Gus Baha Jelaskan Hukum Utang di Bank, Haram Atau Halal?
Selasa, 02 November 2021 - 22:45 WIB
Persoalan utang di bank adalah salah satu masalah klasik di zaman sekarang. Ulama ahli Al-Qur'an Gus Baha (KH Ahmad Bahauddin) menjelaskan hukum utang di bank yang banyak terjadi di Indonesia.
Dalam suatu pengajian bersama para santri, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA Kragan Rembang itu menerangkannya dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti.Berikut penjelasan Gus Baha dilansir dari portal Islam iqra.id:
"Dari dulu Muktamar NU dan Muhammadiyah, hukumnya bank bagaimana? Mesti qaul (pendapat) ada 3 saja. Pertama, tegas haram, kedua awur-awuran (mengawur) halal, dan ketiga menjaga hati-hati (syubhat). Orang Indonesia itu halal, haram, syubhat.
Dari Muktamar NU tahun 1926 sampai sekarang 2010, tetapi barokahnya dibahas (didiskusikan dalam bahtsul masail) malah menjadi intelek. Karena kiyai-kiyai yang lugu-lugu itu bertanya, "Pasnya (hukum) bank itu bagaimana toh?" Kemudian ada pakar bank menerangkan.
"Jadi beda ya dengan bank dulu?" (kata kiayi-kiyai lugu).
Tapi lumayan jadi paham. Misalnya begini, saya berkali-kali saya ikut. Dulu itu kenapa riba begitu dihujat? Karena berkaitan dengan orang miskin berutang kepada orang kaya agar bisa makan.
Misalnya, saya utang Anda Rp100 ribu untuk makan. Janjinya minggu depan bayar, ternyata belum bisa bayar ditambah bunga Rp120 ribu sampai Rp140 ribu.
Intinya, riba begitu dihujat oleh Allah. Wong mengutangi orang miskin kok berharap bunga itu kan pemerasan. Orang miskin kok diperas.
Oleh bank, hal itu dibalik. Orang miskin malah tidak bisa utang bank. Syarat utamanya menggunakan jaminan. Jadinya yang pada ngutang adalah orang kaya.
Kemudian Mbah kiyai-kiyai dijelaskan, "Jadi, bank ini uang negara, Mbah. Jumlahnya miliaran, triliyunan. Jadi yang bisa utang di Bank itu orang-orang kaya, terutama orang Cina yang kaya itu.
"Lah apabila jenengan haramkan menggunakan bunga, berarti bayar utangnya apa adanya. Negara tidak untung."
"Lah kalau begitu beda..."(kata mbah kiyai). Hahaha…
Karena dia (kiyai) eman, ada orang Cina enak-enakan bisa utang kok tidak bayar bank. Jadi, jika anda terlalu mengharamkan bunga bank, itu menguntungkan Cina. Karena tukang utang bank tidak diwajibkan bayar bunga.
Dia jadi mikir, "Hukum kok menguntungkan Cina ya!" "Berarti beda ya, Gus?" "Beda, Mbah..!" Hehehe
Toh, akhirnya tidak putus (hukum), tapi minimal ada proses intelektual, ada proses transfer informasi, ada proses pendidikan. Sesuatu yang didiskusikan itu tradisinya Al-Qur'an dan Hadits.
Sekarang masalah riba itu diperdebatkan, karena ada nilai instrinsik, nilai normal yang rusak. Misalnya begini saat saya diskusi fikih, "Mbah, kalau riba haram total dengan makna bunga ya repot. Masalahnya ada nilai bunga yang setara dengan nilai murni."
Misalnya begini, tahun 1970 Anda punya utang Rp1.000 rupiah, tahun 2006 dibayar Rp1000 ya bagaikan langit dan bumi.
Tahun 1970 orang bisa mengutangi Rp1000 itu menjual ayam jago. Sekarang Rp1.000 saja tidak dapat makanannya ayam jago.
Saya mendapati tahun 1984, keluarga saya haji dengan menjual 6-10 sapi. Padahal haji biayanya 6 juta. Sekarang haji Rp30 juta hanya butuh menjual 3-4 sapi.
