Preman Pasar Ukaz yang Jago Gulat dan Pacuan Kuda Itu Bernama Umar
Senin, 01 Juni 2020 - 05:00 WIB
Pada masa pra-Islam, Umar bin Khattab adalah anak muda yang tangguh dan temperamental. Dia amat disegani di lingkungan pasar Ukaz. Dia selalu menang dalam pertandingan gulat. Begitu juga balap kuda.
Muhammad Husain Haikal dalam “Umar bin Khattab” memaparkan beberapa tahun sebelum kerasulan Nabi , apabila sudah tiba bulan Zulhijah orang-orang Arab dari berbagai penjuru di Semenanjung itu seperti biasa, sebelum musim ziarah setiap tahun datang berbondong-bondong menuntun unta mereka untuk digelar di Pasar Ukaz.
Pada saat semacam itu pasar memang ramai oleh kedatangan berbagai macam kabilah ke tempat tersebut, di antara mereka terdapat tidak sedikit dari penduduk Makkah . Orang-orang Arab itu memasang tenda-tenda besar di tengah-tengah hamparan padang pasir yang terbentang luas tempat pasar itu diadakan, dan sebagian dijadikan tempat bursa.
Di depan tenda-tenda besar di bagian ini orang ramai menawarkan barang-barang dagangan mereka. Barang-barang buatan penduduk Hijaz sendiri tidak banyak.
Sementara penduduk Makkah sudah datang, termasuk juga orang-orang yang kebanyakan dari Yaman dan Syam dalam perjalanan musim dingin dan musim panas. Mereka yang datang menuju tempat ini terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka membeli barang-barang yang mereka sukai.
Sebagian besar perempuan itu berada di tempat pedagang pakaian, membalik-balik barang-barang itu, kemudian pilihan pun jatuh pada barang-barang buatan Yaman atau Syam kesenangan mereka.
Jika di antara mereka ada yang cantik, pemuda-pemuda pun datang ke tenda-tenda itu berpura-pura mau membeli barang. Mereka lebih ingin menikmati kecantikan perempuan-perempuan itu daripada berhubungan dengan segala macam barang untuk kemudian dibawa pulang.
Tak jauh dari pasar itu terdapat tempat-tempat hiburan yang di waktu siang hari dikunjungi pemuda-pemuda dan lebih banyak lagi di waktu malam. Perempuan-perempuan cantik itu pun tak berkeberatan berada di dekat-dekat tempat itu. Apabila malam tiba pemuda-pemuda itu pergi mencicipi minuman sampai mereka terhuyung-huyung.
Mereka memperturutkan kecenderungan hendak bersenang-senang itu dan tidak jarang kecenderungan demikian kemudian menjurus kepada pertengkaran yang mulanya tak seberapa tetapi kemudian menjadi besar, dan berakhir dengan peperangan antarkabilah yang kadang berlanjut sampai bertahun-tahun.
Suatu hari ada seorang penyair tampil di samping pasar itu membacakan puisinya, yang dibuka dengan syair cinta dan dari syair cinta pindah ke syair membanggakan diri dan kabilahnya, kemudian menantang dan mengumpat kabilah lain yang tahun lalu pernah berseteru dengan kabilahnya.
Orang banyak pun berdatangan dari pasar mengerumuni penyair yang berjaya itu, mereka memuji sajak-sajak cintanya itu. Setelah dari cinta beralih kepada kebanggaan diri banyak orang yang bertepuk tangan kegirangan, tetapi ada juga yang berteriak menyangkal dan menjelek-jelekkannya.
Ketika beralih menantang dan mengumpat suatu kabilah yang pernah bermusuhan dengan kabilahnya, teriakan-teriakan yang menyambut gembira dan yang menentang itu tiba-tiba berubah menjadi pertengkaran sengit, yang bukan tidak mungkin akan dilanjutkan dengan menghunus pedang. Sesudah sang penyair selesai membacakan syairnya, ada orang tua yang bijak dapat menengahi mereka untuk mengajak damai dan ajakannya itu pun dipatuhi.
Di antara kerumunan orang banyak itu ada seorang pemuda di bawah umur dua puluh tahun — bertubuh kekar, besar dan tingginya melebihi semua orang yang hadir, putih kemerah-merahan dan agak kecoklatan — juga ikut mendengarkan pembacaan puisi itu.
la mengikutinya dengan tekun disertai rasa kagum dan sebentar-sebentar menganggukkan kepala, menunjukkan kegembiraannya dan seleranya yang tinggi atas segala yang didengarnya itu. Tetapi dia tidak ikut berteriak, sebab kebanggaan sang penyair atas kabilahnya itu dan tantangannya kepada kabilah lain tak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Dia tidak termasuk salah satu kabilah itu. Bahkan keduanya mungkin jauh dari tempatnya. Karenanya ia tak akan dapat menikmati sajak-sajak yang telah didengarnya itu.
