Berapa Lamakah Batas Nifas? 40 Hari atau 60 Hari?
Selasa, 07 September 2021 - 07:00 WIB
Perempuan muslimah diberi keistimewaan mendapatkan haid dan nifas setelah melahirkan. Dalam keadaan seperti itu, perempuan muslimah diharamkan melaksanakan ibadah seperti shalat dan puasa. Bagaimana jika nifas yang dialami kaum muslimah ini berlangsung lebih dari 40 hari atau melebihi batas waktu nifas tersebut?
Berikut penjelasan Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah dalam kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikannya di kanal muslim, Rodja baru-baru ini. Menurutnya, darah nifas adalah darah yang keluar karena sebab melahirkan. Kalau darah tersebut keluarnya setelah melahirkan, maka para ulama ijma’ bahwa itu darah nifas. Kalau darah tersebut keluarnya berbarengan dengan proses melahirkan, maka jumhur ulama mengatakan itu darah nifas.
Adapun kalau darahnya keluar sebelum proses melahirkan, tapi keluarnya karena kontraksi, maka jumhur ulama mengatakan itu bukan darah nifas. Namun sebagian ulama mengatakan itu darah nifas. Dan pendapat yang mengatakan bahwa itu darah nifas lebih kuat, karena disebabkan adanya kontraksi (proses melahirkan). Sebab yang kedua yaitu karena wanita yang hamil biasanya tidak mengeluarkan darah. Sedikit sekali wanita hamil yang masih mengeluarkan haid. Maka ketika dekat-dekat waktu melahirkan ada darah yang keluar, apalagi keluarnya karena ada kontraksi yang itu merupakan tanda dekatnya kelahiran, maka ini menunjukkan bahwa itu adalah darah karena melahirkan.
Dengan pendapat ini wanita yang akan melahirkan lebih ringan dalam menjalani syariat Islam. Bayangkan apabila kontraksinya lama lalu keluar darah, dalam keadaan yang sakit seperti itu masih kita wajibkan untuk melakukan shalat, betapa beratnya menjalankan keadaan yang seperti itu.
Batas Nifas
Untuk batas minimal waktu nifas, menurut dai alumni Universitas Madinah itu, pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah yang mengatakan bahwa nifas itu tidak ada batasan minimalnya. Bisa jadi tidak lama setelah melahirkan seorang wanita langsung suci. Misalnya satu jam kemudian langsung suci. Dan darah yang keluar karena sebab melahirkan tersebut tetap dianggap sebagai darah nifas. "Bisa jadi nifasnya seseorang adalah satu hari, bisa jadi 2 hari, bisa jadi 3 hari. Selama ada darah yang keluar setelah proses melahirkan, maka itu dianggap sebagai darah nifas,"urainya.
Sedangkan batas maksimal nifas, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan 40 hari, ada yang mengatakan 60 hari. Ini dua pendapat yang paling masyhur dalam masalah ini; 60 hari dipilih oleh Imam Syafi’i Rahimahullah dan ulama-ulama lain yang sepakat dengan beliau. Sedangkan mayoritas ulama mengatakan bahwa batas maksimum masa nifas adalah 40 hari, dan ini yang lebih kuat dari sisi dalilnya.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha, beliau pernah mengatakan:
كَانَتِ النُّفَسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَقْعُدُ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam para wanita yang nifas duduk (tidak melakukan shalat dan hal-hal yang tidak diperbolehkan) setelah nifasnya selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Ini menunjukkan bahwa setelah itu mereka suci. Dan hitungan 40 hari ini adalah umumnya wanita. Jadi kalau sudah sampai 40 hari, maka hari ke 41 dianggap sebagai darah istihadhah, kecuali kalau bertepatan dengan hari haidnya.
Bagaimana kalau ada wanita yang nifasnya berhenti di hari ke-30 atau di hari ke-20 dan tidak keluar lagi? Apakah dia harus menunggu waktu 40 hari kemudian dia baru shalat? Ataukan dia shalat ketika darahnya berhenti?
Jawabannya adalah kalau memang benar-benar berhenti, maka ketika berhenti itulah dia punya kewajiban untuk shalat. Karena 40 hari adalah batas maksimum, bukan berarti seorang wanita harus menunggu 40 hari kemudian baru ada kewajiban untuk menjalankan shalat lagi.
