As-Samhah (1): Jangan Keliru Memahami Makna Toleransi
Selasa, 02 November 2021 - 14:53 WIB
Kedua, sedemikian tegasnya Al-Qur'an dalam hal akidah dan penyembahan sehingga diulang-ulang dalam bentuk/tatanan kalimat yang berbeda. "Laa a’budi maa ta’buduun" menjadi "wa laa antum ‘aabiduuna maa a’budu". Lalu diulang lagi "wa laa ana aabidun maa abadtum". Dan akhirnya diulang bentuk kedua tadi sebagai penegasan dan peringatan.
Ketiga, walau sedemikian tegasnya akidah dan konsep ubudiyah dalam Islam, namun pada saat yang sama mengakui eksistensi agama. Bahkan lebih dari itu memberikan ruang yang sama dalam keyakinan dan peribadatan. Kalimat "Wa laa antum 'aabiduuna" itu sebuah ekspresi tegas tentang kebebasan beribadah dalam Islam. Sementara "lakum diinukum" itu sebuah Konsep tegas dalam kebebasan memilih agama (religious freedom).
Dengan demikain dapat disimpulkan bahwa toleransi itu adalah menerima eksistensi agama-agama lain, bahkan memberikan ruang yang sama dengan ruang yang kita inginkan untuk kita sendiri. Tapi toleransi tidak akan pernah dipahami sebagai pembenaran (membenarkan) agama lain dan penyamaan (menyamakan) semua agama.
Pada tataran ini saja sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa Islam itu adalah agama toleran. Agama yang diyakini sebagai kebenaran bagi pemeluknya. Tapi pada saat yang saya menerima eksistensi agama-agama lain, bahkan memberikan ruang (kebebasan) kepada pemeluk agama lain untuk eksis dan melaksanakan agamanya.
Sayang seperti yang sering saya sampaikan bahwa kita sedang hidup dalam dunia ketidakjujuran. Manipulasi persepsi dan imej khususnya oleh mereka yang menguasai media menjadikan agama Islam nampak berwajah buruk dalam konsep toleransi.
Persepsi yang terbangun adalah bahwa Islam itu agama intoleran. Agama kekerasan dan pemaksaan. Agama yang menakutkan dan antitesis dari kebebasan dan HAM. Mungkin peristiwa terbaru yang kemudian dibangun sebagai wajah Islam adalah ketika terjadi kekisruhan di Kabul di saat Afghanistan terjatuh ke tangan Taliban.
Maka benar seperti yang juga sering saya sampaikan bahwa peperangan terdahsyat saat ini bukan peperangan nuklir atau senjata kimia lagi. Tapi peperangan imej dan persepsi di antara manusia. Dan siapa yang memenangkan peperangan itu mereka akan memenangkan dunia.
Dalam beberapa tulisan mendatang ini akan saya tuliskan beberap argumentasi, baik berdasarkan dasar-dasar keagamaan (Al-Qur'an dan Hadits) maupun fakta sejarah betapa Islam dan Umat Islam itu toleran.
Sayang, ketidakjujuran dunia dan media khususnya menjadikan banyak manusia yang termakan misinformasi tentang toleransi Islam. Tapi yang lebih aneh adalah ketika ada di antara Umat ini sendiri yang seolah meyakini dan menuduh agama dan Umat ini tidak toleran. Wal-'iyadzu billah!
(Bersambung)!
Manhattan City, 1 November 2021
Ketiga, walau sedemikian tegasnya akidah dan konsep ubudiyah dalam Islam, namun pada saat yang sama mengakui eksistensi agama. Bahkan lebih dari itu memberikan ruang yang sama dalam keyakinan dan peribadatan. Kalimat "Wa laa antum 'aabiduuna" itu sebuah ekspresi tegas tentang kebebasan beribadah dalam Islam. Sementara "lakum diinukum" itu sebuah Konsep tegas dalam kebebasan memilih agama (religious freedom).
Dengan demikain dapat disimpulkan bahwa toleransi itu adalah menerima eksistensi agama-agama lain, bahkan memberikan ruang yang sama dengan ruang yang kita inginkan untuk kita sendiri. Tapi toleransi tidak akan pernah dipahami sebagai pembenaran (membenarkan) agama lain dan penyamaan (menyamakan) semua agama.
Pada tataran ini saja sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa Islam itu adalah agama toleran. Agama yang diyakini sebagai kebenaran bagi pemeluknya. Tapi pada saat yang saya menerima eksistensi agama-agama lain, bahkan memberikan ruang (kebebasan) kepada pemeluk agama lain untuk eksis dan melaksanakan agamanya.
Sayang seperti yang sering saya sampaikan bahwa kita sedang hidup dalam dunia ketidakjujuran. Manipulasi persepsi dan imej khususnya oleh mereka yang menguasai media menjadikan agama Islam nampak berwajah buruk dalam konsep toleransi.
Persepsi yang terbangun adalah bahwa Islam itu agama intoleran. Agama kekerasan dan pemaksaan. Agama yang menakutkan dan antitesis dari kebebasan dan HAM. Mungkin peristiwa terbaru yang kemudian dibangun sebagai wajah Islam adalah ketika terjadi kekisruhan di Kabul di saat Afghanistan terjatuh ke tangan Taliban.
Maka benar seperti yang juga sering saya sampaikan bahwa peperangan terdahsyat saat ini bukan peperangan nuklir atau senjata kimia lagi. Tapi peperangan imej dan persepsi di antara manusia. Dan siapa yang memenangkan peperangan itu mereka akan memenangkan dunia.
Dalam beberapa tulisan mendatang ini akan saya tuliskan beberap argumentasi, baik berdasarkan dasar-dasar keagamaan (Al-Qur'an dan Hadits) maupun fakta sejarah betapa Islam dan Umat Islam itu toleran.
Sayang, ketidakjujuran dunia dan media khususnya menjadikan banyak manusia yang termakan misinformasi tentang toleransi Islam. Tapi yang lebih aneh adalah ketika ada di antara Umat ini sendiri yang seolah meyakini dan menuduh agama dan Umat ini tidak toleran. Wal-'iyadzu billah!
(Bersambung)!
Manhattan City, 1 November 2021
(rhs)