Jago Gulat
Selesai sang penyair membacakan sajak-sajaknya ia memasang telinga mendengarkan apa yang akan dikatakan orang bijak itu. Setelah dipastikan mereka cenderung berdamai ia mendahului teman-temannya yang lain pergi melangkah cepat-cepat. Tidak biasa ia berjalan perlahan, langkahnya yang lebar dan cepat tidak mudah dapat diikuti oleh yang lain. Teman-temannya mau mengajaknya mengobrol kalau-kalau dengan demikian ia dapat menahan cara melangkahnya yang lebar itu.
Pembicaraan yang pada mulanya tenang-tenang saja berubah menjadi perdebatan yang panas. Pemuda itu berhenti melangkah, matanya yang sudah berubah merah menandakan kemarahannya mulai menyala. Ia memilin-milin kumisnya yang sudah tumbuh lebat seraya berkata:
"Kalian mau menakut-nakuti aku dengan anak muda itu! Aku bukan anak Khattab kalau tidak mengajaknya bergulat begitu aku bertemu dial"
Ia melangkah lebih lagi cepat-cepat, sehingga teman-temannya di belakangnya agak berlari. Begitu sampai di gelanggang adu gulat yang diadakan di samping Pasar Ukaz, dilihatnya pemuda-pemuda yang tegap-tegap sudah berkerumun, menyaksikan salah seorang dari mereka sedang merundukkan badannya di dada lawannya yang sudah dibuatnya tergeletak di tanah.
Tatkala orang banyak melihat Umar bin Khattab datang menuju ke tempat mereka cepat-cepat memberi jalan.
Kedua pegulat itu bergabung dengan para penonton. Mereka yakin kedatangan Umar bukan untuk menonton tetapi datang hendak bergulat. Masih dengan sikapnya yang marah Umar memutar matanya kepada para penonton. Setelah dilihatnya pemuda yang tadi sedang berbicara dengan kawan-kawannya, dipanggilnya untuk diajak bertanding.
Pemuda itu tersenyum sambil melangkah ke tengah-tengah gelanggang, penuh percaya diri akan kekuatan dan kemampuannya. Sebelumnya ia tak pernah bertarung dengan Umar. Baru pertama kali ini ia datang ke Ukaz bersama kabilahnya. Sejak kedatangannya itu ia tak pernah dikalahkan, sehingga setiap lawan harus benar-benar memperhitungkan.
Perawakannya hampir sama dengan perawakan Umar, tinggi dan besar. Umar yang sudah siap beradu kekuatan melangkah maju. Pemuda Badui itu berusaha hendak mematahkan Umar, dan sudah memperlihatkan berbagai macam kepandaiannya dalam bertarung, sehingga jumlah penonton yang berdatangan makin banyak, suatu jumlah yang tak pernah ada sebelumnya. Gadis-gadis yang berdekatan pun berdatangan ke tempat itu setelah mendengar' kedua nama pegulat itu.
Mereka ingin menyaksikan apa yang akan terjadi. Mereka sudah tahu, seperti orang lain yang dalam tahun-tahun yang lalu juga sudah tahu, bahwa tak ada orang yang dapat mengalahkan Umar bin Khattab.
Setelah pemuda badui itu maju dan sudah bergulat dengan pegulat-pegulat lain, orang-orang di Ukaz semua mengharapkan ia akan bergulat dengan Umar. Mereka bertaruh untuk kedua pemuda itu, siapa yang akan menang. Setelah Umar menantang lawannya untuk bergulat, secepat kilat berita itu tersebar ke segenap penjuru di pasar.
Semua mereka yang tak terikat oleh pekerjaan datang ke tempat itu. Selama beberapa waktu Umar membiarkan lawannya berbicara terus dan berlagak, sedang dia sendiri dalam sikap defensif, tidak mau membuang-buang tenaga seperti pemuda badui itu.
Sesudah diperkirakan ia sudah cukup lelah diserangnya ia dengan memiting kedua bahunya lalu dibantingnya ke tanah. Lapangan itu gegap gempita, orang ramai menyambut kemampuan Umar. Mereka teringat pengalaman yang sudah lalu menyaksikan ketangkasan Umar dalam peristiwa serupa. Gadis-gadis dan perempuan pun tidak kalah dengan kaum lelaki dan pemudanya memuji pemuda Quraisy yang perkasa ini.
