Kisah Sufi Tapabrata Malik Dinar dan Utusan Sang Guru Tersembunyi
Jum'at, 12 November 2021 - 10:08 WIB
Idries Shah dalam bukunya berjudul Tales of The Dervishes memaparkan kisah Tapabrata Malik Dinar. Malik Dinar adalah salah seorang guru klasik zaman awal.
Alkisah, setelah bertahun-tahun lamanya menekuni persoalan-persoalan filsafat, Malik Dinar merasa bahwa sudah tiba waktunya untuk mengadakan perjalanan mencari pengetahuan. "Saya akan pergi", batinnya, "Menemui sang Guru Tersembunyi, yang konon juga berada dalam kesejatian diriku."
Ia pun meninggalkan rumahnya dan hanya membawa bekal beberapa buah kurma. Tak lama kemudian, ia melihat seorang darwis berjalan kelelahan di jalan yang berdebu. Didekatinya darwis itu, tetapi tidak disapanya.
Akhirnya darwis itu pun berkata, "Kau ini siapa dan hendak ke mana?"
"Nama saya Dinar, saya dalam perjalanan mencari sang Guru Tersembunyi."
"Aku Malik Al-Fatih, kau akan kutemani," kata Sang Darwis.
"Apa saudara bisa bantu saya menemukan Sang Guru?" tanya Dinar.
"Apa aku bisa membantumu, apa kau bisa membantuku?" balas Fatih, dengan cara bicara kaum darwis yang sering kali menjengkelkan orang biasa.
Katanya lagi, "Sang Guru Tersembunyi, demikianlah dikatakan, berada di dalam diri manusia. Bagaimana orang bisa menemukannya, tergantung kepada seberapa mampu ia memanfaatkan pengalamannya. Hal ini sebagian hanya bisa dicapai bersama seorang kawan."
Sekarang mereka sampai di dekat sebuah pohon, yang berdesir dan bergoyang seperti akan roboh. Darwis itu berhenti. "Pohon ini mengatakan sesuatu," katanya sesaat kemudian: 'Ada sesuatu yang menyakitiku; singgahlah dan tolong singkirkan penyebab rasa sakitku itu agar aku bisa segar kembali.'"
"Saya harus buru-buru," jawab Dinar. "Bagaimana bisa ada pohon berbicara?" Keduanya pun kembali meneruskan perjalanan.
Setelah sekian lama, darwis itu pun berkata, "Ketika kita tadi di bawah pohon itu, aku mencium bau madu. Mungkinkah bau itu berasal dari sarang lebah liar di dalam rongga pohon itu?"
"Kalau benar begitu," kata Dinar, "kita mesti segera kembali ke sana; madunya bisa kita ambil untuk dimakan dan dijual."
"Terserah kau sajalah," kata darwis itu.
Akan tetapi, ketika mereka sampai di situ, mereka menyaksikan beberapa pengembara yang lain sedang mengumpulkan banyak sekali madu. "Sungguh beruntung kita!" kata orang-orang itu. "Madu ini cukup bagi orang sekota. Sekarang, kita para musafir miskin bisa menjadi pedagang; dan masa depan kita tentunya cerah."
Dinar dan Fatih pun meninggalkan tempat itu.
Sekarang mencapai sebuah bukit yang dari arah lerengnya terdengar suara dengungan. Sang Darwis pun menempelkan telinganya di tanah. Kemudian, katanya, "Di bawah sana ada jutaan semut, mereka sedang membangun sebuah koloni. Dengung itu adalah permintaan tolong.
Dalam bahasa semut artinya kira-kira: 'Tolonglah kami, tolonglah kami. Kami sedang mengeruk, tetapi kini pekerjaan kami terhambat oleh bebatuan aneh. Tolonglah kami mengangkatnya.' Maukah kau agar kita turun dan menolong koloni semut itu; atau sebaiknya kita bercepat-cepat saja melanjutkan perjalanan?"
Alkisah, setelah bertahun-tahun lamanya menekuni persoalan-persoalan filsafat, Malik Dinar merasa bahwa sudah tiba waktunya untuk mengadakan perjalanan mencari pengetahuan. "Saya akan pergi", batinnya, "Menemui sang Guru Tersembunyi, yang konon juga berada dalam kesejatian diriku."
Ia pun meninggalkan rumahnya dan hanya membawa bekal beberapa buah kurma. Tak lama kemudian, ia melihat seorang darwis berjalan kelelahan di jalan yang berdebu. Didekatinya darwis itu, tetapi tidak disapanya.
Akhirnya darwis itu pun berkata, "Kau ini siapa dan hendak ke mana?"
"Nama saya Dinar, saya dalam perjalanan mencari sang Guru Tersembunyi."
"Aku Malik Al-Fatih, kau akan kutemani," kata Sang Darwis.
"Apa saudara bisa bantu saya menemukan Sang Guru?" tanya Dinar.
"Apa aku bisa membantumu, apa kau bisa membantuku?" balas Fatih, dengan cara bicara kaum darwis yang sering kali menjengkelkan orang biasa.
Katanya lagi, "Sang Guru Tersembunyi, demikianlah dikatakan, berada di dalam diri manusia. Bagaimana orang bisa menemukannya, tergantung kepada seberapa mampu ia memanfaatkan pengalamannya. Hal ini sebagian hanya bisa dicapai bersama seorang kawan."
Sekarang mereka sampai di dekat sebuah pohon, yang berdesir dan bergoyang seperti akan roboh. Darwis itu berhenti. "Pohon ini mengatakan sesuatu," katanya sesaat kemudian: 'Ada sesuatu yang menyakitiku; singgahlah dan tolong singkirkan penyebab rasa sakitku itu agar aku bisa segar kembali.'"
"Saya harus buru-buru," jawab Dinar. "Bagaimana bisa ada pohon berbicara?" Keduanya pun kembali meneruskan perjalanan.
Setelah sekian lama, darwis itu pun berkata, "Ketika kita tadi di bawah pohon itu, aku mencium bau madu. Mungkinkah bau itu berasal dari sarang lebah liar di dalam rongga pohon itu?"
"Kalau benar begitu," kata Dinar, "kita mesti segera kembali ke sana; madunya bisa kita ambil untuk dimakan dan dijual."
"Terserah kau sajalah," kata darwis itu.
Akan tetapi, ketika mereka sampai di situ, mereka menyaksikan beberapa pengembara yang lain sedang mengumpulkan banyak sekali madu. "Sungguh beruntung kita!" kata orang-orang itu. "Madu ini cukup bagi orang sekota. Sekarang, kita para musafir miskin bisa menjadi pedagang; dan masa depan kita tentunya cerah."
Dinar dan Fatih pun meninggalkan tempat itu.
Sekarang mencapai sebuah bukit yang dari arah lerengnya terdengar suara dengungan. Sang Darwis pun menempelkan telinganya di tanah. Kemudian, katanya, "Di bawah sana ada jutaan semut, mereka sedang membangun sebuah koloni. Dengung itu adalah permintaan tolong.
Dalam bahasa semut artinya kira-kira: 'Tolonglah kami, tolonglah kami. Kami sedang mengeruk, tetapi kini pekerjaan kami terhambat oleh bebatuan aneh. Tolonglah kami mengangkatnya.' Maukah kau agar kita turun dan menolong koloni semut itu; atau sebaiknya kita bercepat-cepat saja melanjutkan perjalanan?"