Batas Nifas Maksimum 60 Hari?
Ustadz Ad-Dariny menjelaskan, batas maksimumnya nifas adalah hari ke-40, hal ini sebagaimana disebutkan oleh jumhur ulama. Adapun Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala beliau mengatakan sampai hari ke-60. Beliau mendasari pendapatnya dengan istiqra’ (penelitian). Beliau tidak menemukan ada wanita yang nifas melebihi 60 hari. Dan beliau menemukan banyak wanita yang nifas yang darahnya masih keluar setelah 40 hari. Makanya beliau mengatakan bahwa kalau memang darahnya masih seperti darah yang sebelumnya dan belum melewati hari ke-60, maka tetap dianggap sebagai darah nifas.
Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala juga menguatkan pendapatnya Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala. Hanya saja karena ada hadis dari Ummu Salamah dan banyak ulama menguatkan hadis ini, maka kita katakan hadis tersebut lebih kuat untuk dijadikan sebagai batas maksimal masa nifas.
Perbedaan pendapat ini bisa terjadi karena mungkin Imam Syafi’i melemahkan hadis itu dan tidak melihatnya sebagai hadis yang shahih. Sehingga beliau tidak wajib mengikuti hadis tersebut karena dalam pandangan beliau sanadnya kurang kuat. Atau bisa jadi beliau melihat sanadnya kuat tapi beliau memahami bahwa itu bukan penjelasan tentang batas maksimum dari masa nifas, tapi itu hanya menjelaskan tentang keadaan umum wanita di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bisa jadi beliau memahaminya demikian.
Dan inilah fikih. Ketika seorang ulama besar berpendapat dengan suatu pendapat, yakinlah bahwa Imam tersebut tidaklah berpendapat dengan pendapat yang seperti itu kecuali berdasarkan dalil yang menurut beliau lebih kuat. "Maka kalau kita melihat ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama besar, hati-hati dengan lisan kita, jangan sampai kita merendahkan salah satu pendapat. Katakan bahwa menurut saya yang lebih kuat pendapat ini, tapi jangan rendahkan pendapat yang lainnya. Itulah adab dalam berbeda pendapat yang telah dicontohkan oleh para ulama kita dari zaman dulu,"paparnya.
Wallahu A'lam
Berikut penjelasan Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah dalam kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikannya di kanal muslim, Rodja baru-baru ini. Menurutnya, darah nifas adalah darah yang keluar karena sebab melahirkan. Kalau darah tersebut keluarnya setelah melahirkan, maka para ulama ijma’ bahwa itu darah nifas. Kalau darah tersebut keluarnya berbarengan dengan proses melahirkan, maka jumhur ulama mengatakan itu darah nifas.
Adapun kalau darahnya keluar sebelum proses melahirkan, tapi keluarnya karena kontraksi, maka jumhur ulama mengatakan itu bukan darah nifas. Namun sebagian ulama mengatakan itu darah nifas. Dan pendapat yang mengatakan bahwa itu darah nifas lebih kuat, karena disebabkan adanya kontraksi (proses melahirkan). Sebab yang kedua yaitu karena wanita yang hamil biasanya tidak mengeluarkan darah. Sedikit sekali wanita hamil yang masih mengeluarkan haid. Maka ketika dekat-dekat waktu melahirkan ada darah yang keluar, apalagi keluarnya karena ada kontraksi yang itu merupakan tanda dekatnya kelahiran, maka ini menunjukkan bahwa itu adalah darah karena melahirkan.
Dengan pendapat ini wanita yang akan melahirkan lebih ringan dalam menjalani syariat Islam. Bayangkan apabila kontraksinya lama lalu keluar darah, dalam keadaan yang sakit seperti itu masih kita wajibkan untuk melakukan shalat, betapa beratnya menjalankan keadaan yang seperti itu.
Batas Nifas
Untuk batas minimal waktu nifas, menurut dai alumni Universitas Madinah itu, pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah yang mengatakan bahwa nifas itu tidak ada batasan minimalnya. Bisa jadi tidak lama setelah melahirkan seorang wanita langsung suci. Misalnya satu jam kemudian langsung suci. Dan darah yang keluar karena sebab melahirkan tersebut tetap dianggap sebagai darah nifas. "Bisa jadi nifasnya seseorang adalah satu hari, bisa jadi 2 hari, bisa jadi 3 hari. Selama ada darah yang keluar setelah proses melahirkan, maka itu dianggap sebagai darah nifas,"urainya.
Sedangkan batas maksimal nifas, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan 40 hari, ada yang mengatakan 60 hari. Ini dua pendapat yang paling masyhur dalam masalah ini; 60 hari dipilih oleh Imam Syafi’i Rahimahullah dan ulama-ulama lain yang sepakat dengan beliau. Sedangkan mayoritas ulama mengatakan bahwa batas maksimum masa nifas adalah 40 hari, dan ini yang lebih kuat dari sisi dalilnya.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha, beliau pernah mengatakan:
كَانَتِ النُّفَسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَقْعُدُ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam para wanita yang nifas duduk (tidak melakukan shalat dan hal-hal yang tidak diperbolehkan) setelah nifasnya selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Ini menunjukkan bahwa setelah itu mereka suci. Dan hitungan 40 hari ini adalah umumnya wanita. Jadi kalau sudah sampai 40 hari, maka hari ke 41 dianggap sebagai darah istihadhah, kecuali kalau bertepatan dengan hari haidnya.
Bagaimana kalau ada wanita yang nifasnya berhenti di hari ke-30 atau di hari ke-20 dan tidak keluar lagi? Apakah dia harus menunggu waktu 40 hari kemudian dia baru shalat? Ataukan dia shalat ketika darahnya berhenti?
Jawabannya adalah kalau memang benar-benar berhenti, maka ketika berhenti itulah dia punya kewajiban untuk shalat. Karena 40 hari adalah batas maksimum, bukan berarti seorang wanita harus menunggu 40 hari kemudian baru ada kewajiban untuk menjalankan shalat lagi.
Batas Nifas Maksimum 60 Hari?
Ustadz Ad-Dariny menjelaskan, batas maksimumnya nifas adalah hari ke-40, hal ini sebagaimana disebutkan oleh jumhur ulama. Adapun Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala beliau mengatakan sampai hari ke-60. Beliau mendasari pendapatnya dengan istiqra’ (penelitian). Beliau tidak menemukan ada wanita yang nifas melebihi 60 hari. Dan beliau menemukan banyak wanita yang nifas yang darahnya masih keluar setelah 40 hari. Makanya beliau mengatakan bahwa kalau memang darahnya masih seperti darah yang sebelumnya dan belum melewati hari ke-60, maka tetap dianggap sebagai darah nifas.
Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala juga menguatkan pendapatnya Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala. Hanya saja karena ada hadis dari Ummu Salamah dan banyak ulama menguatkan hadis ini, maka kita katakan hadis tersebut lebih kuat untuk dijadikan sebagai batas maksimal masa nifas.
Perbedaan pendapat ini bisa terjadi karena mungkin Imam Syafi’i melemahkan hadis itu dan tidak melihatnya sebagai hadis yang shahih. Sehingga beliau tidak wajib mengikuti hadis tersebut karena dalam pandangan beliau sanadnya kurang kuat. Atau bisa jadi beliau melihat sanadnya kuat tapi beliau memahami bahwa itu bukan penjelasan tentang batas maksimum dari masa nifas, tapi itu hanya menjelaskan tentang keadaan umum wanita di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bisa jadi beliau memahaminya demikian.
Dan inilah fikih. Ketika seorang ulama besar berpendapat dengan suatu pendapat, yakinlah bahwa Imam tersebut tidaklah berpendapat dengan pendapat yang seperti itu kecuali berdasarkan dalil yang menurut beliau lebih kuat. "Maka kalau kita melihat ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama besar, hati-hati dengan lisan kita, jangan sampai kita merendahkan salah satu pendapat. Katakan bahwa menurut saya yang lebih kuat pendapat ini, tapi jangan rendahkan pendapat yang lainnya. Itulah adab dalam berbeda pendapat yang telah dicontohkan oleh para ulama kita dari zaman dulu,"paparnya.
Wallahu A'lam
(wid)