Tempat hiburan
Tak lama kemudian matahari pun mulai bergeser ke tempat peraduannya. Orang ramai pun sudah mulai pergi, masing-masing kembali ke tempatnya. Umar berjalan terus masuk ke dalam pasar diikuti teman-teman pengagumnya, dan dibalas Umar dengan senyum, senyum yang jarang sekali mereka lihat memalut wajah laki-laki itu. Senyum demikian tidak hanya untuk teman-temannya.
Ketika ia lalu di depan orang banyak dilihatnya mereka juga memandang bangga kepadanya; gadis-gadis pun saling berebut ingin mendapat kesempatan kalau-kalau tertangkap pandangan matanya atau akan jatuh cinta melihat paras yang elok. Hatinya merasa lega dan semua ini terpantul dalam senyumnya itu.
Begitu malam tiba diajaknya teman-temannya singgah di tempat hiburan yang terdapat di sisi pasar. Di belakang pasar itu membentang padang Sahara sejauh mata memandang. Umar mencari tempat terdekat ke Sahara. Setelah mengucapkan selamat malam kepada orang-orang yang dikenalnya saat ia lalu di depan mereka, mereka juga membalas salamnya disertai rasa kagum dan bangga.
Di tengah-tengah teman-temannya Umar paling banyak minum dibandingkan mereka. Sampai jauh malam pemuda-pemuda masih asyik minum-minum dan bergadang, hanyut mengobrol, dari soal yang bersungguh-sungguh sampai ke soal remeh, dari menunggang kuda, cerita-cerita petualangan sampai ke soal silsilah.
Pengetahuan Umar dalam soal ini memang cukup banyak, ditambah lagi dengan minuman khamar dan kemenangannya bertarung melawan pemuda pedalaman tadi lidahnya makin lancar.
Sementara mereka sedang bergadang itu tiba-tiba terdengar suara-suara lembut dari gadis-gadis yang keluar dari kemah ke padang sahara. Mereka sedang menikmati bisikan malam atau sedang mau menunaikan segala keperluannya.
Umar menahan bicaranya, seolah terpengaruh oleh suara-suara itu. Sesudah teman-temannya diam, mereka mengalihkan pandangan kepadanya. la sudah siap berdiri seraya berkata: “Aku ada keperluan; akan kutinggalkan kalian sebentar dan akan segera kembali lagi”.
Mereka tersenyum. Memang, kesenangannya mendekati perempuan, sama dengan kesenangannya meminum khamar. Umar menuju ke arah datangnya suara lembut itu. la mendengar suara biduanita berkata kepada teman-temannya: “Lihat, itu Umar sedang menuju ke tempat kita; kita berpura-pura lari karena takut dibantingnya”.
Sesudah kemudian Umar berada di dekat mereka, memang, masing-masing mereka berpura-pura lari dengan terpencar-pencar. Yang masih tinggal hanya si penyanyi; ia menjatuhkan kerudungnya dan berpura-pura sedang membetulkannya. Umar segera mengenalnya, yang beberapa hari yang lalu mereka sudah pernah berjumpa.
Selama pekan Ukaz tahun ini saat itulah yang dirasakannya paling bahagia. Teman-teman penyanyi itu sudah mengerti tipu dayanya. Mereka tertawa melengking, marah bercampur ejekan dan rasa cemburu.
Umar kembali ke tempat teman-temannya seperti dijanjikannya tadi. Tak lama di tempat itu, sesudah membayar kepada pelayan harga minuman yang mereka tenggak, ia pergi meninggalkan teman-temannya.
Baca juga: Ka'bah: Kisah Paganisme Pasca-Nabi Ismail dan Pra-Islam
Ziarah
Hari sudah hampir siang ketika Umar bertemu lagi dengan sahabat-sahabatnya itu. Mereka sedang bercerita mengenai kemahiran Umar yang diperlihatkan dalam beradu gulat kemarin. Mereka sangat mengharapkan Umar akan mau bergulat lagi dengan lawannya itu sehingga benar-benar dapat membantingnya, supaya sesudah itu pemuda pedalaman itu tidak lagi bisa berlagak di lapangan gulat. Tetapi Umar tidak sependapat dengan mereka, karena yang demikian dianggapnya tidak kesatria.
Dia yang sudah menang, apabila yang mengajak bergulat lawannya untuk membalas kekalahannya, ia tak akan mundur. Tetapi dia sendiri tak akan memulai mengajaknya bertarung dan tidak akan menantangnya.
