Kisah Sufi: Tiga Ekor Ikan Bernama si Pandai, si Agak Pandai, dan si Bodoh
Rabu, 08 Desember 2021 - 15:15 WIB
Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes" menukil kisah yang disampaikan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW kepada Khajagan (Para Guru) yang pada abad ke-14 mengubah nama mereka menjadi Thoriqoh Naqshibandiah .
Menurut Idries Shah, terkadang kisah ini dikatakan berlatar di sebuah 'dunia' yang dikenal sebagai Karatas, Negeri Batu Hitam.
Di sisi lain, Idries mengatakan versi ini berasal dari Abdal (Yang Berubah) Afifi. Ia mendengarnya dari Syeh Muhammad Asghar, yang wafat tahun 1813, dimakamkan di Delhi. Berikut kisah tersebut:
Suatu kali di sebuah kolam hiduplah tiga ekor ikan! Si Pandai, si Agak Pandai, dan si Bodoh. Mereka hidup biasa-biasa saja sebagaimana ikan-ikan yang hidup di tempat lain, sampai suatu hari datanglah seorang manusia.
Manusia itu membawa jala, dan si Pandai melihatnya dari dalam air. Mengingat kembali pengalamannya, cerita-cerita yang pernah didengarnya, dan kecerdikannya, si Pandai memutuskan untuk bertindak.
"Hampir tak ada tempat untuk bersembunyi di kolam ini," pikirnya. "Aku sebaiknya pura-pura mati."
Si Pandai mengerahkan seluruh tenaganya dan melompat keluar kolam. Ia jatuh persis di kaki penjala ikan, yang tentu saja terkejut. Namun karena si Pandai menahan nafas, si penjala ikan mengira bahwa ikan itu sudah mati, lalu melemparnya kembali ke kolam. Si Pandai pelan-pelan meluncur ke lubang kecil di dasar tepi kolam.
Ikan kedua, si Agak Pandai, tidak begitu paham tentang apa yang sedang terjadi. Ia lantas berenang mendekati si Pandai dan bertanya tentang segala sesuatunya. "Sederhana saja," kata si Pandai. "Aku pura-pura mati, dan ia melemparku kembali."
Si Agak Pandai pun segera melompat keluar air, jatuh dekat kaki penjala ikan itu. "Aneh," pikir penjala itu. "Ikan-ikan ini berloncatan keluar dari kolam."
Karena si Agak Pandai lupa menahan nafas, tahulah penjala ikan itu bahwa ikan itu masih hidup dan menaruhnya dalam keranjang.
Ia kembali mengamati kolam, dan karena masih bingung akan perilaku ikan-ikan yang berloncatan ke tanah kering di dekatnya, ia pun lupa menutup keranjangnya. Si Agak Pandai, begitu menyadarinya, berjumpalitan berulang kali, lagi dan lagi, hingga berhasil masuk kembali ke kolam. Ia mencari ikan pertama dan dengan terengah-engah bersembunyi di sampingnya.
Ikan ketiga, si Bodoh, tak mampu memetik pelajaran dari semuanya, bahkan setelah ia mendengarkan cerita ikan pertama dan kedua. Mereka terpaksa kembali bercerita, menegaskan pentingnya menahan nafas, untuk berpura-pura mati.
"Terima kasih banyak, saya sudah mengerti," ujar si Bodoh.
Selesai berkata, ia melentingkan tubuhnya keluar air, mendarat tepat di sebelah kaki penjala ikan itu.
Penjala ikan itu, yang telah kehilangan dua ekor ikan sebelumnya, menaruh ikan yang satu itu ke dalam keranjang tanpa mau repot memastikan apakah ikan itu hidup atau mati, ia menebar jalanya lagi dan lagi ke kolam, namun kedua ikan yang pertama telah aman bersembunyi di dasar kolam. Kali ini keranjang itu benar-benar tertutup rapat.
