Kisah Sufi Tapabrata Malik Dinar dan Utusan Sang Guru Tersembunyi
Jum'at, 12 November 2021 - 10:08 WIB
"Semut dan batu bukan urusan kita, saudaraku," kata Dinar, "Sebab tujuan perjalanan ini adalah mencari Sang Guru."
"Kalau itu pikirmu, saudaraku, " kata darwis itu, "tetapi ada dikatakan bahwa segala hal sebenarnya saling terkait, dan soal semut ini mungkin saja ada kaitan tertentu dengan kita."
Namun, Dinar tak mengindahkan perkataan Sang Darwis , dan mereka pun kembali meneruskan perjalanan.
Mereka berdua mengaso ketiba malam turun, dan Dinar menyadari bahwa ia telah kehilangan pisaunya. "Pasti terjatuh waktu di bukit semut tadi," katanya. Paginya merekapun kembali ke bukit itu.
Setibanya di sana, mereka tak tetap menemukan pisau milik Dinar itu. Sebaiknya, kedua pengembara itu menyaksikan sekelompok orang yang sedang berkubang dalam lumpur, dan sebelahnya terdapat tumpukan koin emas.
"Ini," kata salah seorang menjelaskan, "adalah harta terpendam yang baru saja kami gali. Kami sedang berjalan-jalan ketika seorang darwis tua yang lemah berkata kepada kami, 'Galilah tempat ini, dan akan kalian saksikan bahwa apa yang bagi sebagian orang dianggap batu, sesungguhnya emas bagi orang yang lain.'"
Dinar pun mengutuki nasibnya, "O, Darwis, kalau saja tadi malam kita berhenti," katanya, "tentu kita sekarang sudah kaya raya." Kelompok lain itu berkata, "Sobat, sepertinya kami mengenali Darwis temanmu itu; ia mirip dengan Darwis yang kami lihat semalam."
"Rupa semua Darwis memang tampaknya sama," kata Fatih. Dan mereka pun berpisah jalan.
Dinar dan Fatih pun melanjutkan perjalanan, dan beberapa hari kemudian sampailah mereka di tepi sungai yang indah. Sang Darwis singgah dan sementara mereka menunggu perahu penyeberangan, ada seekor ikan muncul ke permukaan air beberapa kali sambil menggerak-gerakkan mulutnya.
"Ikan itu," kata Sang Darwis, "menyampaikan pesan kepada kita. Katanya, 'Saya tak sengaja menelan sebuah batu. Tangkap dan berilah saya makan tumbuhan tertentu supaya batu itu keluar, dan saya bisa lega kembali. Pengembara, kasihanilah saya!'"
Pada saat itu, perahu-sampan muncul, dan Dinar, yang tak sabar ingin meneruskan perjalanan, mendesak Sang Darwis segera naik perahu. Tukang sampan itu sangat senang menerima ongkos berupa uang tembaga yang diberikan Dinar.
Malam itu, Fatih dan Dinar tidur lelap di seberang tepi sungai tadi, dekat situ terdapat pula kedai teh bagi para pengembara yang dibangun oleh seorang yang berbudi baik.
Pagi harinya, ketika mereka sedang minum teh, tukang sampan itu muncul. "Tadi malam adalah malam paling untung," katanya; kedua musafir itu telah membawa berkah baginya. Diciuminya tangan Darwis agung itu, meminta berkah. "Kau pantas mendapatkannya, anakku," kata Fatih.
Tukang perahu itu kini kaya dan berikut ini kisahnya bagaimana hal itu bisa terjadi. Ketika ia sedang dalam perjalanan pulang pada waktu biasanya, ia melihat ada dua orang di seberang sungai; lalu diputuskannya untuk mengangkut mereka, meskipun keduanya tampak miskin, sebab ia mengamalkan 'barakah', berkah karena menolong pengembara.
Setelah mengantarkan mereka, ia meminggirkan perahunya. Saat itulah disaksikannya seekor ikan, yang melentingkan badannya ke tepi sungai. Ikan itu kelihatannya berusaha menelan sepotong tanaman.
Nelayan itu pun menyuapkan tumbuhan itu ke mulut ikan tersebut. Tiba-tiba, ikan itu memuntahkan sebiji batu dan melompat kembali ke sungai. Batu itu ternyata sebongkah intan murni berukuran besar yang nilainya tak terhitung dan sangat cemerlang.
"Jahanam kau!" teriak Dinar murka kepada Darwis Fatih. "Kau tahu sebelumnya dengan indra batinmu, tentang tiga harta terpendam itu, namun kau tak mengatakannya padaku. Itukah kawan sejati? Memang, nasibku sering jelek; tetapi tanpa kau aku tak perlu tahu tentang kemungkinan terdapat harta terpendam di pepohonan, di bukit-bukit-semut, dan di dalam ikan tentang segalanya!"