Pekan pasar sudah hampir selesai. Sesudah tiga hari orang akan meninggalkan Ukaz dan akan pergi ke Majannah untuk bersiap-siap melakukan tawaf ke Ka'bah, dan masing-masing kabilah akan menyembelih kurban untuk berhala-berhala mereka. Kalau sudah menyembelih hewan mereka akan pergi ke Zul-Majaz untuk mendapatkan air sebelum naik ke Arafah.
Selama tiga hari sebelum di Majannah orang sudah disibukkan oleh segala persiapan untuk melakukan ziarah, bukan untuk bergulat dan bertarung.
Pacuan Kuda
Tiga hari itu sudah berlalu, pemuda desa itu pun sudah menyerah dengan apa yang sudah dialaminya, setelah dilihatnya Umar memang bukan tandingannya. Orang pun sudah berkemas hendak meninggalkan Ukaz, dan Umar yang paling pertama mengadakan persiapan demikian.
Menjelang tengah hari budaknya sudah menyiapkan kudanya. Melihat warna kuda itu yang hitam pekat, kedua telinganya yang kecil dan kepala tegak dengan kedua kakinya yang kukuh dan perutnya yang ramping, serta sikap Umar yang penuh percaya diri dan bangga akan kudanya — pemuda-pemuda yang berasal dari pelbagai kabilah terkemuka itu seolah iri hati.
Mereka mengajaknya berlomba dengan berpacu. Apabila pacuan kuda selesai dan beristirahat, mereka turun ke Majannah sesudah tidur tengah hari sebentar.
Ajakan itu disambut oleh Umar dan mereka pun sudah siap dengan kuda yang akan diperlombakan. Sekarang mereka pergi ke padang Sahara dan mencari arena tempat berpacu. Setelah siap di atas kuda masing-masing dan pemandu memberikan aba-aba, secepat itu pula Umar dan kudanya seperti sudah menyatu melesat secepat kilat, sehingga penonton sudah tak tahu lagi kuda yang dipacu itu di atas tanah atau terbang di angkasa.
Kemenangan Umar dalam pacuan kuda ini mengundang kekaguman orang di pasar seperti ketika kemenangannya dalam bergulat. Gadis-gadis pun tidak hanya sekadar kagum, mereka sudah hanyut terpengaruh begitu jauh. Penyanyi yang tahun ini memberinya kenangan begitu manis di Ukaz hanya tersenyum, senyum yang menimbulkan rasa cemburu kawan-kawannya yang lain. Mereka meliriknya dengan mata Arabnya barangkali seperti dalam sajak yang diungkapkan penyair Umar bin Abi Rabi'ah:
Karena perasaan dengki yang menyelimuti mereka
Dahulu orang memang penuh dengki.
Sekarang orang berangkat dari Ukaz ke Majannah kemudian ke Zul-Majaz. Segala upacara mereka laksanakan untuk berhala-berhala. Setelah itu setiap kabilah kembali pulang ke tempat asal mereka masing-masing di Semenanjung.
Dalam daur tahun berikutnya tiba pula pekan Ukaz. Seperti tahun lalu, peranan Umar tahun ini juga tidak berbeda, dan demikian seterusnya selama bertahun-tahun. Tetapi pernah terjadi ketika pada suatu pembukaan pasar itu Umar datang terlambat, orang sibuk mencarinya dan bertanya-tanya mengapa ia tidak datang. Lebih-lebih karena perkampungannya terletak di Safa dan bergabung dengan kabilah Banu Sahm yang berada di sebelahnya.
Nenek moyang Umar merasa dipacu oleh persaingan ini, yang kendati jumlah orangnya lebih kecil dengan kedudukan yang lemah dibandingkan dengan kabilah-kabilah besar lainnya, dalam ilmu dan kearifan mereka lebih tinggi. Ilmu dan kearifan ini menempatkan mereka lebih terkemuka dalam tugas-tugas sebagai penengah dan dalam mengambil keputusan jika timbul perselisihan.
Mereka yang menjadi juru bicara mewakili Quraisy dalam menghadapi kabilah-kabilah lain manakala timbul perbedaan pendapat, yang biasanya berakhir dengan perundingan. Kepemimpinan mereka disukai dalam menghadapi perselisihan; mereka fasih berbicara, pandai bertutur kata. Kearifan itu kemudian melahirkan orang yang bernama Zaid bin Amr, salah seorang yang menjauhi penyembahan berhala dan menolak makanan dari hasil kurban untuk berhala itu. Di samping dia, ada pula orang yang bernama Umar bin Khattab, yang merasa bangga karena ia menjadi anggota kabilah itu. (Baca Juga: Perang Khaibar (1): Upaya Menaklukkan Kaum Yahudi di Jazirah Arab )
Muhammad Husain Haikal dalam “Umar bin Khattab” memaparkan beberapa tahun sebelum kerasulan Nabi , apabila sudah tiba bulan Zulhijah orang-orang Arab dari berbagai penjuru di Semenanjung itu seperti biasa, sebelum musim ziarah setiap tahun datang berbondong-bondong menuntun unta mereka untuk digelar di Pasar Ukaz.
Pada saat semacam itu pasar memang ramai oleh kedatangan berbagai macam kabilah ke tempat tersebut, di antara mereka terdapat tidak sedikit dari penduduk Makkah . Orang-orang Arab itu memasang tenda-tenda besar di tengah-tengah hamparan padang pasir yang terbentang luas tempat pasar itu diadakan, dan sebagian dijadikan tempat bursa.
Di depan tenda-tenda besar di bagian ini orang ramai menawarkan barang-barang dagangan mereka. Barang-barang buatan penduduk Hijaz sendiri tidak banyak.
Sementara penduduk Makkah sudah datang, termasuk juga orang-orang yang kebanyakan dari Yaman dan Syam dalam perjalanan musim dingin dan musim panas. Mereka yang datang menuju tempat ini terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka membeli barang-barang yang mereka sukai.
Sebagian besar perempuan itu berada di tempat pedagang pakaian, membalik-balik barang-barang itu, kemudian pilihan pun jatuh pada barang-barang buatan Yaman atau Syam kesenangan mereka.
Jika di antara mereka ada yang cantik, pemuda-pemuda pun datang ke tenda-tenda itu berpura-pura mau membeli barang. Mereka lebih ingin menikmati kecantikan perempuan-perempuan itu daripada berhubungan dengan segala macam barang untuk kemudian dibawa pulang.
Tak jauh dari pasar itu terdapat tempat-tempat hiburan yang di waktu siang hari dikunjungi pemuda-pemuda dan lebih banyak lagi di waktu malam. Perempuan-perempuan cantik itu pun tak berkeberatan berada di dekat-dekat tempat itu. Apabila malam tiba pemuda-pemuda itu pergi mencicipi minuman sampai mereka terhuyung-huyung.
Mereka memperturutkan kecenderungan hendak bersenang-senang itu dan tidak jarang kecenderungan demikian kemudian menjurus kepada pertengkaran yang mulanya tak seberapa tetapi kemudian menjadi besar, dan berakhir dengan peperangan antarkabilah yang kadang berlanjut sampai bertahun-tahun.
Suatu hari ada seorang penyair tampil di samping pasar itu membacakan puisinya, yang dibuka dengan syair cinta dan dari syair cinta pindah ke syair membanggakan diri dan kabilahnya, kemudian menantang dan mengumpat kabilah lain yang tahun lalu pernah berseteru dengan kabilahnya.
Orang banyak pun berdatangan dari pasar mengerumuni penyair yang berjaya itu, mereka memuji sajak-sajak cintanya itu. Setelah dari cinta beralih kepada kebanggaan diri banyak orang yang bertepuk tangan kegirangan, tetapi ada juga yang berteriak menyangkal dan menjelek-jelekkannya.
Ketika beralih menantang dan mengumpat suatu kabilah yang pernah bermusuhan dengan kabilahnya, teriakan-teriakan yang menyambut gembira dan yang menentang itu tiba-tiba berubah menjadi pertengkaran sengit, yang bukan tidak mungkin akan dilanjutkan dengan menghunus pedang. Sesudah sang penyair selesai membacakan syairnya, ada orang tua yang bijak dapat menengahi mereka untuk mengajak damai dan ajakannya itu pun dipatuhi.
Di antara kerumunan orang banyak itu ada seorang pemuda di bawah umur dua puluh tahun — bertubuh kekar, besar dan tingginya melebihi semua orang yang hadir, putih kemerah-merahan dan agak kecoklatan — juga ikut mendengarkan pembacaan puisi itu.
la mengikutinya dengan tekun disertai rasa kagum dan sebentar-sebentar menganggukkan kepala, menunjukkan kegembiraannya dan seleranya yang tinggi atas segala yang didengarnya itu. Tetapi dia tidak ikut berteriak, sebab kebanggaan sang penyair atas kabilahnya itu dan tantangannya kepada kabilah lain tak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Dia tidak termasuk salah satu kabilah itu. Bahkan keduanya mungkin jauh dari tempatnya. Karenanya ia tak akan dapat menikmati sajak-sajak yang telah didengarnya itu.
Jago Gulat
Selesai sang penyair membacakan sajak-sajaknya ia memasang telinga mendengarkan apa yang akan dikatakan orang bijak itu. Setelah dipastikan mereka cenderung berdamai ia mendahului teman-temannya yang lain pergi melangkah cepat-cepat. Tidak biasa ia berjalan perlahan, langkahnya yang lebar dan cepat tidak mudah dapat diikuti oleh yang lain. Teman-temannya mau mengajaknya mengobrol kalau-kalau dengan demikian ia dapat menahan cara melangkahnya yang lebar itu.
Pembicaraan yang pada mulanya tenang-tenang saja berubah menjadi perdebatan yang panas. Pemuda itu berhenti melangkah, matanya yang sudah berubah merah menandakan kemarahannya mulai menyala. Ia memilin-milin kumisnya yang sudah tumbuh lebat seraya berkata:
"Kalian mau menakut-nakuti aku dengan anak muda itu! Aku bukan anak Khattab kalau tidak mengajaknya bergulat begitu aku bertemu dial"
Ia melangkah lebih lagi cepat-cepat, sehingga teman-temannya di belakangnya agak berlari. Begitu sampai di gelanggang adu gulat yang diadakan di samping Pasar Ukaz, dilihatnya pemuda-pemuda yang tegap-tegap sudah berkerumun, menyaksikan salah seorang dari mereka sedang merundukkan badannya di dada lawannya yang sudah dibuatnya tergeletak di tanah.
Tatkala orang banyak melihat Umar bin Khattab datang menuju ke tempat mereka cepat-cepat memberi jalan.
Kedua pegulat itu bergabung dengan para penonton. Mereka yakin kedatangan Umar bukan untuk menonton tetapi datang hendak bergulat. Masih dengan sikapnya yang marah Umar memutar matanya kepada para penonton. Setelah dilihatnya pemuda yang tadi sedang berbicara dengan kawan-kawannya, dipanggilnya untuk diajak bertanding.
Pemuda itu tersenyum sambil melangkah ke tengah-tengah gelanggang, penuh percaya diri akan kekuatan dan kemampuannya. Sebelumnya ia tak pernah bertarung dengan Umar. Baru pertama kali ini ia datang ke Ukaz bersama kabilahnya. Sejak kedatangannya itu ia tak pernah dikalahkan, sehingga setiap lawan harus benar-benar memperhitungkan.
Perawakannya hampir sama dengan perawakan Umar, tinggi dan besar. Umar yang sudah siap beradu kekuatan melangkah maju. Pemuda Badui itu berusaha hendak mematahkan Umar, dan sudah memperlihatkan berbagai macam kepandaiannya dalam bertarung, sehingga jumlah penonton yang berdatangan makin banyak, suatu jumlah yang tak pernah ada sebelumnya. Gadis-gadis yang berdekatan pun berdatangan ke tempat itu setelah mendengar' kedua nama pegulat itu.
Mereka ingin menyaksikan apa yang akan terjadi. Mereka sudah tahu, seperti orang lain yang dalam tahun-tahun yang lalu juga sudah tahu, bahwa tak ada orang yang dapat mengalahkan Umar bin Khattab.
Setelah pemuda badui itu maju dan sudah bergulat dengan pegulat-pegulat lain, orang-orang di Ukaz semua mengharapkan ia akan bergulat dengan Umar. Mereka bertaruh untuk kedua pemuda itu, siapa yang akan menang. Setelah Umar menantang lawannya untuk bergulat, secepat kilat berita itu tersebar ke segenap penjuru di pasar.
Semua mereka yang tak terikat oleh pekerjaan datang ke tempat itu. Selama beberapa waktu Umar membiarkan lawannya berbicara terus dan berlagak, sedang dia sendiri dalam sikap defensif, tidak mau membuang-buang tenaga seperti pemuda badui itu.
Sesudah diperkirakan ia sudah cukup lelah diserangnya ia dengan memiting kedua bahunya lalu dibantingnya ke tanah. Lapangan itu gegap gempita, orang ramai menyambut kemampuan Umar. Mereka teringat pengalaman yang sudah lalu menyaksikan ketangkasan Umar dalam peristiwa serupa. Gadis-gadis dan perempuan pun tidak kalah dengan kaum lelaki dan pemudanya memuji pemuda Quraisy yang perkasa ini.
