Pujian Imam Malik kepada Imam Syafi'i, Berikut Kisahnya (Bagian 2)
Selasa, 14 Desember 2021 - 17:18 WIB
Saat Imam Syafi'i (Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i) sedang duduk di depan Imam Malik bin Anas (wafat 279 H), datanglah salah seorang lelaki meminta pendapat kepada Imam Malik.
Lelaki itu bertanya kepada Imam Malik: "Aku adalah penjual burung tekukur. Di hari ini aku menjual seekor burung tekukur lalu pembeli burung itu mengembalikan burung yang sudah dibelinya. Ia berkata, burung tekukurmu ini tidaklah berkicau, aku pun bersumpah akan menceraikan (talak) istriku bahwasanya burung itu tidak pernah berhenti berkicau".
Lalu Imam Malik berkata: "Istrimu tercerai, maka tidak ada jalan bagimu lagi (utuk menghindari terjadinya cerai) atas istrimu itu".
Mendengar perbincangan itu, Imam Syafi'i yang kala itu berumur 14 tahun bertanya kepada lelaki tadi: "Mana yang lebih sering, berkicaunya atau diamnya?".
Penjual burung itu menjawab: "Lebih banyak berkicaunya".
Imam Syafi'i berkata: "Kalau begitu istrimu tidak tercerai".
Imam Malik pun mengetahui hal itu, lalu berkata kepada As-Syafi'i: "Wahai anak kecil, dari mana kamu dapatkan jawaban ini?". Imam As-Syafi'i pun menjawab: "Karena Anda telah menyampaikan hadis kepadaku, dari Zuhri dari Abi Salamah bin Abdurrahman dari Ummu Salamah bahwasanya Fatimah binti Qois berkata (dalam meminta saran): "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Jahm dan Muawiyah telah meminangku".
Lalu Rasulullah bersabda: "Adapun Muawiyah adalah orang yang miskin dan tidak punya harta benda, sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (selalu berpergian)".
Sedangkan Rasulullah mengetahui bahwasanya Abu Jahm itu juga makan, tidur, dan beristirahat, sedangkan Rasulullah telah bersabda tentang Abu Jahm, bahwasanya dia adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya.
Perkataan itu berdasarkan majaz (perumpamaan) dan kebiasaan orang Arab adalah menjadikan pekerjaan yang lebih sering dikerjakan seakan-akan pekerjaan yang selalu dikerjakannya. Dan tatkala kicauan burung itu lebih sering daripada diamnya, maka seakan-akan burung itu tidaklah pernah berhenti dari berkicau.
Imam Malik pun terpukau dengan argumen Imam Syafi'i tersebut seraya berkata: "Berfatwalah, dan sekaranglah waktunya kamu untuk berfatwa".
Maka Imam Syafi'i pun mulai berfatwa pada usia 14 tahun. Demikian dinukil dari Nurul-Abshar: 237.
Untuk diketahui, Imam Syafi'i Ketika berusia 7 tahun beliau sudah hafal Al-Qur'an. Tak hanya sekadar hafal, namun juga menguasai ilmu tafsirnya, ulumul Qur'an dan segala macam ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur'an. Saat berusia 10 tahun beliau sudah hafal Kitab Al-Muwatta' karya Imam Malik (wafat 279 H).
(Bersambung)
Lelaki itu bertanya kepada Imam Malik: "Aku adalah penjual burung tekukur. Di hari ini aku menjual seekor burung tekukur lalu pembeli burung itu mengembalikan burung yang sudah dibelinya. Ia berkata, burung tekukurmu ini tidaklah berkicau, aku pun bersumpah akan menceraikan (talak) istriku bahwasanya burung itu tidak pernah berhenti berkicau".
Lalu Imam Malik berkata: "Istrimu tercerai, maka tidak ada jalan bagimu lagi (utuk menghindari terjadinya cerai) atas istrimu itu".
Mendengar perbincangan itu, Imam Syafi'i yang kala itu berumur 14 tahun bertanya kepada lelaki tadi: "Mana yang lebih sering, berkicaunya atau diamnya?".
Penjual burung itu menjawab: "Lebih banyak berkicaunya".
Imam Syafi'i berkata: "Kalau begitu istrimu tidak tercerai".
Imam Malik pun mengetahui hal itu, lalu berkata kepada As-Syafi'i: "Wahai anak kecil, dari mana kamu dapatkan jawaban ini?". Imam As-Syafi'i pun menjawab: "Karena Anda telah menyampaikan hadis kepadaku, dari Zuhri dari Abi Salamah bin Abdurrahman dari Ummu Salamah bahwasanya Fatimah binti Qois berkata (dalam meminta saran): "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Jahm dan Muawiyah telah meminangku".
Lalu Rasulullah bersabda: "Adapun Muawiyah adalah orang yang miskin dan tidak punya harta benda, sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (selalu berpergian)".
Sedangkan Rasulullah mengetahui bahwasanya Abu Jahm itu juga makan, tidur, dan beristirahat, sedangkan Rasulullah telah bersabda tentang Abu Jahm, bahwasanya dia adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya.
Perkataan itu berdasarkan majaz (perumpamaan) dan kebiasaan orang Arab adalah menjadikan pekerjaan yang lebih sering dikerjakan seakan-akan pekerjaan yang selalu dikerjakannya. Dan tatkala kicauan burung itu lebih sering daripada diamnya, maka seakan-akan burung itu tidaklah pernah berhenti dari berkicau.
Imam Malik pun terpukau dengan argumen Imam Syafi'i tersebut seraya berkata: "Berfatwalah, dan sekaranglah waktunya kamu untuk berfatwa".
Maka Imam Syafi'i pun mulai berfatwa pada usia 14 tahun. Demikian dinukil dari Nurul-Abshar: 237.
Untuk diketahui, Imam Syafi'i Ketika berusia 7 tahun beliau sudah hafal Al-Qur'an. Tak hanya sekadar hafal, namun juga menguasai ilmu tafsirnya, ulumul Qur'an dan segala macam ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur'an. Saat berusia 10 tahun beliau sudah hafal Kitab Al-Muwatta' karya Imam Malik (wafat 279 H).
(Bersambung)
(rhs)