya dengan sejenis serangga atau dewasa ini sering disebut dengan virus. Virus atau mikroba ini disebarkan melalui angin yang memusnahkan seluruh pasukan gajah Abrahah.
Apabila zat tersebut menyentuh anggota badan manusia, langsung mengakibatkan luka-luka yang pada akhirnya menyebabkan hancurnya seluruh badan, yang mengingatkan kita kepada virus antraks.
Segolongan ahli mengartikan sijjil dengan ‘tanah yang terbakar’, ‘batu yang dipahat’. Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa kata sijjil bermakna ‘tanah keras’. Ahmad Ramali menegaskan hancurnya pasukan Abrahah sebagai akibat epidemi peracun yang amat ganas, penularannya melalui udara dan selanjutnya memusnahkan seluruh tentara Abrahah.
Ibnu Ishak dalam as-Sirah an-Nabawiyyah juga menyebutkan bahwa di tahun itu terjangkit wabah yang mematikan. “Bahwa awal munculnya penyakit demam dan cacar yang menyeluruh di tanah Arab itu terjadi di tahun itu (tahun gajah)”.
Batu dari Sijjil
Ada beberapa kata atau frase tertentu yang perlu sedikit penjelasan di sini: yang pertama ialah hijaratan min sijjil (batu dari sijjil). Sijjil sendiri dalam bahasa Arab sebenarnya artinya ialah “catatan” dan karena itu, kata Muhammad Asad, bisa jadi artinya ialah “sesuatu yang sudah ditakdirkan sebelumnya”. Jadi frase hijaratan min sijjil merupakan metafora yang berarti “batu-batu azab yang telah ditakdirkan sebelumnya”.
Seperti yang telah disinggung di atas, yakni kutipan dari Ibnu Ishak yang kemudian banyak dikutip oleh ahli tafsirnya setelahnya seperti Ibnu Kathir misalnya, azab yang diberikan Tuhan kepada pasukan gajah ialah terjangkitnya wabah penyakit yang menyeluruh: “awal munculnya penyakit demam (hisbah) dan cacar (judari) yang menyeluruh di tanah Arab itu terjadi di tahun itu (tahun gajah)”.
Menariknya lagi, dalam kamus-kamus bahasa Arab klasik, terutama penjelasan lebih detail dapat kita temukan pada kamus Tajul Arus, kata hisbah yang menurut ahli disebut juga penyakit tiphus dalam bahasa Arab bisa diekspresikan dengan ungkapan “ashabathu al-hasbah” dan “tarmi hijaratan”.
Secara literal, ungkapan “tarmi hijaratan” ini mengandung arti “melempar batu” namun dalam bahasa Arab klasik “tarmi hijaratan” bisa juga dianggap sebagai frasa idiomatic yang artinya tidak bisa dilihat dari masing-masing satuan lingualnya. Karena dianggap sebagai frasa idiomatik, “Tarmi hijaratan” ini, seperti yang dijelaskan dalam Tajul Arus, artinya ialah terkena penyakit tiphus.
Sementara itu, dalam banyak literatur tafsir, banyak sekali yang menafsirkan kata tha’iran ababil secara imaginer. Ada yang menafsirkannya secara literal sebagai burung Ababil yang dikirim dari neraka. Ini seperti yang dipegang oleh Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an.
Kendati demikian, kalau seandainya yang dimaksud “tarmihim bi-hijarat” pada ayat di atas ditafsirkan sebagai penyakit menular seperti tiphus dan cacar, maka kata thairan ababil bisa jadi dapat ditafsirkan sebagai “burung” atau “serangga” atau “virus” dalam jumlah besar (dalam bahasa Arab ababil berarti banyak dan tidak bisa dihitung) yang dapat menularkan penyakit sehingga membunuh pasukan Abrahah.
