Umar bin Abdul Aziz, Kisah Ketika Dipecat sebagai Gubernur Madinah
Senin, 15 November 2021 - 13:48 WIB
Umar bin Abdul Aziz dipecat sebagai Gubernur Madinah di era Khalifah Al Walid bin Abdul Malik . Hal ini dilakukan khalifah karena kebijakan Umar bin Abdul Aziz dinilai bisa mengancam keberlangsungan Dinasti Umayyah .
Kalangan sejarawan berpendapat bahwa pada masa Khalifah Al Walid bin Abdul Malik Dinasti Umayyah mengalami masa keemasan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan para gubernur dan bawahannya yang cemerlang.
Selain Umar bin Abdul Aziz yang menjadi Gubernur Madinah yang meliputi wilayah Hijaz, di wilayah Timur ada Hajjaj bin Yusuf , dan di Barat ada Musa bin Nusayr.
Berbeda dengan kolega-koleganya sesama gubernur yang lebih menonjolkan prestasinya melalui serangkaian penaklukkan, Umar bin Abdul Aziz lebih mengedepankan soft power politic.
Sebagai sosok yang diamanahi mengelola tanah suci, Umar menghadapi tantangan yang lumayan pelik. Ia harus berhadapan dengan serangkain luka politik dari masa lalu, hasil konflik antarsahabat utama. Dan sebagian besar atau mungkin semua rentetan luka itu, disebabkan oleh para pendahulu Umar bin Abdul Aziz.
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari, lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau ath-Thabari dalam buku The History of al-Tabari menilai bahwa Umar bin Abdul Aziz bisa dikatakan berhasil membangun rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok yang bertikai kala itu.
Umar bin Abdul Aziz adalah sepupu dari Khalifah Al Walid. Ayahnya adalah Abdul Aziz, adik dari Abdul Malik bin Marwan.
Menurut riwayat Waqidi yang dikutip Tabari disebutkan seyogyanya, pengganti Abdul Malik adalah Abdul Aziz. Tapi karena Abdul Aziz keburu wafat, maka kedudukan tersebut diwariskan pada Al Walid.
Dewan Syuro
Umar bin Abdul Aziz terkenal sebagai bangsawan yang saleh. Ia menjabat sebagai gubernur Madinah pada tahun 87 H, atau setahun setelah Al Walid dinobatkan sebagai khalifah. Ketika itu usianya 25 tahun.
Ia datang bersama caravan yang berisi 30 unta, dan berhenti di Dar Marwan. Ketika penduduk Madinah mendengar kedatangannya, mereka langsung berdatangan menyambutnya.
Kemudian ia memanggil 10 orang berpengaruh untuk menduduki posisi sebagai dewan syuro di Madinah.
Kesepuluh orang tersebut antara lain; ‘Urwah bin al-Zubayr, ‘Ubaydallah bin ‘Abdallah bin ‘Utbah, Abu Bakr bin ‘Abd al-Rahman, Abu Bakr bin Sulayman bin Abi Hathmah, Sulayman bin Yasar, al-Qasim bin Muhammad, Salim bin ‘Abdallah bin ‘Umar, ‘Abdallah bin ‘Abdallah bin ‘Umar, ‘Abdallah bin ‘Amin bin Rabi’ah, dan Kharijah bin Zayd.
Maka hadirlah kesepuluh orang tersebut di hadapan Umar bin Abdul Aziz. Setelah Umar mempersilakan mereka duduk, ia lalu berpidato, setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, ia berkata:
”Aku memanggil kalian untuk sesuatu yang kalian akan mendapatkan perhargaan atasnya, yaitu kalian akan membantu untuk memutuskan apa yang benar.
Aku tidak akan membuat satupun keputusan tanpa meminta pendapat kalian, atau setidaknya pendapat tersebut yang akan digunakan.
Apabila kalian melihat ada yang melampaui batas, atau melihat sebuah ketidakadilan dalam pemerintahanku yang sampai pada kalian, aku mohon kalian melaporkannya kepadaku.”
