Kisah Keturunan Nabi Ismail Terusir dari Mekkah dan Rusaknya Aqidah Pengelola Kakbah
Senin, 17 Januari 2022 - 05:15 WIB
Perawatan Kakbah dan Kota Mekkah pada mulanya ditangani Nabi Ibrahim AS . Selepas beliau wafat, tugas ini diambil alih Nabi Ismail AS dan keluarganya. Namun sepeninggal Nabi Ismail, terjadi kudeta kaum Jurhum. Putra-putra Nabi Ismail terusir.
Imam ath Thabari dalam kitabnya "Tarikh al Umam wa al Muluk" (2011) menceritakan, pernikahan Nabi Ismail dengan anak dari elite Jurhum dikaruniai 12 anak. Mereka adalah Nabit, Qidar, Adbil, Mubsim, Musymi', Dauma, Dawam, Masa, Haddad, Tsitsa, Yathur, dan Nafisy.
Pada usia 137 tahun, Nabi Ismail berpulang. Estafet kepemimpinan dan tanggung jawab pemeliharaan Ka'bah dan Mekkah diserahkan kepada putra pertamanya, Nabit. Sayangnya, kondisi itu tak diharapkan sebagian petinggi Jurhum, hingga kekuasaannya direbut tanpa perlawanan.
Kebesaran hati putra-putra Ismail ini digambarkan Ibn Hisyam dalam as Sirah an Nabawiyah (2014):
"Allah SWT menyebarkan anak-anak Ismail di Mekkah. Tapi, saudara mereka dari suku Jurhumlah yang menguasai Baitullah. Anak-anak Nabi Ismail tidak ingin menentang saudara-saudaranya yang sudah pasti akan meretakkan kekerabatan mereka. Selain itu, mereka juga menghormati kemerdekaan dan sikap penolakan terhadap peperangan."
Meski begitu, rasa tak nyaman tetap menjalar di benak putra-putra Nabi Ismail. Mereka memutuskan untuk pindah dan berpencar ke daerah lain. Beruntung, tidak ada satu pun kaum yang menolak. Semua tempat menerima dan tunduk pada keagungan nama Ibrahim.
Dua belas anak Nabi Ismail inilah yang menjadi cikal-bakal Arab al-Musta'-riba, yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum dengan Arab al-'Ariba keturunan Ya'rub ibn Qahtan.
Sedang ayah mereka, Ismail anak Ibrahim, dari pihak ibunya erat sekali bertalian dengan Mesir, dan dari pihak bapak dengan Irak (Mesopotamia) dan Palestina, atau ke mana saja Nabi Ibrahim menginjakkan kaki.
Hanya saja, Dr Jawwad Ali dalam buku berjudul al-Mufashshal fi Tarikh al-Arab Qabla al-Islam atau "Sejarah Arab Sebelum Islam" menyebut Ismail berkomunikasi dengan bahasa suku Jurhum, setelah menikah dengan perempuan suku tersebut. Sedangkan Jurhum pada dasarnya berasal dari Yaman yang berbahasa asli Arab.
Menurut Jawwad Ali, Ismail menikahi istri Nabi Ismail bernama Hara binti Sa'ad bin Auf bin Hani bin Nabt bin Jurhum. Kemudian, Nabi Ismail menceraikannya berdasarkan wasiat bapaknya, Ibrahim. Selanjutnya, Ismail menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Sayyidah binti al-Harits bin Madhadh bin Amr bin Jurhum.
Seterusnya, keturunan Ismail hidup di tengah-tengah suku Jurhum. Suku inilah yang merawat Baitul Haram hingga kelak dikalahkan oleh Bani Haritsah bin Tsa'labah bin Amr bin Amir. Mereka adalah Bani Khuza'ah, menurut sebagian ahli sejarah.
Paganisme yang Mengakar
Dalam perjalanannya, mereka yang hidup di pusat penyembahan Allah yang Esa ini pelan tapi pasti meninggalkan agama tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim. Mengapa ini bisa terjadi?
Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" menulis penjelasan soal itu masih merupakan dugaan-dugaan yang sudah dianggap sebagai suatu kenyataan.
Menurutnya, kaum Sabian yang menyembah bintang mempunyai pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya mereka - menurut beberapa keterangan - tidak menyembah bintang itu sendiri, melainkan hanya menyembah Allah dan mereka mengagungkan bintang-bintang itu sebagai ciptaan dan manifestasi kebesaranNya.
Oleh karena lebih banyak yang tidak dapat memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan.
Beberapa macam batu gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit, berasal dan beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan.
Imam ath Thabari dalam kitabnya "Tarikh al Umam wa al Muluk" (2011) menceritakan, pernikahan Nabi Ismail dengan anak dari elite Jurhum dikaruniai 12 anak. Mereka adalah Nabit, Qidar, Adbil, Mubsim, Musymi', Dauma, Dawam, Masa, Haddad, Tsitsa, Yathur, dan Nafisy.
Pada usia 137 tahun, Nabi Ismail berpulang. Estafet kepemimpinan dan tanggung jawab pemeliharaan Ka'bah dan Mekkah diserahkan kepada putra pertamanya, Nabit. Sayangnya, kondisi itu tak diharapkan sebagian petinggi Jurhum, hingga kekuasaannya direbut tanpa perlawanan.
Kebesaran hati putra-putra Ismail ini digambarkan Ibn Hisyam dalam as Sirah an Nabawiyah (2014):
"Allah SWT menyebarkan anak-anak Ismail di Mekkah. Tapi, saudara mereka dari suku Jurhumlah yang menguasai Baitullah. Anak-anak Nabi Ismail tidak ingin menentang saudara-saudaranya yang sudah pasti akan meretakkan kekerabatan mereka. Selain itu, mereka juga menghormati kemerdekaan dan sikap penolakan terhadap peperangan."
Meski begitu, rasa tak nyaman tetap menjalar di benak putra-putra Nabi Ismail. Mereka memutuskan untuk pindah dan berpencar ke daerah lain. Beruntung, tidak ada satu pun kaum yang menolak. Semua tempat menerima dan tunduk pada keagungan nama Ibrahim.
Dua belas anak Nabi Ismail inilah yang menjadi cikal-bakal Arab al-Musta'-riba, yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum dengan Arab al-'Ariba keturunan Ya'rub ibn Qahtan.
Sedang ayah mereka, Ismail anak Ibrahim, dari pihak ibunya erat sekali bertalian dengan Mesir, dan dari pihak bapak dengan Irak (Mesopotamia) dan Palestina, atau ke mana saja Nabi Ibrahim menginjakkan kaki.
Hanya saja, Dr Jawwad Ali dalam buku berjudul al-Mufashshal fi Tarikh al-Arab Qabla al-Islam atau "Sejarah Arab Sebelum Islam" menyebut Ismail berkomunikasi dengan bahasa suku Jurhum, setelah menikah dengan perempuan suku tersebut. Sedangkan Jurhum pada dasarnya berasal dari Yaman yang berbahasa asli Arab.
Menurut Jawwad Ali, Ismail menikahi istri Nabi Ismail bernama Hara binti Sa'ad bin Auf bin Hani bin Nabt bin Jurhum. Kemudian, Nabi Ismail menceraikannya berdasarkan wasiat bapaknya, Ibrahim. Selanjutnya, Ismail menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Sayyidah binti al-Harits bin Madhadh bin Amr bin Jurhum.
Seterusnya, keturunan Ismail hidup di tengah-tengah suku Jurhum. Suku inilah yang merawat Baitul Haram hingga kelak dikalahkan oleh Bani Haritsah bin Tsa'labah bin Amr bin Amir. Mereka adalah Bani Khuza'ah, menurut sebagian ahli sejarah.
Paganisme yang Mengakar
Dalam perjalanannya, mereka yang hidup di pusat penyembahan Allah yang Esa ini pelan tapi pasti meninggalkan agama tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim. Mengapa ini bisa terjadi?
Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" menulis penjelasan soal itu masih merupakan dugaan-dugaan yang sudah dianggap sebagai suatu kenyataan.
Menurutnya, kaum Sabian yang menyembah bintang mempunyai pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya mereka - menurut beberapa keterangan - tidak menyembah bintang itu sendiri, melainkan hanya menyembah Allah dan mereka mengagungkan bintang-bintang itu sebagai ciptaan dan manifestasi kebesaranNya.
Oleh karena lebih banyak yang tidak dapat memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan.
Beberapa macam batu gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit, berasal dan beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan.
Lihat Juga :