Munculnya Nabi Zarathustra, Asal usul Majusi Zoroaster di Dunia
Selasa, 21 September 2021 - 15:04 WIB
Munculnya Nabi Zarathustra (Zoroaster) adalah cikal bakal Majusi di dunia. Ibnu Katsir saat membahas surat An-Nisa ayat 150 menyebutkan satu pendapat bahwa kaum Majusi pada awalnya beriman kepada Nabi mereka yang bernama Zaradust (Zoroaster), namun mereka kemudian kafir terhadap syariat Nabi tersebut.
Zarathustra adalah Nabi bangsa Persia kuno yang hidup sekira abad ke-7 dan ke-6 SM, hampir sezaman dengan Raja Cyrus Agung (sekira 600–530 SM), raja pertama Dinasti Achaemeniyah dari Persia. Raja Cyrus sendiri merupakan penganut Tauhid.
Hal ini digambarkan saat Cyrus membebaskan bangsa Yahudi dari pengasingan di Babylon serta memerintahkan untuk membangun Beit al-Maqdis yang ke-2 setelah Beit al-Maqdis yang ke-1 dihancurkan bangsa Babylon.
“Beginilah perintah Cyrus, Raja Persia: Segala kerajaan di bumi telah dikaruniakan kepadaku oleh TUHAN, Allah semesta langit. Ia menugaskan aku untuk mendirikan rumah bagi-Nya di Yerusalem, yang terletak di Yehuda.” (Kitab Ezra 1: 2)
Agama Zoroaster memiliki beberapa kesamaan dengan agama samawi, seperti mengajarkan adanya Hari Kebangkitan (Frashokereti), Jembatan Penghakiman (Cinvatô Peretûm), Tuhan yang Esa (Ahura Mazda) yang 101 nama dan sifat-Nya dilafalkan dalam ritual peribadatan mereka.
Kelompok Penyihir
Majusi merupakan pelafalan Arab dari kata Persia kuno, Magūsh. Magūsh berarti kelompok pendeta atau penyihir. Kata Magūsh juga diserap ke dalam bahasa Inggris, melalui bahasa Yunani, menjadi Magic dan Magician.
Kata Majusi antara lain terdapat dalam Kitab Yeremia 39:3, yaitu ketika Babylon menyerang Yerusalem.
“Maka segala penghulu raja Babilpun masuklah ke dalamnya … yaitu Nergal Sarezar Rab-mag dan segala penghulu raja Babil yang lain.” (Yeremia 39:3 — Alkitab Terjemahan Lama)
Dalam Terjemahan Alkitab versi Modified Indonesian Literal Translation (MILT) — 2008, “Rab-mag” diartikan sebagai “kepala para Majus”.
Para Majusi kemudian mengubah dan menggantikan agama Zoroaster melalui beberapa tahap:
Pertama, Majusi telah ada sebagai agama tradisional orang Babylon.
Berdasarkan temuan arkeologis, catatan tertua yang menyebut kata Magūsh (Majusi) adalah prasasti Behistun yang menyebutkan bahwa di masa raja Darius I, raja keempat Dinasti Achaemeniyah, terjadi pemberontakan di Babylon dan ada Majusi di sana.
Ketika Dinasti Achaemeniyah menguasai Babylon, mereka berinteraksi dengan agama tradisional Babylon, termasuk dengan astrologi Babylon dan kepercayaan bahwa waktu adalah asal dari segala sesuatu.
Kepercayaan ini kemudian mempengaruhi sebagian penganut Zoroaster, bahwa waktu adalah keberadaan yang lebih dahulu daripada Tuhan (Ahura Mazda) dan segala sesuatu.
Eudemus of Rhodes (370–300 SM) dalam catatannya menyebutkan bahwa ada sekelompok orang Persia yang menganggap Waktu (Zruvan) sebagai asal dari Terang (Ahura Mazda) dan Gelap (Angra Mainyu).
Kedua, Majusi bercampur (sinkretisme) dengan agama Zoroaster dan menjadi aliran sesat dalam agama Zoroaster.
Sinkretisme Babylon (Majusi) tersebut dianut sebagian penganut Zoroaster sehingga menjadi satu aliran dalam agama Zoroaster. Aliran ini menjadikan api (Atar) sebagai simbol dari keberadaan Terang (Ahura Mazda).
Sebelumnya, orang Persia tidak menyembah patung dewa. Namun pengaruh kebudayaan Babilon yang gemar membuat patung membuat Artaxerxes II, raja kesepuluh Dinasti Achaemeniyah, mulai membangun patung malaikat Anāhitā di berbagai kota besar.
Artaxerxes II juga membangun kuil api untuk Anāhitā di Istakhr. Jika prasasti raja-raja sebelumnya hanya menyebut Ahura Mazdā, maka prasasti Artaxerxes II mulai menyanjung Anāhitā dan Mithra (malaikat-malaikat dalam agama Zoroaster).
Dinasti Achaemeniyah runtuh, di masa raja ketiga belas (330 SM), akibat serangan Alexander dari Macedonia, Yunani. Orang Yunani sendiri merupakan penganut politeisme (musyrikin). Serangan dan penjarahan bangsa Yunani telah memusnahkan banyak teks suci Zoroaster.
Ketiga, Majusi ditetapkan penguasa sebagai agama resmi Negara.
Pada 247 SM, Dinasti Arsacid mengakhiri pendudukan Yunani dan mendirikan Kerajaan Parthia. Raja Parthia, Vologases, di abad ke-1 M berusaha mengumpulkan teks-teks suci Zoroaster yang tersisa dari berbagai aliran agama Zoroaster, termasuk dari kalangan Majusi.
Parthia runtuh setelah salah satu gubernurnya memberontak dan mendirikan Kerajaan Sasanid pada 224 M. Di masa Sasanid, penduduk Persia sudah terdiri atas penganut politeis, penganut Majusi, dan sisa-sisa penganut agama Zoroaster. Sasanid kemudian memilih Majusi sebagai agama resmi kerajaan.
Penguasa Sasanid menjadikan kuil api sebagai tempat peribadatan utama.
Kitab Zoroaster (Avesta) yang ada saat ini, berasal dari penyusunan ulang di masa Sasanid.
Kerajaan Sasanid sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan pasukan muslim di masa Khalifah ʻUmar ibn al-Khattab.
Berbeda dengan Yahudi dan Nasrani , Majusi tidak termasuk Ahlul Kitab. Hal ini antara lain karena agama mereka sudah sangat jauh menyimpang sehingga sangat berbeda dari agama Ahlul Kitab .
Ibnu Abbas berkata,
“Sesungguhnya penduduk Persia tatkala Nabi mereka meninggal maka Iblis menjadikan Al Majusiyyah sebagai pengganti agama Nabi mereka.” (HR. Abu Daud).
Lihat Juga: Perjanjian Lama Tradisi Rakyat yang Tak Punya Sandaran, Begini Analisis Maurice Bucaille
Zarathustra adalah Nabi bangsa Persia kuno yang hidup sekira abad ke-7 dan ke-6 SM, hampir sezaman dengan Raja Cyrus Agung (sekira 600–530 SM), raja pertama Dinasti Achaemeniyah dari Persia. Raja Cyrus sendiri merupakan penganut Tauhid.
Hal ini digambarkan saat Cyrus membebaskan bangsa Yahudi dari pengasingan di Babylon serta memerintahkan untuk membangun Beit al-Maqdis yang ke-2 setelah Beit al-Maqdis yang ke-1 dihancurkan bangsa Babylon.
“Beginilah perintah Cyrus, Raja Persia: Segala kerajaan di bumi telah dikaruniakan kepadaku oleh TUHAN, Allah semesta langit. Ia menugaskan aku untuk mendirikan rumah bagi-Nya di Yerusalem, yang terletak di Yehuda.” (Kitab Ezra 1: 2)
Agama Zoroaster memiliki beberapa kesamaan dengan agama samawi, seperti mengajarkan adanya Hari Kebangkitan (Frashokereti), Jembatan Penghakiman (Cinvatô Peretûm), Tuhan yang Esa (Ahura Mazda) yang 101 nama dan sifat-Nya dilafalkan dalam ritual peribadatan mereka.
Kelompok Penyihir
Majusi merupakan pelafalan Arab dari kata Persia kuno, Magūsh. Magūsh berarti kelompok pendeta atau penyihir. Kata Magūsh juga diserap ke dalam bahasa Inggris, melalui bahasa Yunani, menjadi Magic dan Magician.
Kata Majusi antara lain terdapat dalam Kitab Yeremia 39:3, yaitu ketika Babylon menyerang Yerusalem.
“Maka segala penghulu raja Babilpun masuklah ke dalamnya … yaitu Nergal Sarezar Rab-mag dan segala penghulu raja Babil yang lain.” (Yeremia 39:3 — Alkitab Terjemahan Lama)
Dalam Terjemahan Alkitab versi Modified Indonesian Literal Translation (MILT) — 2008, “Rab-mag” diartikan sebagai “kepala para Majus”.