Melihat hal yang demikian, tidaklah keliru jika dalam Surat al-Fil ini menjelaskan kepada kita bahwa pasukan gajah tewas terkena wabah penyakit menular dan mematikan di tengah perjalanan mereka menuju Makkah untuk menghancurkan Ka’bah.
Maka tidak keliru juga jika ada yang mengontruksi ulang, terjemahan dan tafsir surat al-Fil sbb: (1) Tidakkah kamu mengetahui wahai Muhammad apa yang telah diperbuat Tuhanmu terhadap pasukan gajah? (2) Bukankah Tuhan telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia. (3) dan mengirim virus-virus dalam jumlah besar (tairan ababil); (4) yang menularkan kepada mereka penyakit tiphus dan cacar; (5) sehingga mereka binasa seperti daun-daun yang dimakan [ulat]. Walla'alam.
Sebelum kita lebih banyak membahas sekitar tafsir Surat Al-Fil kita ungkit dulu ingatan kita tentang kisah penyerbuan tentara Abrahah yang gagal itu. ( )
Pada suatu hari di sekitar tahun 570 Masehi, Abrahah al-Asyram mengambil keputusan yang mengejutkan. Ka'bah harus dihancurkan agar orang-orang Arab lebih banyak datang ke gereja di Yaman.
Keputusan tersebut diambil penguasa Yaman itu setelah ia gagal menarik orang-orang datang ke gereja yang ia bangun. Padahal gereja itu jauh lebih megah dan mewah.
Kala itu, kedudukan Makkah dengan Ka'bah , mendorong daerah lain juga ingin memiliki hal serupa. Mereka pun berlomba-lomba membangun rumah-rumah ibadat sendiri-sendiri. Rumah ibadat itu dibuat lebih mentereng dan megah, dengan maksud mengalihkan perhatian orang dari Makkah dan Rumah Sucinya ke daerah mereka.
Di Hira pihak Ghassan mendirikan rumah suci, Abrahah al-Asyram juga membangun rumah suci di Yaman. Bahkan sampai demikian rupa Abrahah menghiasi rumah sucinya itu dengan membawa perlengkapan paling mewah yang kira-kira akan menarik orang-orang Arab - bahkan orang-orang Makkah sendiri – ke tempat itu.
Akan tetapi Abrahah hanyalah mimpi. Upayanya itu gagal. Jangankan orang Arab, orang-orang Yaman sendiripun meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap ziarah mereka tidak sah kalau tidak ke Makkah.
Bagi orang Arab, bangunan tempat ibadah nan megah itu tidak bisa menggantikan Ka'bah. Mereka enggan berpaling dari Makkah.
Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" memaparkan tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu kecuali ia harus menghancurkan rumah Ibrahim dan Ismail itu. "Dengan pasukan yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah besar," tulisnya.
Ada sedikit upaya melawan dari pihak pembela Ka'bah namun semua sia-sia. Seorang laki-laki bernama Dhu-Nafar - salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman - tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang Arab lainnya yang bersedia berjuang melawan Abrahah serta maksudnya yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapat menghalangi Abrahah. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi tawanan.
Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin Habib al-Khath'ami. Ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari kabilah Syahran dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan, yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk jalan.
Pada saat Abrahah sudah mendekati Makkah, ia kirim pasukan berkuda sebagai kurir. Tidak hanya itu mereka juga mengambil harta benda Quraisy, termauk seratus ekor unta milik Abd'l-Muttalib bin Hasyim.
Pada mulanya orang-orang Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi bergitu melihat kekuatan tentara Abrahah, mereka membatalkan niatnya.
Sementara itu Abrahah sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan bernama Hunata dan Himyar untuk menemui pemimpin Makkah. Ia diantar menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia menyampaikan pesan Abrahah, bahwa kedatangannya bukan akan berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Makkah tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.
Ka'bah: Kisah Nazar Abdul Muthalib Menyembelih Anaknya
Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud berperang, ia pergi ke markas pasukan Abrahah bersama Hunata, bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Makkah lainnya.