Akhirnya, penjala ikan itu berhenti. Ia membuka keranjang, dilihatnya ikan bodoh itu tidak bernafas, dan membawanya pulang untuk santapan kucing.
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi. Juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.
Menurut Idries Shah, terkadang kisah ini dikatakan berlatar di sebuah 'dunia' yang dikenal sebagai Karatas, Negeri Batu Hitam.
Di sisi lain, Idries mengatakan versi ini berasal dari Abdal (Yang Berubah) Afifi. Ia mendengarnya dari Syeh Muhammad Asghar, yang wafat tahun 1813, dimakamkan di Delhi. Berikut kisah tersebut:
Suatu kali di sebuah kolam hiduplah tiga ekor ikan! Si Pandai, si Agak Pandai, dan si Bodoh. Mereka hidup biasa-biasa saja sebagaimana ikan-ikan yang hidup di tempat lain, sampai suatu hari datanglah seorang manusia.
Manusia itu membawa jala, dan si Pandai melihatnya dari dalam air. Mengingat kembali pengalamannya, cerita-cerita yang pernah didengarnya, dan kecerdikannya, si Pandai memutuskan untuk bertindak.
"Hampir tak ada tempat untuk bersembunyi di kolam ini," pikirnya. "Aku sebaiknya pura-pura mati."
Si Pandai mengerahkan seluruh tenaganya dan melompat keluar kolam. Ia jatuh persis di kaki penjala ikan, yang tentu saja terkejut. Namun karena si Pandai menahan nafas, si penjala ikan mengira bahwa ikan itu sudah mati, lalu melemparnya kembali ke kolam. Si Pandai pelan-pelan meluncur ke lubang kecil di dasar tepi kolam.
Ikan kedua, si Agak Pandai, tidak begitu paham tentang apa yang sedang terjadi. Ia lantas berenang mendekati si Pandai dan bertanya tentang segala sesuatunya. "Sederhana saja," kata si Pandai. "Aku pura-pura mati, dan ia melemparku kembali."
Si Agak Pandai pun segera melompat keluar air, jatuh dekat kaki penjala ikan itu. "Aneh," pikir penjala itu. "Ikan-ikan ini berloncatan keluar dari kolam."
Karena si Agak Pandai lupa menahan nafas, tahulah penjala ikan itu bahwa ikan itu masih hidup dan menaruhnya dalam keranjang.
Ia kembali mengamati kolam, dan karena masih bingung akan perilaku ikan-ikan yang berloncatan ke tanah kering di dekatnya, ia pun lupa menutup keranjangnya. Si Agak Pandai, begitu menyadarinya, berjumpalitan berulang kali, lagi dan lagi, hingga berhasil masuk kembali ke kolam. Ia mencari ikan pertama dan dengan terengah-engah bersembunyi di sampingnya.
Ikan ketiga, si Bodoh, tak mampu memetik pelajaran dari semuanya, bahkan setelah ia mendengarkan cerita ikan pertama dan kedua. Mereka terpaksa kembali bercerita, menegaskan pentingnya menahan nafas, untuk berpura-pura mati.
"Terima kasih banyak, saya sudah mengerti," ujar si Bodoh.
Selesai berkata, ia melentingkan tubuhnya keluar air, mendarat tepat di sebelah kaki penjala ikan itu.
Penjala ikan itu, yang telah kehilangan dua ekor ikan sebelumnya, menaruh ikan yang satu itu ke dalam keranjang tanpa mau repot memastikan apakah ikan itu hidup atau mati, ia menebar jalanya lagi dan lagi ke kolam, namun kedua ikan yang pertama telah aman bersembunyi di dasar kolam. Kali ini keranjang itu benar-benar tertutup rapat.
Akhirnya, penjala ikan itu berhenti. Ia membuka keranjang, dilihatnya ikan bodoh itu tidak bernafas, dan membawanya pulang untuk santapan kucing.
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi. Juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.
(mhy)