Tawadhunya Imam Syafi'i, Orang Saleh yang Tidak Pernah Mengaku Saleh

Minggu, 10 Oktober 2021 - 23:15 WIB
Imam Syafii memberi teladan kepada kita bagaimana bersikap tawadhu meskipun memiliki kedalaman ilmu. Foto ilustrasi/Ist
Imam Asy-Syafi'i (150-204 Hijriyah) bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i. Beliau seorang mufti besar Islam yang juga pendiri Mazhab Syafi'i. Salah satu keutamaan Beliau digelari "Nashir As-Sunnah" (pembela Sunnah Nabi).

Imam Syafi'i usia 7 tahun sudah hafal Qur'an. Beliau mendalami Bahasa Arab sejak umur 9 atau 10 tahun. Beliau mempelajari ilmu Fiqih kepada banyak ulama di zamannya. Kemudian belajar kepada Imam Malik bin Anas, lalu belajar kepada murid Imam Abu Hanifah, dan sempat belajar di Yaman.

Kurang apalagi Imam Syafi'i. Sufi iya, ilmu fiqih dan Ushul Fiqih dikuasainya. Hafizh Qur'an lagi. Bahkan di bidang ilmu Hadis beliau dijuluki sebagai "Nashirus Sunnah" (pembela sunnah). Kitab-kitab beliau enak dibaca dan jelas. Mulai dari Arrisalah, Al-Umm. Semua definisi sangat jelas termasuk kumpulan syairnya yang indah. Beliau dikenal sebagai sosok ulama yang tawadhu.

Bukti Ketawadhuan Beliau

Dalam satu bait syairnya yang terkenal: "Uhibbu As-Sholihiina wa Lastu Minhum, La'alli an anaala bihim syafa'ah, wa akrahu man tijaratuhu al maashii, wa lau kunnaa sawa’an fil bidha'ah".

Artinya:

Aku mencintai orang shaleh walaupun aku bukan seperti mereka. Tapi aku benci orang-orang ahli maksiat meskipun sesungguhnya aku pun sama kelakuannya.

Jika dilihat sepintas syair empat baris, terjemahan empat baris. Syair seperti ini atau perkataan-perkataan yang mengandung hikmah tidak dapat dimaknai secara lahiriah, tekstual, harfiah atau tersurat. Umumnya mengandung kata kiasan (Balaghoh) yang mempunyai makna yang dalam, tersirat atau hikmah.

Begitu juga Al-Qur’an dan Hadits banyak yg dimaknai dengan pemahaman mendalam (ilmu hikmah) atau secara tersirat. "Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah" (QS Yaasiin [36]: 2)

Syair yang diuraikan itu menunjukkan sikap tawadhu' dari Imam As-Syafi’i. Mereka mengartikan: "Uhibbu as Shalihiina = Aku mencintai orang shalih. Walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka.La’ali an anaala bihim syafa'ah = Beliau berharap semoga memperoleh syafa’at/pertolongan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (untuk menjadi orang saleh)

Inilah teladan yang disampaikan Imam Syafi'i bahwa kita tidak boleh mengatakan/mengakui sebagai saya serupa dan bagian dari orang sholeh, atau seorang sholeh atau seorang sufi atau saya seorang muhsin. Sebab, orang sholeh, orang sufi, orang muhsin adalah dinisbatkan kepada perbuatan atau hasil penilaian Allah kepada manusia.

Doa Agar Dimasukkan ke dalam Golongan Orang Saleh

رَبِّ هَبْ لِى حُكْمًا وَأَلْحِقْنِى بِٱلصَّٰلِحِينَ


Robbi hablii hukmanw wa alhiqnii bish shaalihiin.

Artinya:

"(Ibrahim berdoa): 'Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh." (QS Asy-Syuara: Ayat 83)



Wallahu A'lam
(rhs)
Lihat Juga :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:  Itu adalah shalatnya orang-orang munafik, itu adalah shalatnya orang-orang munafik, itu adalah shalatnya orang-orang munafik.  Salah seorang dari mereka duduk hingga sinar matahari telah menguning, tatkala itu ia sedang berada di antara dua tanduk setan atau pada dua tanduk setan.  Maka dia bengkit untuk shalat, dia shalat empat rakaat dengan sangat cepat (seperti burung mematuk makanan),  dia tidak mengingat Allah padanya kecuali sangat sedikit.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 350)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More