Ketika Allah Menegur Nabi Musa karena Membunuh Juru Masak Firaun
Kamis, 28 Oktober 2021 - 19:02 WIB
Tragedi pembunuhan juru masak Raja Firaun oleh Nabi Musa diabadikan dalam Al-Quran Surat al-Qasas ayat 14 sampai 15. Allah SWT mengingatkan Nabi Musa as bahwa tindakannya tersebut sebagai kelakuan setan.
Di sisi lain, Nabi Musa tidak bermaksud membunuh. Nabi Musa juga berdalih yang kuat untuk dianggap tidak bersalah. Lagi pula, yang dibunuh adalah seorang kafir, yang melakukan perbuatan dzalim pada seorang Muslim.
Peristiwa pembunuhan tukang masak Firaun oleh Nabi Musa ini bisa dianggap sebagai cikal bakal tanda-tanda kehancuran Raja Firaun. Allah SWT berfirman:
Artinya : “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan.
Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun).
Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.
Musa berkata: “Ini adalah perbuatan setan sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya.” ( QS Al-Qasas ayat 14-15 )
Peristiwa yang ada pada Surah Al-Qasas ayat 14-15 tersebut adalah titik tolak kecurigaan Raja Firaun dan bala tentaranya terhadap Musa yang telah ada sejak sebelumnya.
Musa semakin yakin bahwa Firaun ada di pihak yang salah, Risalah Allah yang berupa hikmah dan ilmu menuntun Nabi Musa pada kebenaran tauhid yang sesungguhnya.
Dua Pencapaian Fisik
Peristiwa tersebut terjadi saat Nabi Musa telah sampai pada 2 pencapaian fisik yang disebutkan melalui kata “Balagha Asyuddah” (diterjemahkan dengan “cukup umur”) dan “Istawa” (diterjemahkan dengan “sempurna akal”).
Laman Al-Qur'an menyebutkan konsep cukup umur sendiri banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan mufassir.
Menurut Az-Zamhasyari dalam al-Kasysyaf, usia Nabi Musa saat itu adalah 40 tahun, usia yang sangat matang untuk bersiap menerima wahyu.
Sedangkan Al-‘Iz bin Abdussalam dalam Tafsir-nya, mengemukakan konsep Istawa dengan beberapa alternatif karakteristik seperti stabilnya kekuatan, tumbuh jenggot, maupun berakhirnya masa remaja.
Dengan gambaran fisik yang cukup realistis tadi, Nabi Musa sedang memasuki kota Memphis, sebuah kota yang berjarak sekitar 2 farsakh atau sekitar 11 kilometer dari kediaman Nabi Musa.
An-Nakhjuni dalam tafsirnya memperkirakan bahwa kedatangan Nabi Musa di kota tersebut adalah ketika waktu-waktu tidur siang atau malam hari.
“Ketika penduduk lemah, karena saat itu para penduduk tidak mengawasi keberadaan Nabi Musa, ada yang mengatakan itu di waktu-waktu Qailulah (tidur siang), ada pula yang berpendapat pada waktu isya”
Tragedi pembunuhan
Pada saat kunjungannya itu, Nabi Musa menyaksikan perkelahian antara 2 orang, yang satu dari Bani Israel, sedangkan yang satunya bangsa Qibty (Mesir).
Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Madid disebutkan bahwa dari pihak Bani Israel bernama Samiry, sedangkan dari Qibty adalah juru masak istana.
As-Syaukani dalam Fathul Qadir menafsirkan bahwa penyebab perkelahian tersebut adalah karena orang Qibty yang ternyata adalah juru masak istana tersebut memaksa orang Bani Israil tadi untuk mengangkut kayu bakar ke dapur kerajaan.
Melihat hal itu, nabi Musa tentu tak tinggal diam. Beliau membela dan menolong orang Bani Israil. Bukan karena ia masih sedarah, namun karena Bani Israil ini terdzalimi.
Nabi Musa berniat melindungi orang Bani Israil ini, dengan cara memukul si koki Qibty tersebut.
Menurut As-Syaukani, pukulan yang disebut “al-wakz” ini adalah pukulan yang dilakukan dengan keseluruhan telapak tangan, entah itu yang bagian luar maupun yang dalam. Kementerian Agama dalam Tafsir-nya menerjemahkannya dengan “meninju”.
Entah seberapa kuat pukulan Nabi Musa, Si Qibty mati seketika. Tapi kematian si Qibty ini di luar dugaan Nabi Musa, karena beliau hanya berniat melindungi si Bani Israil.
Nabi Musa tak bermaksud membunuh juru masak itu. Ia berniat menahannya, tapi ajal datang padanya.
Ayat ini dilanjutkan dengan peringatan Allah terhadap Nabi Musa akan perbuatannya yang dinilai seperti perbuatan setan.
Nabi Musa memohon ampun, kemudian melarikan diri ke arah Madyan. Sejak saat itu Nabi Musa secara resmi dijadikan buronan oleh Raja Firaun.
