Ilmu Hikmah: Jangan Bersandar Pada Amal Tapi Bersandarlah kepada Allah
Jum'at, 26 November 2021 - 05:05 WIB
Allah memberikan Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat. Demikian firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 269.
Hikmah adalah kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia syariat agama hingga mengetahui kebenaran baik secara hakikat dan makrifat. Dalam urusan ibadah hendaknya setiap orang bersandar kepada Allah semata, bukan kepada amalannya.
Ulama besar Syekh Ibnu 'Athoillah As-Sakandari (wafat Tahun 1309) dalam Kitab Al-Hikam menegaskan pentingnya bersandar kepada Allah.
مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ
"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-Raja' (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana."
Ar-Raja' adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta'ala. Ar-Raja lebih menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah untuk taqarrub.
Kalimat "wujuudi zalal", artinya segala wujud yang akan hancur, alam fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujud al-Zalal, wujud yang akan musnah.
Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala.
Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling mahal dalam suluk adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas roja' (pengharapan) kita kepada Allah Ta'ala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya." Ditanyakan, "Sekalipun engkau wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Allah dan meminta hanya kepada Allah. Jangan sampai orang yang beramal bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah adalah Allah.
Sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti terlanjur melakukan maksiat atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Allah. Dan apabila berkurang pengharapan kepada rahmat Allah, maka amalnya pun akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.
Seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Allah. sedangkan diri kita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Allah. Kalimat "Laa ilaha illallah" berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Allah. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan. Tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Allah.
Pada dasarnya syari'at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari'at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Allah subhanahu wata'ala.
Apabila kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan dan karunia Allah.
Hikmah adalah kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia syariat agama hingga mengetahui kebenaran baik secara hakikat dan makrifat. Dalam urusan ibadah hendaknya setiap orang bersandar kepada Allah semata, bukan kepada amalannya.
Ulama besar Syekh Ibnu 'Athoillah As-Sakandari (wafat Tahun 1309) dalam Kitab Al-Hikam menegaskan pentingnya bersandar kepada Allah.
مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ
"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-Raja' (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana."
Ar-Raja' adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta'ala. Ar-Raja lebih menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah untuk taqarrub.
Kalimat "wujuudi zalal", artinya segala wujud yang akan hancur, alam fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujud al-Zalal, wujud yang akan musnah.
Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala.
Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling mahal dalam suluk adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas roja' (pengharapan) kita kepada Allah Ta'ala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya." Ditanyakan, "Sekalipun engkau wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Allah dan meminta hanya kepada Allah. Jangan sampai orang yang beramal bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah adalah Allah.
Sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti terlanjur melakukan maksiat atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Allah. Dan apabila berkurang pengharapan kepada rahmat Allah, maka amalnya pun akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.
Seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Allah. sedangkan diri kita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Allah. Kalimat "Laa ilaha illallah" berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Allah. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan. Tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Allah.
Pada dasarnya syari'at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari'at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Allah subhanahu wata'ala.
Apabila kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan dan karunia Allah.
(rhs)