Kisah Sufi Sayid Ghaos Ali Shah: Warisan untuk Arif Si Rendah Hati

Selasa, 21 Desember 2021 - 10:37 WIB
KIsah ini merupakan ajaran sufi Sayid Ghaos Ali Shah agar orang mengharapkan bagi diri mereka apa yang seharusnya mereka harapkan bagi orang lain. (Foto/Ilustrasi : Ist)
Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes" menukil kisah berjudul "Warisan" yang merupakan ajaran sufi Sayid Ghaos Ali Shah agar orang mengharapkan bagi diri mereka apa yang seharusnya mereka harapkan bagi orang lain. Sayid Ghaos Ali Shah adalah orang suci dari tarekat Qadiri yang wafat tahun 1881 dan dimakamkan di Panipat. Berikut kisahnya:



Konon ada seorang laki-laki meninggal di tempat yang jauh dari rumahnya. Sebelum meninggal, ia mengucapkan wasiatnya: "Biarlah masyarakat di tanah di mana hartaku berada mengambil bagi mereka bagian yang mereka inginkan, dan biarlah mereka memberikan bagian yang mereka inginkan kepada Arif Si Rendah Hati."

Saat itu Arif masih muda belia dan tidak memiliki pengaruh yang berarti di dalam masyarakat tersebut. Para tua-tua mengambil apa saja yang berharga yang bisa diambil, dan menyisakan bagi Arif barang-barang tidak berharga, yang tidak diinginkan siapa pun.

Bertahun-tahun kemudian, Arif, yang bertumbuh dalam kekuatan dan hikmat, pergi menemui para tua-tua itu untuk menuntut hak warisannya. "Engkau mendapat barang-barang tidak berharga itu, sebab memang demikianlah isi wasiat tersebut," kata para tua-tua. Mereka tidak merasa telah merampas sesuatu pun, sebab mereka dibenarkan untuk mengambil apa saja yang mereka sukai.



Tetapi, di tengah perdebatan, muncul seorang laki-laki tak dikenal. Warna mukanya pucat, tetapi ia terlihat penuh wibawa. Katanya: "Maksud dari wasiat itu adalah agar kalian memberi kepada Arif apa yang kalian inginkan bagi diri sendiri, sebab ia dapat memanfaatkan warisan itu untuk kebaikan yang lebih besar."

Kata-kata tersebut membawa pada pencerahan, dan para tua-tua itu kini memahami maksud sebenarnya dari kalimat, "Biarlah mereka memberikan bagian yang mereka inginkan kepada Arif."

"Ketahuilah," kata penampakan itu, "bahwa pemberi wasiat telah merencanakan semuanya. Ia sadar bahwa sepeninggalnya, hartanya akan sia-sia bila tidak diwariskan. Tetapi, ia tahu bahwa jika secara terang-terangan ia menjadikan Arif sebagai pewarisnya maka kalian akan merampasnya. Atau, setidaknya tentu akan menimbulkan pertikaian.

Jadi, wasiatnya seolah-olah ditujukan pada kalian, sebab ia mengetahui bahwa bila kalian pikir harta itu milik kalian, tentu kalian akan menjaganya baik-baik. Itu sebabnya ia mengatur siasat jitu untuk memelihara dan mewariskan harta tersebut. Sudah saatnya sekarang warisan itu dikembalikan untuk digunakan dengan sebaik-baiknya.

Demikianlah kekayaan itu berpindah tangan kepada pewarisnya; para tua-tua itu mampu melihat kebenaran.



Idries Shah mengatakan, gagasan ini bukanlah sesuatu yang baru; dalam dongeng-dongeng rakyat sering kali ditemukan kisah tentang perjalanan berliku sebuah wasiat hingga sampai kepada pewaris sah yang selama puluhan tahun tak dapat menuntut haknya.

Di berbagai kalangan darwis, cerita ini diajarkan sebagai sebuah ilustrasi dari pernyataan: "Engkau memiliki banyak anugerah yang sebenarnya merupakan titipan semata; ketika hal ini engkau pahami, niscaya engkau dapat memberikan anugerah tersebut kepada pemilik yang berhak."

Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi. Juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.

Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(mhy)
Hadits of The Day
Dari Handlalah bin Ali bahwa Mihjan bin Al Adra' telah menceritakan kepadanya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam masjid, lalu beliau mendapati seorang laki-laki membaca tasyahud seusai shalat yang mengucapkan: Allahumma inni as'aluka Ya Allah Al Ahad As Shamad alladzii lam yalid wa lam yuulad walam yakul lahuu kufuwan ahad antaghfira lii dzunuubi innaka antal ghafuurur rakhiim (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, Dzat yang Maha Esa, Dzat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia, semoga Engkau mengampuni dosa-dosaku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  Maka beliau bersabda: Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni, Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni, Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 835)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More