Kedatangan delegasi Abd'l-Muttalib ini disambut baik oleh Abrahah, dengan menjanjikan akan mengembalikan unta Abd'l-Muttalib. Akan tetapi ia menolak pembicaraan terkait Ka'bah.
Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali ke Makkah. Ia mengajak warga Makkah meninggalkan tempat itu dan pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari Abrahah dan pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan Ka'bah.
Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan kota itu dan di mana pula akan tinggal. Malam itulah Abd'l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Quraisy, berkumpul sekeliling pintu Ka'bah. Dia bermohon, kepada tuhan terhadap agresor yang akan menghancurkan Baitullah itu.
Wabah
Haekal memaparkan ketika mereka sudah pergi dan seluruh Makkah sunyi dan tiba waktunya bagi Abrahah mengerahkan pasukannya menghancurkan Ka'bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman, ketika itu pula wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan Abrahah dan membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah dialami sebelumnya.
Seluruh tentara dan gajah yang ditumpangi mereka hancur melalui serangan burung atau serangga Ababil, sebagaimana dilukiskan di dalam Al-Quran:
اَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصۡحٰبِ الۡفِيۡلِؕ
اَلَمۡ يَجۡعَلۡ كَيۡدَهُمۡ فِىۡ تَضۡلِيۡلٍۙ
وَّاَرۡسَلَ عَلَيۡهِمۡ طَيۡرًا اَبَابِيۡلَۙ
تَرۡمِيۡهِمۡ بِحِجَارَةٍ مِّنۡ سِجِّيۡلٍ
فَجَعَلَهُمۡ كَعَصۡفٍ مَّاۡكُوۡلٍ
Artinya: Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (QS Al-Fil 1-5)
Haekal menduga barangkali kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari jurusan laut, dan menular menimpa Abrahah sendiri. Ia merasa ketakutan sekali.
Pasukannya diperintahkan pulang ke Yaman, dan mereka yang tadinya menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati.
Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi banyaknya.
Sampai juga Abrahah ke Shan'a' tapi badannya sudah dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun mati seperti anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Makkah mencatatnya sebagai Tahun Gajah.
Seperti juga Haekal, menurut seorang ahli medicohistorico, Dr Kurtz Sprenger, musnahnya pasukan Abrahah tersebut karena epidemi cacar yang sangat dahsyat. Alasannya, epidemi sejenis itu mula-mula menjangkit di Jazirah Arab, bersamaan dengan peristiwa hancurnya pasukan Abrahah, yaitu sekitar tahun 558 M.
Pendapat Sprenger dikuatkan Sir William Muir. Ibnu Katsir jauh sebelumnya juga telah mengemukakan riwayat bahwa pada Tahun Gajah itu mulai menjangkit penyakit sejenis campak atau sejenis cacar.
Para ahli banyak tertarik menganalisis ayat demi ayat pada surah al-Fil, khususnya pada tiga ayat terakhir, karena mereka menilai tersirat sebuah isyarat ilmiah yang cukup penting. Kata thairan ababil banyak diterjemahkan para mufasir dengan ‘binatang yang berbondong-bondong’.
Hanya Muhammad Abduh yang menolak mengartikan al-thair dengan ‘burung’. Ia mengartikannya dengan sejenis serangga atau dewasa ini sering disebut dengan virus. Virus atau mikroba ini disebarkan melalui angin yang memusnahkan seluruh pasukan gajah Abrahah.
Apabila zat tersebut menyentuh anggota badan manusia, langsung mengakibatkan luka-luka yang pada akhirnya menyebabkan hancurnya seluruh badan, yang mengingatkan kita kepada virus antraks.
Segolongan ahli mengartikan sijjil dengan ‘tanah yang terbakar’, ‘batu yang dipahat’. Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa kata sijjil bermakna ‘tanah keras’. Ahmad Ramali menegaskan hancurnya pasukan Abrahah sebagai akibat epidemi peracun yang amat ganas, penularannya melalui udara dan selanjutnya memusnahkan seluruh tentara Abrahah.