Segera setelah berkata begitu, Dinar pun merasa seakan-akan ada angin dahsyat menyapu seluruh kedalaman jiwanya. Dan kemudian, tahulah ia bahwa kebaikan sepenuhnya dari perkataannya tadi adalah kebenaran itu.
"Kalau itu pikirmu, saudaraku, " kata darwis itu, "tetapi ada dikatakan bahwa segala hal sebenarnya saling terkait, dan soal semut ini mungkin saja ada kaitan tertentu dengan kita."
Namun, Dinar tak mengindahkan perkataan Sang Darwis , dan mereka pun kembali meneruskan perjalanan.
Mereka berdua mengaso ketiba malam turun, dan Dinar menyadari bahwa ia telah kehilangan pisaunya. "Pasti terjatuh waktu di bukit semut tadi," katanya. Paginya merekapun kembali ke bukit itu.
Setibanya di sana, mereka tak tetap menemukan pisau milik Dinar itu. Sebaiknya, kedua pengembara itu menyaksikan sekelompok orang yang sedang berkubang dalam lumpur, dan sebelahnya terdapat tumpukan koin emas.
"Ini," kata salah seorang menjelaskan, "adalah harta terpendam yang baru saja kami gali. Kami sedang berjalan-jalan ketika seorang darwis tua yang lemah berkata kepada kami, 'Galilah tempat ini, dan akan kalian saksikan bahwa apa yang bagi sebagian orang dianggap batu, sesungguhnya emas bagi orang yang lain.'"
Dinar pun mengutuki nasibnya, "O, Darwis, kalau saja tadi malam kita berhenti," katanya, "tentu kita sekarang sudah kaya raya." Kelompok lain itu berkata, "Sobat, sepertinya kami mengenali Darwis temanmu itu; ia mirip dengan Darwis yang kami lihat semalam."
"Rupa semua Darwis memang tampaknya sama," kata Fatih. Dan mereka pun berpisah jalan.
Dinar dan Fatih pun melanjutkan perjalanan, dan beberapa hari kemudian sampailah mereka di tepi sungai yang indah. Sang Darwis singgah dan sementara mereka menunggu perahu penyeberangan, ada seekor ikan muncul ke permukaan air beberapa kali sambil menggerak-gerakkan mulutnya.
"Ikan itu," kata Sang Darwis, "menyampaikan pesan kepada kita. Katanya, 'Saya tak sengaja menelan sebuah batu. Tangkap dan berilah saya makan tumbuhan tertentu supaya batu itu keluar, dan saya bisa lega kembali. Pengembara, kasihanilah saya!'"
Pada saat itu, perahu-sampan muncul, dan Dinar, yang tak sabar ingin meneruskan perjalanan, mendesak Sang Darwis segera naik perahu. Tukang sampan itu sangat senang menerima ongkos berupa uang tembaga yang diberikan Dinar.
Malam itu, Fatih dan Dinar tidur lelap di seberang tepi sungai tadi, dekat situ terdapat pula kedai teh bagi para pengembara yang dibangun oleh seorang yang berbudi baik.
Pagi harinya, ketika mereka sedang minum teh, tukang sampan itu muncul. "Tadi malam adalah malam paling untung," katanya; kedua musafir itu telah membawa berkah baginya. Diciuminya tangan Darwis agung itu, meminta berkah. "Kau pantas mendapatkannya, anakku," kata Fatih.
Tukang perahu itu kini kaya dan berikut ini kisahnya bagaimana hal itu bisa terjadi. Ketika ia sedang dalam perjalanan pulang pada waktu biasanya, ia melihat ada dua orang di seberang sungai; lalu diputuskannya untuk mengangkut mereka, meskipun keduanya tampak miskin, sebab ia mengamalkan 'barakah', berkah karena menolong pengembara.
Setelah mengantarkan mereka, ia meminggirkan perahunya. Saat itulah disaksikannya seekor ikan, yang melentingkan badannya ke tepi sungai. Ikan itu kelihatannya berusaha menelan sepotong tanaman.
Nelayan itu pun menyuapkan tumbuhan itu ke mulut ikan tersebut. Tiba-tiba, ikan itu memuntahkan sebiji batu dan melompat kembali ke sungai. Batu itu ternyata sebongkah intan murni berukuran besar yang nilainya tak terhitung dan sangat cemerlang.
"Jahanam kau!" teriak Dinar murka kepada Darwis Fatih. "Kau tahu sebelumnya dengan indra batinmu, tentang tiga harta terpendam itu, namun kau tak mengatakannya padaku. Itukah kawan sejati? Memang, nasibku sering jelek; tetapi tanpa kau aku tak perlu tahu tentang kemungkinan terdapat harta terpendam di pepohonan, di bukit-bukit-semut, dan di dalam ikan tentang segalanya!"
Segera setelah berkata begitu, Dinar pun merasa seakan-akan ada angin dahsyat menyapu seluruh kedalaman jiwanya. Dan kemudian, tahulah ia bahwa kebaikan sepenuhnya dari perkataannya tadi adalah kebenaran itu.