Tempat hiburan
Tak lama kemudian matahari pun mulai bergeser ke tempat peraduannya. Orang ramai pun sudah mulai pergi, masing-masing kembali ke tempatnya. Umar berjalan terus masuk ke dalam pasar diikuti teman-teman pengagumnya, dan dibalas Umar dengan senyum, senyum yang jarang sekali mereka lihat memalut wajah laki-laki itu. Senyum demikian tidak hanya untuk teman-temannya.
Ketika ia lalu di depan orang banyak dilihatnya mereka juga memandang bangga kepadanya; gadis-gadis pun saling berebut ingin mendapat kesempatan kalau-kalau tertangkap pandangan matanya atau akan jatuh cinta melihat paras yang elok. Hatinya merasa lega dan semua ini terpantul dalam senyumnya itu.
Begitu malam tiba diajaknya teman-temannya singgah di tempat hiburan yang terdapat di sisi pasar. Di belakang pasar itu membentang padang Sahara sejauh mata memandang. Umar mencari tempat terdekat ke Sahara. Setelah mengucapkan selamat malam kepada orang-orang yang dikenalnya saat ia lalu di depan mereka, mereka juga membalas salamnya disertai rasa kagum dan bangga.
Di tengah-tengah teman-temannya Umar paling banyak minum dibandingkan mereka. Sampai jauh malam pemuda-pemuda masih asyik minum-minum dan bergadang, hanyut mengobrol, dari soal yang bersungguh-sungguh sampai ke soal remeh, dari menunggang kuda, cerita-cerita petualangan sampai ke soal silsilah.
Pengetahuan Umar dalam soal ini memang cukup banyak, ditambah lagi dengan minuman khamar dan kemenangannya bertarung melawan pemuda pedalaman tadi lidahnya makin lancar.
Sementara mereka sedang bergadang itu tiba-tiba terdengar suara-suara lembut dari gadis-gadis yang keluar dari kemah ke padang sahara. Mereka sedang menikmati bisikan malam atau sedang mau menunaikan segala keperluannya.
Umar menahan bicaranya, seolah terpengaruh oleh suara-suara itu. Sesudah teman-temannya diam, mereka mengalihkan pandangan kepadanya. la sudah siap berdiri seraya berkata: “Aku ada keperluan; akan kutinggalkan kalian sebentar dan akan segera kembali lagi”.
Mereka tersenyum. Memang, kesenangannya mendekati perempuan, sama dengan kesenangannya meminum khamar. Umar menuju ke arah datangnya suara lembut itu. la mendengar suara biduanita berkata kepada teman-temannya: “Lihat, itu Umar sedang menuju ke tempat kita; kita berpura-pura lari karena takut dibantingnya”.
Sesudah kemudian Umar berada di dekat mereka, memang, masing-masing mereka berpura-pura lari dengan terpencar-pencar. Yang masih tinggal hanya si penyanyi; ia menjatuhkan kerudungnya dan berpura-pura sedang membetulkannya. Umar segera mengenalnya, yang beberapa hari yang lalu mereka sudah pernah berjumpa.
Selama pekan Ukaz tahun ini saat itulah yang dirasakannya paling bahagia. Teman-teman penyanyi itu sudah mengerti tipu dayanya. Mereka tertawa melengking, marah bercampur ejekan dan rasa cemburu.
Umar kembali ke tempat teman-temannya seperti dijanjikannya tadi. Tak lama di tempat itu, sesudah membayar kepada pelayan harga minuman yang mereka tenggak, ia pergi meninggalkan teman-temannya.
Baca juga: Ka'bah: Kisah Paganisme Pasca-Nabi Ismail dan Pra-Islam
Ziarah
Hari sudah hampir siang ketika Umar bertemu lagi dengan sahabat-sahabatnya itu. Mereka sedang bercerita mengenai kemahiran Umar yang diperlihatkan dalam beradu gulat kemarin. Mereka sangat mengharapkan Umar akan mau bergulat lagi dengan lawannya itu sehingga benar-benar dapat membantingnya, supaya sesudah itu pemuda pedalaman itu tidak lagi bisa berlagak di lapangan gulat. Tetapi Umar tidak sependapat dengan mereka, karena yang demikian dianggapnya tidak kesatria.
Dia yang sudah menang, apabila yang mengajak bergulat lawannya untuk membalas kekalahannya, ia tak akan mundur. Tetapi dia sendiri tak akan memulai mengajaknya bertarung dan tidak akan menantangnya.