Ibnu Ishak dalam as-Sirah an-Nabawiyyah juga menyebutkan bahwa di tahun itu terjangkit wabah yang mematikan. “Bahwa awal munculnya penyakit demam dan cacar yang menyeluruh di tanah Arab itu terjadi di tahun itu (tahun gajah)”.
Batu dari Sijjil
Ada beberapa kata atau frase tertentu yang perlu sedikit penjelasan di sini: yang pertama ialah hijaratan min sijjil (batu dari sijjil). Sijjil sendiri dalam bahasa Arab sebenarnya artinya ialah “catatan” dan karena itu, kata Muhammad Asad, bisa jadi artinya ialah “sesuatu yang sudah ditakdirkan sebelumnya”. Jadi frase hijaratan min sijjil merupakan metafora yang berarti “batu-batu azab yang telah ditakdirkan sebelumnya”.
Seperti yang telah disinggung di atas, yakni kutipan dari Ibnu Ishak yang kemudian banyak dikutip oleh ahli tafsirnya setelahnya seperti Ibnu Kathir misalnya, azab yang diberikan Tuhan kepada pasukan gajah ialah terjangkitnya wabah penyakit yang menyeluruh: “awal munculnya penyakit demam (hisbah) dan cacar (judari) yang menyeluruh di tanah Arab itu terjadi di tahun itu (tahun gajah)”.
Menariknya lagi, dalam kamus-kamus bahasa Arab klasik, terutama penjelasan lebih detail dapat kita temukan pada kamus Tajul Arus, kata hisbah yang menurut ahli disebut juga penyakit tiphus dalam bahasa Arab bisa diekspresikan dengan ungkapan “ashabathu al-hasbah” dan “tarmi hijaratan”.
Secara literal, ungkapan “tarmi hijaratan” ini mengandung arti “melempar batu” namun dalam bahasa Arab klasik “tarmi hijaratan” bisa juga dianggap sebagai frasa idiomatic yang artinya tidak bisa dilihat dari masing-masing satuan lingualnya. Karena dianggap sebagai frasa idiomatik, “Tarmi hijaratan” ini, seperti yang dijelaskan dalam Tajul Arus, artinya ialah terkena penyakit tiphus.
Sementara itu, dalam banyak literatur tafsir, banyak sekali yang menafsirkan kata tha’iran ababil secara imaginer. Ada yang menafsirkannya secara literal sebagai burung Ababil yang dikirim dari neraka. Ini seperti yang dipegang oleh Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an.
Kendati demikian, kalau seandainya yang dimaksud “tarmihim bi-hijarat” pada ayat di atas ditafsirkan sebagai penyakit menular seperti tiphus dan cacar, maka kata thairan ababil bisa jadi dapat ditafsirkan sebagai “burung” atau “serangga” atau “virus” dalam jumlah besar (dalam bahasa Arab ababil berarti banyak dan tidak bisa dihitung) yang dapat menularkan penyakit sehingga membunuh pasukan Abrahah.
Melihat hal yang demikian, tidaklah keliru jika dalam Surat al-Fil ini menjelaskan kepada kita bahwa pasukan gajah tewas terkena wabah penyakit menular dan mematikan di tengah perjalanan mereka menuju Makkah untuk menghancurkan Ka’bah.
Maka tidak keliru juga jika ada yang mengontruksi ulang, terjemahan dan tafsir surat al-Fil sbb: (1) Tidakkah kamu mengetahui wahai Muhammad apa yang telah diperbuat Tuhanmu terhadap pasukan gajah? (2) Bukankah Tuhan telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia. (3) dan mengirim virus-virus dalam jumlah besar (tairan ababil); (4) yang menularkan kepada mereka penyakit tiphus dan cacar; (5) sehingga mereka binasa seperti daun-daun yang dimakan [ulat]. Walla'alam.
(mhy)