Kisah Sufi Bayazid: Rapuhnya Pemisah antara Kita dan Maut
Kamis, 23 Desember 2021 - 10:03 WIB
Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes" mengangkat kisah sufi karya Bayazid dari Bistam, suatu tempat di selatan Laut Kaspia. Ia adalah salah seorang Sufi terbesar zaman lampau, dan wafat pada paruh akhir abad kesembilan.
Kakek Bayazid adalah seorang penganut Zoroastrian, dan ia mengenyam pendidikan esoterisnya di India. Karena gurunya, Abu- Ali dari Sind, tidak mengetahui sepenuhnya tata cara ritual Islam, beberapa ahli beranggapan bahwa Abu-Ali seorang penganut Hindu, dan bahwa Bayazid sebenarnya mempelajari metode mistik India. Tetapi, tak ada ahli yang berwenang, di antara para Sufi, yang membenarkan anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid antara lain tarekat Bistamia.
Berikut kisah yang berujudul "Orang yang Menyadari Kematian" tersebut:
Konon, ada seorang darwis yang mengadakan perjalanan lewat laut. Ketika para penumpang lain satu demi satu naik ke kapal, mereka melihatnya dan sebagaimana lazimnya mereka meminta nasihat padanya.
Semua darwis akan mengatakan hal yang itu-itu saja kepada setiap orang yang meminta nasihat: darwis itu tampaknya hanya mengulangi salah satu rumusan yang menjadi sasaran perhatian darwis dari masa ke masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut sampai kau tahu apa maut itu." Hanya sedikit penumpang yang secara serius tertarik pada peringatan tersebut.
Mendadak ada angin topan menderu. Awak kapal dan penumpang semuanya berlutut, memohon pada Tuhan agar menyelamatkan kapal itu. Mereka berteriak-teriak ketakutan, pasrah pada nasib, menangis mengharapkan pertolongan. Sementara itu, sang Darwis duduk tenang, merenung, tak bereaksi sama sekali terhadap kehebohan dan situasi di sekelilingnya.
Akhirnya, kekacauan itu berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar betapa tenang darwis itu selama peristiwa badai itu berlangsung.
Ada orang bertanya padanya: 'Tidakkah Tuan menyadari bahwa selama prahara menakutkan tadi berlangsung hanya selembar papan kokoh yang memisahkan kita dari maut?"
"Oh, ya, tentu," jawab sang darwis. "Saya tahu bahwa di laut selalu begitu. Tetapi, saya juga sadar bahwa, seperti yang sudah sering saya renungkan ketika berada di darat, dalam peristiwa biasa sehari-hari, pemisah antara kita dan maut bahkan lebih rapuh lagi."
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi. Juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.
Kakek Bayazid adalah seorang penganut Zoroastrian, dan ia mengenyam pendidikan esoterisnya di India. Karena gurunya, Abu- Ali dari Sind, tidak mengetahui sepenuhnya tata cara ritual Islam, beberapa ahli beranggapan bahwa Abu-Ali seorang penganut Hindu, dan bahwa Bayazid sebenarnya mempelajari metode mistik India. Tetapi, tak ada ahli yang berwenang, di antara para Sufi, yang membenarkan anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid antara lain tarekat Bistamia.
Berikut kisah yang berujudul "Orang yang Menyadari Kematian" tersebut:
Konon, ada seorang darwis yang mengadakan perjalanan lewat laut. Ketika para penumpang lain satu demi satu naik ke kapal, mereka melihatnya dan sebagaimana lazimnya mereka meminta nasihat padanya.
Semua darwis akan mengatakan hal yang itu-itu saja kepada setiap orang yang meminta nasihat: darwis itu tampaknya hanya mengulangi salah satu rumusan yang menjadi sasaran perhatian darwis dari masa ke masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut sampai kau tahu apa maut itu." Hanya sedikit penumpang yang secara serius tertarik pada peringatan tersebut.
Mendadak ada angin topan menderu. Awak kapal dan penumpang semuanya berlutut, memohon pada Tuhan agar menyelamatkan kapal itu. Mereka berteriak-teriak ketakutan, pasrah pada nasib, menangis mengharapkan pertolongan. Sementara itu, sang Darwis duduk tenang, merenung, tak bereaksi sama sekali terhadap kehebohan dan situasi di sekelilingnya.
Akhirnya, kekacauan itu berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar betapa tenang darwis itu selama peristiwa badai itu berlangsung.
Ada orang bertanya padanya: 'Tidakkah Tuan menyadari bahwa selama prahara menakutkan tadi berlangsung hanya selembar papan kokoh yang memisahkan kita dari maut?"
"Oh, ya, tentu," jawab sang darwis. "Saya tahu bahwa di laut selalu begitu. Tetapi, saya juga sadar bahwa, seperti yang sudah sering saya renungkan ketika berada di darat, dalam peristiwa biasa sehari-hari, pemisah antara kita dan maut bahkan lebih rapuh lagi."
Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi. Juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.
(mhy)