Surat Yasin: Para Rasul dan Penyeru yang Tak Disebut Namanya (2-Habis)
Rabu, 13 Oktober 2021 - 16:16 WIB
Ibnu Ishaq telah mengatakan dari seorang lelaki yang senama dengannya, dari Al-Hakam, dari Miqsam atau dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin adalah Habib, dia menderita penyakit lepra yang cukup parah.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim Al-Ahwal,dari Abu Mujlaz, bahwa nama lelaki itu adalah Habib ibnu Murri. Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin adalah Habibun Najjar, lalu lelaki itu dibunuh oleh kaumnya.” Demikian menurut Ibn Katsir.
Tapi terlepas dari identitas dan latar belakang lelaki tersebut, hal yang lebih patut disimak adalah argumentasi yang dipaparkannya kepada kaum yang ingkar tersebut. Bila kita perhatikan, kedatangan laki-laki ini sebagai upaya terakhir untuk menunjukkan bukti sosiologis kepada masyarakat kala itu.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah mengatakan, bahwa ucapan lelaki yang bergegas datang itu, mendahulukan kalimat “Siapa yang tidak meminta dari kamu imbalan” atas penegasannya bahwa “Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Agaknya ini sejalan dengan pandangan penduduk ketika itu. Mereka mengukur semua orang sama dengan diri mereka sendiri.
Penduduk yang bejat itu, selalu menduga adanya keuntungan material di balik aktivitas setiap orang, karena demikian itulah selalu sikap mereka. Mereka hampir tidak mengenal adanya ketulusan dalam satu aktivitas mereka, dan karena itu pula mereka tidak percaya kalau para rasul itu tulus dan tidak mengharap imbalan atas tuntunan mereka.
Nah, karena ini adalah sesuatu yang demikian mendarah daging dalam jiwa penduduk itu, maka itulah yang wajar ditampik terlebih dahulu, dan karena itu lelaki yang bergegas itu mendahulukannya.
Terkait hal ini, M. Quraish Shihab mengutip argumentasi Allamah Thabathaba’I, yang ketika menafsirkan ayat 21 di atas mengatakan: “Sebagai penjelasan mengapa para rasul itu harus diikuti dan tidak wajar untuk diabaikan. Mereka seakan-akan berkata: Seseorang tidak wajar diikuti disebabkan oleh salah satu dari dua sebab.
Pertama, karena ucapan dan tindakannya merupakan kesesatan, dan tentu saja mengikuti kesesatan atau orang sesat tidak dapat dibenarkan. Sebab kedua yang menjadikan seseorang tidak wajar diikuti adalah bila dia mempunyai maksud-maksud buruk, misalnya ingin memperkaya diri, atau mencari popularitas.
Dalam hal ini, walau ajarannya benar, yang bersangkutan sebaiknya dihindari, karena ia dapat mengalihkan ajaran itu untuk tujuan yang buruk* Adapun para rasul itu, maka kedua sebab penghalang di atas tidak menyentuh mereka. Buktinya mereka tidak memiliki maksud buruk, mereka tidak meminta upah atau imbalan duniawi dan yang kedua mereka bukan orang sesat, tetapi muhtadin yakni orang-orang yang sangat mantap dalam perolehan hidayat.”
As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim Al-Ahwal,dari Abu Mujlaz, bahwa nama lelaki itu adalah Habib ibnu Murri. Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin adalah Habibun Najjar, lalu lelaki itu dibunuh oleh kaumnya.” Demikian menurut Ibn Katsir.
Tapi terlepas dari identitas dan latar belakang lelaki tersebut, hal yang lebih patut disimak adalah argumentasi yang dipaparkannya kepada kaum yang ingkar tersebut. Bila kita perhatikan, kedatangan laki-laki ini sebagai upaya terakhir untuk menunjukkan bukti sosiologis kepada masyarakat kala itu.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah mengatakan, bahwa ucapan lelaki yang bergegas datang itu, mendahulukan kalimat “Siapa yang tidak meminta dari kamu imbalan” atas penegasannya bahwa “Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Agaknya ini sejalan dengan pandangan penduduk ketika itu. Mereka mengukur semua orang sama dengan diri mereka sendiri.
Penduduk yang bejat itu, selalu menduga adanya keuntungan material di balik aktivitas setiap orang, karena demikian itulah selalu sikap mereka. Mereka hampir tidak mengenal adanya ketulusan dalam satu aktivitas mereka, dan karena itu pula mereka tidak percaya kalau para rasul itu tulus dan tidak mengharap imbalan atas tuntunan mereka.
Nah, karena ini adalah sesuatu yang demikian mendarah daging dalam jiwa penduduk itu, maka itulah yang wajar ditampik terlebih dahulu, dan karena itu lelaki yang bergegas itu mendahulukannya.
Terkait hal ini, M. Quraish Shihab mengutip argumentasi Allamah Thabathaba’I, yang ketika menafsirkan ayat 21 di atas mengatakan: “Sebagai penjelasan mengapa para rasul itu harus diikuti dan tidak wajar untuk diabaikan. Mereka seakan-akan berkata: Seseorang tidak wajar diikuti disebabkan oleh salah satu dari dua sebab.
Pertama, karena ucapan dan tindakannya merupakan kesesatan, dan tentu saja mengikuti kesesatan atau orang sesat tidak dapat dibenarkan. Sebab kedua yang menjadikan seseorang tidak wajar diikuti adalah bila dia mempunyai maksud-maksud buruk, misalnya ingin memperkaya diri, atau mencari popularitas.
Dalam hal ini, walau ajarannya benar, yang bersangkutan sebaiknya dihindari, karena ia dapat mengalihkan ajaran itu untuk tujuan yang buruk* Adapun para rasul itu, maka kedua sebab penghalang di atas tidak menyentuh mereka. Buktinya mereka tidak memiliki maksud buruk, mereka tidak meminta upah atau imbalan duniawi dan yang kedua mereka bukan orang sesat, tetapi muhtadin yakni orang-orang yang sangat mantap dalam perolehan hidayat.”
(mhy)