Mulailah takdir membawa Nabi Musa pada perselisihan sengit dengan ayah angkatnya itu, antara tauhid dan kesyirikan.
Di sisi lain, Nabi Musa tidak bermaksud membunuh. Nabi Musa juga berdalih yang kuat untuk dianggap tidak bersalah. Lagi pula, yang dibunuh adalah seorang kafir, yang melakukan perbuatan dzalim pada seorang Muslim.
Peristiwa pembunuhan tukang masak Firaun oleh Nabi Musa ini bisa dianggap sebagai cikal bakal tanda-tanda kehancuran Raja Firaun. Allah SWT berfirman:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (14) وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ (15)
Artinya : “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan.
Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun).
Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.
Musa berkata: “Ini adalah perbuatan setan sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya.” ( QS Al-Qasas ayat 14-15 )
Peristiwa yang ada pada Surah Al-Qasas ayat 14-15 tersebut adalah titik tolak kecurigaan Raja Firaun dan bala tentaranya terhadap Musa yang telah ada sejak sebelumnya.
Musa semakin yakin bahwa Firaun ada di pihak yang salah, Risalah Allah yang berupa hikmah dan ilmu menuntun Nabi Musa pada kebenaran tauhid yang sesungguhnya.
Dua Pencapaian Fisik
Peristiwa tersebut terjadi saat Nabi Musa telah sampai pada 2 pencapaian fisik yang disebutkan melalui kata “Balagha Asyuddah” (diterjemahkan dengan “cukup umur”) dan “Istawa” (diterjemahkan dengan “sempurna akal”).
Laman Al-Qur'an menyebutkan konsep cukup umur sendiri banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan mufassir.
Menurut Az-Zamhasyari dalam al-Kasysyaf, usia Nabi Musa saat itu adalah 40 tahun, usia yang sangat matang untuk bersiap menerima wahyu.
Sedangkan Al-‘Iz bin Abdussalam dalam Tafsir-nya, mengemukakan konsep Istawa dengan beberapa alternatif karakteristik seperti stabilnya kekuatan, tumbuh jenggot, maupun berakhirnya masa remaja.
Dengan gambaran fisik yang cukup realistis tadi, Nabi Musa sedang memasuki kota Memphis, sebuah kota yang berjarak sekitar 2 farsakh atau sekitar 11 kilometer dari kediaman Nabi Musa.
An-Nakhjuni dalam tafsirnya memperkirakan bahwa kedatangan Nabi Musa di kota tersebut adalah ketika waktu-waktu tidur siang atau malam hari.
“Ketika penduduk lemah, karena saat itu para penduduk tidak mengawasi keberadaan Nabi Musa, ada yang mengatakan itu di waktu-waktu Qailulah (tidur siang), ada pula yang berpendapat pada waktu isya”
Tragedi pembunuhan
Pada saat kunjungannya itu, Nabi Musa menyaksikan perkelahian antara 2 orang, yang satu dari Bani Israel, sedangkan yang satunya bangsa Qibty (Mesir).
Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Madid disebutkan bahwa dari pihak Bani Israel bernama Samiry, sedangkan dari Qibty adalah juru masak istana.
As-Syaukani dalam Fathul Qadir menafsirkan bahwa penyebab perkelahian tersebut adalah karena orang Qibty yang ternyata adalah juru masak istana tersebut memaksa orang Bani Israil tadi untuk mengangkut kayu bakar ke dapur kerajaan.
Melihat hal itu, nabi Musa tentu tak tinggal diam. Beliau membela dan menolong orang Bani Israil. Bukan karena ia masih sedarah, namun karena Bani Israil ini terdzalimi.
Nabi Musa berniat melindungi orang Bani Israil ini, dengan cara memukul si koki Qibty tersebut.
Menurut As-Syaukani, pukulan yang disebut “al-wakz” ini adalah pukulan yang dilakukan dengan keseluruhan telapak tangan, entah itu yang bagian luar maupun yang dalam. Kementerian Agama dalam Tafsir-nya menerjemahkannya dengan “meninju”.
Entah seberapa kuat pukulan Nabi Musa, Si Qibty mati seketika. Tapi kematian si Qibty ini di luar dugaan Nabi Musa, karena beliau hanya berniat melindungi si Bani Israil.
Nabi Musa tak bermaksud membunuh juru masak itu. Ia berniat menahannya, tapi ajal datang padanya.
Ayat ini dilanjutkan dengan peringatan Allah terhadap Nabi Musa akan perbuatannya yang dinilai seperti perbuatan setan.
Nabi Musa memohon ampun, kemudian melarikan diri ke arah Madyan. Sejak saat itu Nabi Musa secara resmi dijadikan buronan oleh Raja Firaun.
Mulailah takdir membawa Nabi Musa pada perselisihan sengit dengan ayah angkatnya itu, antara tauhid dan kesyirikan.
(mhy)