Artinya apa? Nilai uang itu tidak terkendali. Makanya kata orang desa-desa itu, "Gus haji sekarang lebih murah daripada dulu."
Dalam suatu pengajian bersama para santri, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA Kragan Rembang itu menerangkannya dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti.Berikut penjelasan Gus Baha dilansir dari portal Islam iqra.id:
"Dari dulu Muktamar NU dan Muhammadiyah, hukumnya bank bagaimana? Mesti qaul (pendapat) ada 3 saja. Pertama, tegas haram, kedua awur-awuran (mengawur) halal, dan ketiga menjaga hati-hati (syubhat). Orang Indonesia itu halal, haram, syubhat.
Dari Muktamar NU tahun 1926 sampai sekarang 2010, tetapi barokahnya dibahas (didiskusikan dalam bahtsul masail) malah menjadi intelek. Karena kiyai-kiyai yang lugu-lugu itu bertanya, "Pasnya (hukum) bank itu bagaimana toh?" Kemudian ada pakar bank menerangkan.
"Jadi beda ya dengan bank dulu?" (kata kiayi-kiyai lugu).
Tapi lumayan jadi paham. Misalnya begini, saya berkali-kali saya ikut. Dulu itu kenapa riba begitu dihujat? Karena berkaitan dengan orang miskin berutang kepada orang kaya agar bisa makan.
Misalnya, saya utang Anda Rp100 ribu untuk makan. Janjinya minggu depan bayar, ternyata belum bisa bayar ditambah bunga Rp120 ribu sampai Rp140 ribu.
Intinya, riba begitu dihujat oleh Allah. Wong mengutangi orang miskin kok berharap bunga itu kan pemerasan. Orang miskin kok diperas.
Oleh bank, hal itu dibalik. Orang miskin malah tidak bisa utang bank. Syarat utamanya menggunakan jaminan. Jadinya yang pada ngutang adalah orang kaya.
Kemudian Mbah kiyai-kiyai dijelaskan, "Jadi, bank ini uang negara, Mbah. Jumlahnya miliaran, triliyunan. Jadi yang bisa utang di Bank itu orang-orang kaya, terutama orang Cina yang kaya itu.
"Lah apabila jenengan haramkan menggunakan bunga, berarti bayar utangnya apa adanya. Negara tidak untung."
"Lah kalau begitu beda..."(kata mbah kiyai). Hahaha…
Karena dia (kiyai) eman, ada orang Cina enak-enakan bisa utang kok tidak bayar bank. Jadi, jika anda terlalu mengharamkan bunga bank, itu menguntungkan Cina. Karena tukang utang bank tidak diwajibkan bayar bunga.
Dia jadi mikir, "Hukum kok menguntungkan Cina ya!" "Berarti beda ya, Gus?" "Beda, Mbah..!" Hehehe
Toh, akhirnya tidak putus (hukum), tapi minimal ada proses intelektual, ada proses transfer informasi, ada proses pendidikan. Sesuatu yang didiskusikan itu tradisinya Al-Qur'an dan Hadits.
Sekarang masalah riba itu diperdebatkan, karena ada nilai instrinsik, nilai normal yang rusak. Misalnya begini saat saya diskusi fikih, "Mbah, kalau riba haram total dengan makna bunga ya repot. Masalahnya ada nilai bunga yang setara dengan nilai murni."
Misalnya begini, tahun 1970 Anda punya utang Rp1.000 rupiah, tahun 2006 dibayar Rp1000 ya bagaikan langit dan bumi.
Tahun 1970 orang bisa mengutangi Rp1000 itu menjual ayam jago. Sekarang Rp1.000 saja tidak dapat makanannya ayam jago.
Saya mendapati tahun 1984, keluarga saya haji dengan menjual 6-10 sapi. Padahal haji biayanya 6 juta. Sekarang haji Rp30 juta hanya butuh menjual 3-4 sapi.
Artinya apa? Nilai uang itu tidak terkendali. Makanya kata orang desa-desa itu, "Gus haji sekarang lebih murah daripada dulu."