Pekan pasar sudah hampir selesai. Sesudah tiga hari orang akan meninggalkan Ukaz dan akan pergi ke Majannah untuk bersiap-siap melakukan tawaf ke Ka'bah, dan masing-masing kabilah akan menyembelih kurban untuk berhala-berhala mereka. Kalau sudah menyembelih hewan mereka akan pergi ke Zul-Majaz untuk mendapatkan air sebelum naik ke Arafah.
Selama tiga hari sebelum di Majannah orang sudah disibukkan oleh segala persiapan untuk melakukan ziarah, bukan untuk bergulat dan bertarung.
Pacuan Kuda
Tiga hari itu sudah berlalu, pemuda desa itu pun sudah menyerah dengan apa yang sudah dialaminya, setelah dilihatnya Umar memang bukan tandingannya. Orang pun sudah berkemas hendak meninggalkan Ukaz, dan Umar yang paling pertama mengadakan persiapan demikian.
Menjelang tengah hari budaknya sudah menyiapkan kudanya. Melihat warna kuda itu yang hitam pekat, kedua telinganya yang kecil dan kepala tegak dengan kedua kakinya yang kukuh dan perutnya yang ramping, serta sikap Umar yang penuh percaya diri dan bangga akan kudanya — pemuda-pemuda yang berasal dari pelbagai kabilah terkemuka itu seolah iri hati.
Mereka mengajaknya berlomba dengan berpacu. Apabila pacuan kuda selesai dan beristirahat, mereka turun ke Majannah sesudah tidur tengah hari sebentar.
Ajakan itu disambut oleh Umar dan mereka pun sudah siap dengan kuda yang akan diperlombakan. Sekarang mereka pergi ke padang Sahara dan mencari arena tempat berpacu. Setelah siap di atas kuda masing-masing dan pemandu memberikan aba-aba, secepat itu pula Umar dan kudanya seperti sudah menyatu melesat secepat kilat, sehingga penonton sudah tak tahu lagi kuda yang dipacu itu di atas tanah atau terbang di angkasa.
Kemenangan Umar dalam pacuan kuda ini mengundang kekaguman orang di pasar seperti ketika kemenangannya dalam bergulat. Gadis-gadis pun tidak hanya sekadar kagum, mereka sudah hanyut terpengaruh begitu jauh. Penyanyi yang tahun ini memberinya kenangan begitu manis di Ukaz hanya tersenyum, senyum yang menimbulkan rasa cemburu kawan-kawannya yang lain. Mereka meliriknya dengan mata Arabnya barangkali seperti dalam sajak yang diungkapkan penyair Umar bin Abi Rabi'ah:
Karena perasaan dengki yang menyelimuti mereka
Dahulu orang memang penuh dengki.
Sekarang orang berangkat dari Ukaz ke Majannah kemudian ke Zul-Majaz. Segala upacara mereka laksanakan untuk berhala-berhala. Setelah itu setiap kabilah kembali pulang ke tempat asal mereka masing-masing di Semenanjung.
Dalam daur tahun berikutnya tiba pula pekan Ukaz. Seperti tahun lalu, peranan Umar tahun ini juga tidak berbeda, dan demikian seterusnya selama bertahun-tahun. Tetapi pernah terjadi ketika pada suatu pembukaan pasar itu Umar datang terlambat, orang sibuk mencarinya dan bertanya-tanya mengapa ia tidak datang. Lebih-lebih karena perkampungannya terletak di Safa dan bergabung dengan kabilah Banu Sahm yang berada di sebelahnya.
Nenek moyang Umar merasa dipacu oleh persaingan ini, yang kendati jumlah orangnya lebih kecil dengan kedudukan yang lemah dibandingkan dengan kabilah-kabilah besar lainnya, dalam ilmu dan kearifan mereka lebih tinggi. Ilmu dan kearifan ini menempatkan mereka lebih terkemuka dalam tugas-tugas sebagai penengah dan dalam mengambil keputusan jika timbul perselisihan.
Mereka yang menjadi juru bicara mewakili Quraisy dalam menghadapi kabilah-kabilah lain manakala timbul perbedaan pendapat, yang biasanya berakhir dengan perundingan. Kepemimpinan mereka disukai dalam menghadapi perselisihan; mereka fasih berbicara, pandai bertutur kata. Kearifan itu kemudian melahirkan orang yang bernama Zaid bin Amr, salah seorang yang menjauhi penyembahan berhala dan menolak makanan dari hasil kurban untuk berhala itu. Di samping dia, ada pula orang yang bernama Umar bin Khattab, yang merasa bangga karena ia menjadi anggota kabilah itu. (Baca Juga: Perang Khaibar (1): Upaya Menaklukkan Kaum Yahudi di Jazirah Arab )
(mhy)