Mendengar ini mereka menjawab, “Semoga Allah memberimu kebaikan.” Selanjutnya mereka semua bubar.
Kalangan sejarawan berpendapat bahwa pada masa Khalifah Al Walid bin Abdul Malik Dinasti Umayyah mengalami masa keemasan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan para gubernur dan bawahannya yang cemerlang.
Selain Umar bin Abdul Aziz yang menjadi Gubernur Madinah yang meliputi wilayah Hijaz, di wilayah Timur ada Hajjaj bin Yusuf , dan di Barat ada Musa bin Nusayr.
Berbeda dengan kolega-koleganya sesama gubernur yang lebih menonjolkan prestasinya melalui serangkaian penaklukkan, Umar bin Abdul Aziz lebih mengedepankan soft power politic.
Sebagai sosok yang diamanahi mengelola tanah suci, Umar menghadapi tantangan yang lumayan pelik. Ia harus berhadapan dengan serangkain luka politik dari masa lalu, hasil konflik antarsahabat utama. Dan sebagian besar atau mungkin semua rentetan luka itu, disebabkan oleh para pendahulu Umar bin Abdul Aziz.
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari, lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau ath-Thabari dalam buku The History of al-Tabari menilai bahwa Umar bin Abdul Aziz bisa dikatakan berhasil membangun rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok yang bertikai kala itu.
Umar bin Abdul Aziz adalah sepupu dari Khalifah Al Walid. Ayahnya adalah Abdul Aziz, adik dari Abdul Malik bin Marwan.
Menurut riwayat Waqidi yang dikutip Tabari disebutkan seyogyanya, pengganti Abdul Malik adalah Abdul Aziz. Tapi karena Abdul Aziz keburu wafat, maka kedudukan tersebut diwariskan pada Al Walid.
Dewan Syuro
Umar bin Abdul Aziz terkenal sebagai bangsawan yang saleh. Ia menjabat sebagai gubernur Madinah pada tahun 87 H, atau setahun setelah Al Walid dinobatkan sebagai khalifah. Ketika itu usianya 25 tahun.
Ia datang bersama caravan yang berisi 30 unta, dan berhenti di Dar Marwan. Ketika penduduk Madinah mendengar kedatangannya, mereka langsung berdatangan menyambutnya.
Kemudian ia memanggil 10 orang berpengaruh untuk menduduki posisi sebagai dewan syuro di Madinah.
Kesepuluh orang tersebut antara lain; ‘Urwah bin al-Zubayr, ‘Ubaydallah bin ‘Abdallah bin ‘Utbah, Abu Bakr bin ‘Abd al-Rahman, Abu Bakr bin Sulayman bin Abi Hathmah, Sulayman bin Yasar, al-Qasim bin Muhammad, Salim bin ‘Abdallah bin ‘Umar, ‘Abdallah bin ‘Abdallah bin ‘Umar, ‘Abdallah bin ‘Amin bin Rabi’ah, dan Kharijah bin Zayd.
Maka hadirlah kesepuluh orang tersebut di hadapan Umar bin Abdul Aziz. Setelah Umar mempersilakan mereka duduk, ia lalu berpidato, setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, ia berkata:
”Aku memanggil kalian untuk sesuatu yang kalian akan mendapatkan perhargaan atasnya, yaitu kalian akan membantu untuk memutuskan apa yang benar.
Aku tidak akan membuat satupun keputusan tanpa meminta pendapat kalian, atau setidaknya pendapat tersebut yang akan digunakan.
Apabila kalian melihat ada yang melampaui batas, atau melihat sebuah ketidakadilan dalam pemerintahanku yang sampai pada kalian, aku mohon kalian melaporkannya kepadaku.”
Mendengar ini mereka menjawab, “Semoga Allah memberimu kebaikan.” Selanjutnya mereka semua bubar.