Para Majusi kemudian mengubah dan menggantikan agama Zoroaster melalui beberapa tahap:
Pertama, Majusi telah ada sebagai agama tradisional orang Babylon.
Berdasarkan temuan arkeologis, catatan tertua yang menyebut kata Magūsh (Majusi) adalah prasasti Behistun yang menyebutkan bahwa di masa raja Darius I, raja keempat Dinasti Achaemeniyah, terjadi pemberontakan di Babylon dan ada Majusi di sana.
Ketika Dinasti Achaemeniyah menguasai Babylon, mereka berinteraksi dengan agama tradisional Babylon, termasuk dengan astrologi Babylon dan kepercayaan bahwa waktu adalah asal dari segala sesuatu.
Kepercayaan ini kemudian mempengaruhi sebagian penganut Zoroaster, bahwa waktu adalah keberadaan yang lebih dahulu daripada Tuhan (Ahura Mazda) dan segala sesuatu.
Eudemus of Rhodes (370–300 SM) dalam catatannya menyebutkan bahwa ada sekelompok orang Persia yang menganggap Waktu (Zruvan) sebagai asal dari Terang (Ahura Mazda) dan Gelap (Angra Mainyu).
Kedua, Majusi bercampur (sinkretisme) dengan agama Zoroaster dan menjadi aliran sesat dalam agama Zoroaster.
Sinkretisme Babylon (Majusi) tersebut dianut sebagian penganut Zoroaster sehingga menjadi satu aliran dalam agama Zoroaster. Aliran ini menjadikan api (Atar) sebagai simbol dari keberadaan Terang (Ahura Mazda).
Sebelumnya, orang Persia tidak menyembah patung dewa. Namun pengaruh kebudayaan Babilon yang gemar membuat patung membuat Artaxerxes II, raja kesepuluh Dinasti Achaemeniyah, mulai membangun patung malaikat Anāhitā di berbagai kota besar.
Artaxerxes II juga membangun kuil api untuk Anāhitā di Istakhr. Jika prasasti raja-raja sebelumnya hanya menyebut Ahura Mazdā, maka prasasti Artaxerxes II mulai menyanjung Anāhitā dan Mithra (malaikat-malaikat dalam agama Zoroaster).
Dinasti Achaemeniyah runtuh, di masa raja ketiga belas (330 SM), akibat serangan Alexander dari Macedonia, Yunani. Orang Yunani sendiri merupakan penganut politeisme (musyrikin). Serangan dan penjarahan bangsa Yunani telah memusnahkan banyak teks suci Zoroaster.
Baca Juga
Ketiga, Majusi ditetapkan penguasa sebagai agama resmi Negara.
Pada 247 SM, Dinasti Arsacid mengakhiri pendudukan Yunani dan mendirikan Kerajaan Parthia. Raja Parthia, Vologases, di abad ke-1 M berusaha mengumpulkan teks-teks suci Zoroaster yang tersisa dari berbagai aliran agama Zoroaster, termasuk dari kalangan Majusi.
Parthia runtuh setelah salah satu gubernurnya memberontak dan mendirikan Kerajaan Sasanid pada 224 M. Di masa Sasanid, penduduk Persia sudah terdiri atas penganut politeis, penganut Majusi, dan sisa-sisa penganut agama Zoroaster. Sasanid kemudian memilih Majusi sebagai agama resmi kerajaan.
Penguasa Sasanid menjadikan kuil api sebagai tempat peribadatan utama.
Kitab Zoroaster (Avesta) yang ada saat ini, berasal dari penyusunan ulang di masa Sasanid.
Kerajaan Sasanid sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan pasukan muslim di masa Khalifah ʻUmar ibn al-Khattab.
Berbeda dengan Yahudi dan Nasrani , Majusi tidak termasuk Ahlul Kitab. Hal ini antara lain karena agama mereka sudah sangat jauh menyimpang sehingga sangat berbeda dari agama Ahlul Kitab .
Ibnu Abbas berkata,
إِنَّ أَهْلَ فَارِسَ لَمَّا مَاتَ نَبِيُّهُمْ كَتَبَ لَهُمْ إِبْلِيسُ الْمَجُوسِيَّةَ
“Sesungguhnya penduduk Persia tatkala Nabi mereka meninggal maka Iblis menjadikan Al Majusiyyah sebagai pengganti agama Nabi mereka.” (HR. Abu Daud).
Lihat Juga: Perjanjian Lama Tradisi Rakyat yang Tak Punya Sandaran, Begini Analisis Maurice Bucaille
(mhy)