Murtad Dihukum Mati? Buya Yahya: Rendah Dunia, Rendah Akhirat

Minggu, 24 Oktober 2021 - 17:28 WIB
Golongan ketiga, ikhtilaf (perbedaan) di kalangan sahabat juga berpendapat sama saja orang yang dilahirkan dalam keadaan fitrah dan orang yang tidak dilahirkan Muslim jika mereka masuk Islam lalu murtad, maka orang itu harus bertobat. Apabila dia bertobat, maka itu harus diterima darinya. Tetapi jika dia menolak bertobat, dia harus dihukum mati.

Sementara itu, dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan, "Orang yang telah menegaskan dirinya keluar dari Islam, dan dia telah mengumumkan dirinya murtad maka dia menjadi anggota tubuh yang rusak, yang harus disingkirkan dari tubuh masyarakat muslim. Sehingga sakitnya tidak menyebar ke seluruh tubuh.

Di samping itu, orang yang murtad, berarti telah melakukan pelanggaran terhadap dharuriyat khams (5 prinsip yang dijaga dalam Islam) yang paling penting (yaitu agama), di mana semua agama samawi sepakat untuk menjaga dan melindunginya, prinsip itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya as-Sharim al-Maslul mengutip keterangan at-Thahawi menyebutkan dari para ulama Hanafi: “Orang yang murtad tidak boleh dibunuh, hingga dia diminta bertobat.” (as-Sharim al-Maslul, hlm. 328).

Sedangkan dalam Mukhtashar Kholil – ulama Malikiyah – dinyatakan, orang yang murtad diminta bertobat selama 3 hari, tanpa dikondisikan lapar, haus, dan tanpa hukuman. Jika dia mau bertobat (kembali masuk Islam), dia dilepaskan, jika tidak maka dibunuh. (Mukhtashar Kholil, hlm. 251).



Pembacaan Kontekstualis

Buku Freedom of Religion, Apostasy and Islam (2004) karya Abdullah Saeed dan Hassan Saeed mengingatkan Al-Quran pada dasarnya tidak menyatakan hukuman bagi orang yang keluar dari Islam. Tidak ada ayat yang memerintahkan hukuman mati untuk orang yang murtad.

Aturan tentang hukuman mati bagi murtad ada di rujukan di level lebih bawah, yakni hadis, yang kemudian menjadi dasar pandangan mayoritas fuqaha klasik. Dua perkeculian dari fuqaha klasik layak dicatat: Ibrahim an-Nakha’i (w. 713) dan Sufyan at-Tsauri (w. 777), yang hidup di zaman ketika mazhab-mazhab besar belum “terkanonisasi”, menyatakan tidak ada hukuman mati bagi orang murtad.

Di kalangan fuqaha yang menyatakan hukuman mati bagi murtad pun terjadi perbedaan mengenai apakah hukuman mati itu merupakan hukuman hadd (fixed punishment) atau ta’zir (discretionary punishment).

Mazhab Syafi’i berpandangan pada yang pertama, sementara mazhab Hanbali pada yang kedua. Konsekuensi dari status hukuman jenis ta’zir ialah, tidak seperti hadd, ia bisa berubah tergantung pada kebijakan penguasa.

Sebagai catatan: Ada tiga jenis hukuman pidana dalam fikih Islam, yakni hadd, ta’zir, dan qisas/retaliation. Contoh hukuman hadd yang disebut eksplisit dalam al-Quran adalah hukuman untuk pencurian, zina, dan tuduhan zina [qadzaf].

Dalam memahami hadits hukuman mati untuk murtad itu, duo Saeed menawarkan pembacaan kontekstualis: ia harus diletakkan dalam situasi ketika umat Islam perdana sedang berjuang mempertahankan hidup (survival) dalam sistem sosial yang masih didominasi hukum tribal (yang termanifestasikan misalnya dalam hukum “vendetta”) dan identitas seseorang ditentukan oleh suku, bukan oleh kewarganegaraan (citizenship) dalam kerangka negara-bangsa seperti saat ini.

Dalam situasi yang demikian, umat Islam perdana, yang menawarkan satu sistem tata sosial yang baru dan melampaui ikatan kesukuan, mendapat ancaman dari berbagai arah.

Pada saat itu, terdapat orang-orang yang masuk Islam dengan motif spionase atau menggali informasi tentang umat Islam lalu keluar dari Islam dan balik ke komunitas/suku asalnya untuk memerangi umat Islam. Orang-orang ini disebut murtad.

Dalam terang pembacaan kontekstualis ini, kemurtadan yang diperangi tidaklah semata-mata tindakan keluar dari Islam (riddah), tetapi kemurtadan yang disertai upaya memerangi umat Islam (hirabah).

Dua hal ini (riddah dan hirabah) bertaut erat sehingga dalam Sahih Muslim, misalnya, hadits-hadits mengenai dua kasus itu dimasukkan dalam satu bab yang sama (“Bab Hukm al-Muharibin wal-Murtaddin”). Karena alasan ini pula, menurut duo Saeed, dalam mazhab Hanafi seorang wanita murtad tak dihukum mati dengan asumsi (mazhinnah) bahwa kecil kemungkinannya ia terlibat dalam perang.

Bahkan ketika riddah dan hirabah terjadi sekaligus dalam kasus seseorang, Nabi Muhammad masih melakukan diskresi. Ini terjadi dalam kasus terkenal Abdullah ibn Sa’id ibn Abi Sharh, yang pernah dipercaya sebagai salah satu penulis wahyu, namun kemudian kembali ke kepercayaan pagannya, alias menjadi murtad, dan bergabung dengan pasukan Quraisy Makkah yang menjadi musuh umat Islam saat itu.

Ketika Makkah berhasil direbut umat Islam, Nabi memerintahkan penindakan terhadap orang-orang yang pernah berbuat kriminal terhadap umat Islam. Ibn Abi Sharh masuk dalam daftar orang-orang ini. Namun Utsman bin Affan, saudara sepersusuan ibn Abi Sharh, memohon agar Nabi mengampuninya.

Meski dengan berat hati, Nabi akhirnya mengabulkan permohonan Utsman bin Affan itu. Kasus ibn Abi Sharh ini memperkuat pandangan bahwa hukuman untuk murtad bersifat ta’zir/discretionary, bukan hadd.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Umar bin Al Khaththab, Nabi shallallahu 'alaihi wa salam bersabda:  Maukah kalian aku beritahu pemimpin kalian yang terbaik dan pemimpin kalian yang terburuk?  Pemimpin yang terbaik adalah mereka yang kalian cintai, dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan kebaikan kepada mereka, dan mereka pun mendoakan kebaikan kepada kalian,  Sedangkan pemimpin kalian yang terburuk adalah mereka yang kalian benci, dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian.

(HR. Tirmidzi No. 2190)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More