Berikut ini Kunci Sikap Toleransi Menurut Gus Baha
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha mengatakan kunci sikap toleransi adalah memiliki referensi keilmuan yang cukup.
Hal ini disampaikannya Gus Baha saat mengisi kegiatan Halal bi Halal KJRI Frankfurt yang digelar secara virtual dan diikuti oleh seluruh organisasi masyarakat Islam di wilayah kerjanya termasuk Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Ahad (6/6/2021).
"Pikiran saya sederhana, ilmu itu melahirkan sikap. Jika punya referensi yang cukup tentang toleransi maka kita hidup di mana saja maka akan tetap toleransi," ucap Gus Baha seperti dikutip laman resmi Nahdlatul Ulama.
Dalam acara yang mengusung tema Memahami Halal bi Halal dalam meningkatkan persatuan Internasional dan antar umat beragama tersebut, Gus Baha menyampaikan, memiliki sifat toleransi membuat seseorang bisa hidup di lintas negara, agama dan komunitas.
Dengan begitu, kata Gus Baha, seorang muslim tidak boleh memerangi umat beragama lain karena konteksnya tidak dalam suasana perang. Adapun pihak yang boleh diperangi yaitu mereka yang memerangi kita, seperti yang terjadi pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda di Indonesia.
"Sehingga damai dan perang ada konteks rasionalitasnya. Ayatnya jelas, seorang yang kita benci, bisa saja suatu saat nanti ditakdirkan Allah menjadi seseorang yang kita dicintai," tambah Gus Baha sambil mengutip Surat Al-Mumtahanah ayat 7.
Gus Baha menambahkan, referensi keilmuan tentang toleransi cukup banyak dalam Islam. Seperti kisah seorang Yahudi yang meminta tolong ke Siti Aisyah, setelah ditolong lalu ia mendoakan agar Aisyah selamat dari siksa kubur.
"Jadi kalau beda agama, jika sesuatu yang benar maka dibenarkan. Kaidah dalam interaksi beda agama, jangan bilang iya semua, jangan bilang tidak semua, tapi sesuai referensi (ajaran nabi)," tegas Kiai Muda asal Rembang ini.
Kisah lain, sambung Gus Baha, ada sosok Abdullah bin Umar yang sedang memasak daging kambing, lalu disampaikan ke pembantunya agar daging tersebut dibagikan ke tetangga yang beragama Yahudi.
Gus Baha melanjutkan, pembantu ini kemudian menanyakan alasan Ibnu Umar memberi daging kepada tetangga Yahudi, menurut Ibnu Umar sikap ini adalah ajaran Rasulullah yang selalu memuliakan para tetangga. Kisah ini diabadikan dalam kitab Ihya 'Ulumuddin juz 2 halaman 287.
Hal yang hampir sama juga terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim As. Suatu hari Nabi Ibrahim kedatangan tamu beragama Majusi, namun Nabi Ibrahim tidak mau memberi makan kepada orang yang tidak beragama Islam. Orang Majusi yang berusia 50 tahun ini langsung pergi.
Tak lama kemudian, Nabi Ibrahim mendapat teguran dari Allah SWT dan berfirman Saya kasih makan dia 50 tahun saja tidak mensyaratkan apapun, kamu sehari saja sudah minta syarat. Setelah ditegur, Nabi Ibrahim langsung mengejar Majusi dan memberinya makan.
"Cerita-cerita ini yang bisa menolong siapa pun dalam komunitas internasional, agar punya referensi untuk bersikap," tandas Gus Baha.
Hal ini disampaikannya Gus Baha saat mengisi kegiatan Halal bi Halal KJRI Frankfurt yang digelar secara virtual dan diikuti oleh seluruh organisasi masyarakat Islam di wilayah kerjanya termasuk Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Ahad (6/6/2021).
"Pikiran saya sederhana, ilmu itu melahirkan sikap. Jika punya referensi yang cukup tentang toleransi maka kita hidup di mana saja maka akan tetap toleransi," ucap Gus Baha seperti dikutip laman resmi Nahdlatul Ulama.
Dalam acara yang mengusung tema Memahami Halal bi Halal dalam meningkatkan persatuan Internasional dan antar umat beragama tersebut, Gus Baha menyampaikan, memiliki sifat toleransi membuat seseorang bisa hidup di lintas negara, agama dan komunitas.
Dengan begitu, kata Gus Baha, seorang muslim tidak boleh memerangi umat beragama lain karena konteksnya tidak dalam suasana perang. Adapun pihak yang boleh diperangi yaitu mereka yang memerangi kita, seperti yang terjadi pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda di Indonesia.
"Sehingga damai dan perang ada konteks rasionalitasnya. Ayatnya jelas, seorang yang kita benci, bisa saja suatu saat nanti ditakdirkan Allah menjadi seseorang yang kita dicintai," tambah Gus Baha sambil mengutip Surat Al-Mumtahanah ayat 7.
Gus Baha menambahkan, referensi keilmuan tentang toleransi cukup banyak dalam Islam. Seperti kisah seorang Yahudi yang meminta tolong ke Siti Aisyah, setelah ditolong lalu ia mendoakan agar Aisyah selamat dari siksa kubur.
"Jadi kalau beda agama, jika sesuatu yang benar maka dibenarkan. Kaidah dalam interaksi beda agama, jangan bilang iya semua, jangan bilang tidak semua, tapi sesuai referensi (ajaran nabi)," tegas Kiai Muda asal Rembang ini.
Kisah lain, sambung Gus Baha, ada sosok Abdullah bin Umar yang sedang memasak daging kambing, lalu disampaikan ke pembantunya agar daging tersebut dibagikan ke tetangga yang beragama Yahudi.
Gus Baha melanjutkan, pembantu ini kemudian menanyakan alasan Ibnu Umar memberi daging kepada tetangga Yahudi, menurut Ibnu Umar sikap ini adalah ajaran Rasulullah yang selalu memuliakan para tetangga. Kisah ini diabadikan dalam kitab Ihya 'Ulumuddin juz 2 halaman 287.
Hal yang hampir sama juga terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim As. Suatu hari Nabi Ibrahim kedatangan tamu beragama Majusi, namun Nabi Ibrahim tidak mau memberi makan kepada orang yang tidak beragama Islam. Orang Majusi yang berusia 50 tahun ini langsung pergi.
Tak lama kemudian, Nabi Ibrahim mendapat teguran dari Allah SWT dan berfirman Saya kasih makan dia 50 tahun saja tidak mensyaratkan apapun, kamu sehari saja sudah minta syarat. Setelah ditegur, Nabi Ibrahim langsung mengejar Majusi dan memberinya makan.
"Cerita-cerita ini yang bisa menolong siapa pun dalam komunitas internasional, agar punya referensi untuk bersikap," tandas Gus Baha.
(mhy)