Inilah Ciri-ciri Hati yang Sakit dan Hati yang Mati
Kamis, 25 November 2021 - 17:46 WIB
Hati manusia dikenal dengan istilah qalbun salim, seseorang tidak akan selamat di hari kiamat jika tidak memiliki hati ini kecuali dengan izin Allah. Sebagaimana firman Allah ;
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS Asy-Syu’ara’: 88-89).
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziah membagi hati menjadi tiga bagian, hati yang sehat, hati yang sakit dan hati yang mati. Hati yang sehat yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai perbuatan yang menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan Allah, bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan berita-Nya. Hati ini dikenal dengan istilah qalbun salim.
Lalu bagaimana dengan hati yang sakit dan mati? Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “Ighatsatul Lahfan min Mashayidisy Syaithan” menjelaskan bagiamana sebenarnya ciri-ciri hati yang sakit dan hati yang mati ini. Hati yang sakit memiliki beberapa tanda yang dapat diketahui dengannya, di antaranya adalah:
1. Tidak mengenal Allah, tidak mencintai-Nya.
Orang yang hatinya sakit, tidak merindukan perjumpaan denganAllah Ta'ala dan tidak mau kembali ke jalan-Nya, serta lebih suka mengikuti hawa nafsu. Ia lebih suka mendahulukan kepentingan pribadi dan syahwatnya daripada taat dan cinta kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
”Sudahkan engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (Q.S. Al-Furqan: 43)
2. Tidak merasakan sakitnya hati dengan sebab luka-luka maksiat
Seperti ungkapan pepatah, ”Luka tidak terasa sakit bagi orang mati.” Hati yang sehat pasti merasa sakit dan tersiksa dengan perbuatan maksiat. Hal itulah yang membuatnya tergerak untuk kembali bertaubat kepada Rabb-nya. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (Q.S. Al-A’raf: 201)
Adapun orang yang hatinya sakit, dia selalu mengikuti keburukan dengan keburukan juga. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, ”Itu adalah dosa di atas dosa sehingga membuat hati menjadi buta, lalu mati.” Sementara hati yang sehat selalu mengikuti keburukan dengan kebaikan dan mengikuti dosa dengan taubat.
3. Tidak merasa sakit (tidak merasa tersiksa) dengan kebodohannya (ketidaktahuannya) akan kebenaran.
Berbeda dengan hati yang sehat, yang akan merasa sakit dengan datang syubhat (ketidakjelasan) pada dirinya
Seorang ulama mengatakan, “Tidak ada dosa yang lebih buruk selain kebodohan.” Imam Sahl pernah ditanya, “Wahai Abu Muhammad, apa yang lebih buruk daripada kebodohan?” Ia menjawab, “Kebodohan akan kebodohan (tidak tahu bahwa dirinya bodoh).” Lalu ada yang berkomentar, ”Dia benar, karena hal itu menutup pintu ilmu secara total.”
Hati yang sakit meninggalkan makanan yang bermanfaat dan memilih racun yang berbahaya. Seperti keengganan sebagian besar orang untuk mendengarkan Al-Quran yang dikabarkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya,
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS Asy-Syu’ara’: 88-89).
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziah membagi hati menjadi tiga bagian, hati yang sehat, hati yang sakit dan hati yang mati. Hati yang sehat yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai perbuatan yang menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan Allah, bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan berita-Nya. Hati ini dikenal dengan istilah qalbun salim.
Lalu bagaimana dengan hati yang sakit dan mati? Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “Ighatsatul Lahfan min Mashayidisy Syaithan” menjelaskan bagiamana sebenarnya ciri-ciri hati yang sakit dan hati yang mati ini. Hati yang sakit memiliki beberapa tanda yang dapat diketahui dengannya, di antaranya adalah:
1. Tidak mengenal Allah, tidak mencintai-Nya.
Orang yang hatinya sakit, tidak merindukan perjumpaan denganAllah Ta'ala dan tidak mau kembali ke jalan-Nya, serta lebih suka mengikuti hawa nafsu. Ia lebih suka mendahulukan kepentingan pribadi dan syahwatnya daripada taat dan cinta kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً
”Sudahkan engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (Q.S. Al-Furqan: 43)
2. Tidak merasakan sakitnya hati dengan sebab luka-luka maksiat
Seperti ungkapan pepatah, ”Luka tidak terasa sakit bagi orang mati.” Hati yang sehat pasti merasa sakit dan tersiksa dengan perbuatan maksiat. Hal itulah yang membuatnya tergerak untuk kembali bertaubat kepada Rabb-nya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَواْ إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (Q.S. Al-A’raf: 201)
Adapun orang yang hatinya sakit, dia selalu mengikuti keburukan dengan keburukan juga. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, ”Itu adalah dosa di atas dosa sehingga membuat hati menjadi buta, lalu mati.” Sementara hati yang sehat selalu mengikuti keburukan dengan kebaikan dan mengikuti dosa dengan taubat.
3. Tidak merasa sakit (tidak merasa tersiksa) dengan kebodohannya (ketidaktahuannya) akan kebenaran.
Berbeda dengan hati yang sehat, yang akan merasa sakit dengan datang syubhat (ketidakjelasan) pada dirinya
Seorang ulama mengatakan, “Tidak ada dosa yang lebih buruk selain kebodohan.” Imam Sahl pernah ditanya, “Wahai Abu Muhammad, apa yang lebih buruk daripada kebodohan?” Ia menjawab, “Kebodohan akan kebodohan (tidak tahu bahwa dirinya bodoh).” Lalu ada yang berkomentar, ”Dia benar, karena hal itu menutup pintu ilmu secara total.”
Hati yang sakit meninggalkan makanan yang bermanfaat dan memilih racun yang berbahaya. Seperti keengganan sebagian besar orang untuk mendengarkan Al-Quran yang dikabarkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً