Kisah Sufi al-Rudbari: Ketika Tuan Lalim Menutup Bendungan
Minggu, 28 November 2021 - 17:47 WIB
"Tanah di sini selalu seperti ini," kata yang kedua.
"Untuk apa kami harus menuruti kata-katamu?" tanya yang ketiga. "Aku ingin menolongmu, tetapi aku belum mengerti sepenuhnya apa yang kau katakan," kata yang keempat.
"Di samping itu," kata adik pertama, "aku tak butuh air. Aku mengumpulkan semak belukar untuk membuat api. Para pedagang singgah untuk menghangatkan diri dan memberiku uang."
"Dan," kata adik kedua, "air di sini hanya cukup untuk mengisi kolam kecil tempat aku memelihara ikan hias. Terkadang, para pedagang berhenti dan mengaguminya, lalu memberiku tip."
''Ah suka air," kata saudara ketiga, "tetapi aku tak tahu apakah air itu bisa memperbaiki tanah ini."
Saudara keempat hanya diam.
"Mari kita mulai bekerja," kata Si Sulung.
"Lebih baik kita menunggu apakah para pedagang datang," kata yang lainnya.
"Tentu saja mereka tidak akan datang," kata Si Sulung, "sebab akulah yang menyuruh mereka."
Tetapi, mereka berdebat, berdebat, dan berdebat.
Musim itu para pedagang tidak melewati jalan ke tanah bersaudara itu, sebab salju telah menghalangi jalan.
Sebelum datang musim, para kafilah melintasi sepanjang Jalur Sutra, tuan lalim yang kedua, yang lebih jahat dari yang pertama, muncul.
Pada awal kemunculannya, tuan lalim itu hanya mengambil tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Ia melihat bendungan tak bertuan itu dan bangkitlah ketamakannya.
Ia bukan saja mengambil bendungan itu, tetapi juga memperbudak kelima orang bersaudara itu, sebab mereka masih sehat untuk bekerja berat, bahkan yang tertua sekalipun.
Dan kelima orang bersaudara itu tetap saja adu mulut. Tampaknya tak ada lagi yang bisa menghentikan raja lalim itu kini.
Idries Shah, mengatakan cerita ini menggambarkan asal-usul pelik dari ajaran-ajaran Sufi, yang datang dari suatu tempat, tetapi tampaknya datang dari tempat lain, sebab pikiran manusia tak dapat merasakan (seperti kelima bersaudara dalam Fabel tadi) 'Sumber yang sejati'.
Rudbari memperoleh 'Rantai Peralihan' ajarannya dari semua Sufi terdahulu, terutama dari Shibli, Bayazid, dan Harudan Qassar.
Kisah ini juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi"
"Untuk apa kami harus menuruti kata-katamu?" tanya yang ketiga. "Aku ingin menolongmu, tetapi aku belum mengerti sepenuhnya apa yang kau katakan," kata yang keempat.
"Di samping itu," kata adik pertama, "aku tak butuh air. Aku mengumpulkan semak belukar untuk membuat api. Para pedagang singgah untuk menghangatkan diri dan memberiku uang."
"Dan," kata adik kedua, "air di sini hanya cukup untuk mengisi kolam kecil tempat aku memelihara ikan hias. Terkadang, para pedagang berhenti dan mengaguminya, lalu memberiku tip."
''Ah suka air," kata saudara ketiga, "tetapi aku tak tahu apakah air itu bisa memperbaiki tanah ini."
Saudara keempat hanya diam.
"Mari kita mulai bekerja," kata Si Sulung.
"Lebih baik kita menunggu apakah para pedagang datang," kata yang lainnya.
"Tentu saja mereka tidak akan datang," kata Si Sulung, "sebab akulah yang menyuruh mereka."
Tetapi, mereka berdebat, berdebat, dan berdebat.
Musim itu para pedagang tidak melewati jalan ke tanah bersaudara itu, sebab salju telah menghalangi jalan.
Sebelum datang musim, para kafilah melintasi sepanjang Jalur Sutra, tuan lalim yang kedua, yang lebih jahat dari yang pertama, muncul.
Pada awal kemunculannya, tuan lalim itu hanya mengambil tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Ia melihat bendungan tak bertuan itu dan bangkitlah ketamakannya.
Ia bukan saja mengambil bendungan itu, tetapi juga memperbudak kelima orang bersaudara itu, sebab mereka masih sehat untuk bekerja berat, bahkan yang tertua sekalipun.
Dan kelima orang bersaudara itu tetap saja adu mulut. Tampaknya tak ada lagi yang bisa menghentikan raja lalim itu kini.
Idries Shah, mengatakan cerita ini menggambarkan asal-usul pelik dari ajaran-ajaran Sufi, yang datang dari suatu tempat, tetapi tampaknya datang dari tempat lain, sebab pikiran manusia tak dapat merasakan (seperti kelima bersaudara dalam Fabel tadi) 'Sumber yang sejati'.
Rudbari memperoleh 'Rantai Peralihan' ajarannya dari semua Sufi terdahulu, terutama dari Shibli, Bayazid, dan Harudan Qassar.
Kisah ini juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi"