Ketika Allah Menegur Nabi Musa karena Membunuh Juru Masak Firaun
Kamis, 28 Oktober 2021 - 19:02 WIB
“Ketika penduduk lemah, karena saat itu para penduduk tidak mengawasi keberadaan Nabi Musa, ada yang mengatakan itu di waktu-waktu Qailulah (tidur siang), ada pula yang berpendapat pada waktu isya”
Tragedi pembunuhan
Pada saat kunjungannya itu, Nabi Musa menyaksikan perkelahian antara 2 orang, yang satu dari Bani Israel, sedangkan yang satunya bangsa Qibty (Mesir).
Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Madid disebutkan bahwa dari pihak Bani Israel bernama Samiry, sedangkan dari Qibty adalah juru masak istana.
As-Syaukani dalam Fathul Qadir menafsirkan bahwa penyebab perkelahian tersebut adalah karena orang Qibty yang ternyata adalah juru masak istana tersebut memaksa orang Bani Israil tadi untuk mengangkut kayu bakar ke dapur kerajaan.
Melihat hal itu, nabi Musa tentu tak tinggal diam. Beliau membela dan menolong orang Bani Israil. Bukan karena ia masih sedarah, namun karena Bani Israil ini terdzalimi.
Nabi Musa berniat melindungi orang Bani Israil ini, dengan cara memukul si koki Qibty tersebut.
Menurut As-Syaukani, pukulan yang disebut “al-wakz” ini adalah pukulan yang dilakukan dengan keseluruhan telapak tangan, entah itu yang bagian luar maupun yang dalam. Kementerian Agama dalam Tafsir-nya menerjemahkannya dengan “meninju”.
Entah seberapa kuat pukulan Nabi Musa, Si Qibty mati seketika. Tapi kematian si Qibty ini di luar dugaan Nabi Musa, karena beliau hanya berniat melindungi si Bani Israil.
Nabi Musa tak bermaksud membunuh juru masak itu. Ia berniat menahannya, tapi ajal datang padanya.
Ayat ini dilanjutkan dengan peringatan Allah terhadap Nabi Musa akan perbuatannya yang dinilai seperti perbuatan setan.
Nabi Musa memohon ampun, kemudian melarikan diri ke arah Madyan. Sejak saat itu Nabi Musa secara resmi dijadikan buronan oleh Raja Firaun.
Mulailah takdir membawa Nabi Musa pada perselisihan sengit dengan ayah angkatnya itu, antara tauhid dan kesyirikan.
Tragedi pembunuhan
Pada saat kunjungannya itu, Nabi Musa menyaksikan perkelahian antara 2 orang, yang satu dari Bani Israel, sedangkan yang satunya bangsa Qibty (Mesir).
Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Madid disebutkan bahwa dari pihak Bani Israel bernama Samiry, sedangkan dari Qibty adalah juru masak istana.
As-Syaukani dalam Fathul Qadir menafsirkan bahwa penyebab perkelahian tersebut adalah karena orang Qibty yang ternyata adalah juru masak istana tersebut memaksa orang Bani Israil tadi untuk mengangkut kayu bakar ke dapur kerajaan.
Melihat hal itu, nabi Musa tentu tak tinggal diam. Beliau membela dan menolong orang Bani Israil. Bukan karena ia masih sedarah, namun karena Bani Israil ini terdzalimi.
Nabi Musa berniat melindungi orang Bani Israil ini, dengan cara memukul si koki Qibty tersebut.
Menurut As-Syaukani, pukulan yang disebut “al-wakz” ini adalah pukulan yang dilakukan dengan keseluruhan telapak tangan, entah itu yang bagian luar maupun yang dalam. Kementerian Agama dalam Tafsir-nya menerjemahkannya dengan “meninju”.
Entah seberapa kuat pukulan Nabi Musa, Si Qibty mati seketika. Tapi kematian si Qibty ini di luar dugaan Nabi Musa, karena beliau hanya berniat melindungi si Bani Israil.
Nabi Musa tak bermaksud membunuh juru masak itu. Ia berniat menahannya, tapi ajal datang padanya.
Ayat ini dilanjutkan dengan peringatan Allah terhadap Nabi Musa akan perbuatannya yang dinilai seperti perbuatan setan.
Nabi Musa memohon ampun, kemudian melarikan diri ke arah Madyan. Sejak saat itu Nabi Musa secara resmi dijadikan buronan oleh Raja Firaun.
Mulailah takdir membawa Nabi Musa pada perselisihan sengit dengan ayah angkatnya itu, antara tauhid dan kesyirikan.
(mhy)