Mengulik Siapa Sejatinya Syekh Siti Jenar yang Dibilang Jelmaan Cacing
Minggu, 23 Januari 2022 - 09:15 WIB
Alkisah, pada saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut. Ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.
Menurut Bratakesawa dalam bukunya "Falsafah Siti Djenar" (1954) dan buku "Wejangan Wali Sanga" himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar.
Sampai di sini, Syekh Siti Jenar dikisahkan sebagai jelmaan cacing. Namun dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan Kalijaga di atas perahu di tengah rawa.
Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar. Karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri.
Hanya saja, menurut Sulendraningrat dalam bukunya "Sejarah Cirebon" (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Baghdad beraliran Syi’ah Muntadar. Ia menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat.
Lantaran alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon. Versi lain dimakamkan di Masjid Demak.
Belakangan, menurut Sartono Hadisuwarno, dalam bukunya berjudul "Biografi Lengkap Syekh Siti Jenar" menyebut telah ditemukan makam yang diyakini sebagai makam Syekh Siti Jenar, yakni di Desa Balong, Kecamatan Kembang, kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Dokumen Kropak Ferrara
Nama Syekh Lemah Abang konon juga tertulis dalam dokumen Kropak Ferrara, sebuah dokumen kuno yang belum lama ditemukan. G.J.W. Drewes dalam "Perdebatan Walisongo Seputar Makrifatullah: Berikut Wasiat-wasiat Agama beserta Panduan Dakwah Para Wali di Jawa" (2002) menjelaskan Koprak Ferara ialah naskah yang terbuat dari rontal yang berisi sarasehan para Wali, berasal dari masa paling awal abad ke-18.
Oleh karena itu, walaupun asal-usul dan jati diri Syekh Siti Jenar tidak dijelaskan dalam dokumen tersebut, namun menjadi lebih jelas bahwa tokoh ini memang ada dalam jajaran Walisongo.
Abdul Munir Mulkhan yang banyak menulis buku dan mempopulerkan nama Syekh Siti Jenar di awal abad ke-21 ini, masih meragukan apakah nama Syekh Siti Jenar benarbenar pernah hidup di bumi Nusantara ini, walau pun dikenal luas oleh masyarakat Jawa.
Namun menurut Prof Hasanu Simon dalam bukunya berjudul "Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah (2004) , keraguan tersebut hilang karena adanya dokumen Kropak Ferrara di atas. Namun demikian riwayat hidup dan ajarannya masih gelap, sementara ada kelompok masyarakat Indonesia yang berlebihan membesar-besarkan tokoh ini, khususnya sejak era pasca-Demak Bintara.
Pada intinya, bahwa jati diri dan asal usul Syekh Siti Jenar sampai sekarang belum jelas, belum ada sumber yang dianggap sahih. Dalam beberapa publikasi, nama Syekh Siti Jenar kadangkadang disebut Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa Jawa, jenar berarti kuning, sedang brit berasal dari abrit artinya merah, sama dengan abang yang juga berarti merah.
Menurut Rahimsyah, Syekh Siti Jenar juga bernama Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah Syekh Datuk Sholeh.
Sedangkan menurut Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar bernama asli Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil, berasal dari Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu.
Dikatakan oleh Agus Sunyoto bahwa citra Syekh Siti Jenar selama kurun lebih empat abad memang tidak bisa lepas dari stigma kebid’ahan, kesesatan, kecacingan, dan keanjingan.
Agus Sunyoto adalah penulis tentang Syekh Siti Jenar diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta ke dalam 7 buku, yang dapat dikelompokkan menjadi trilogi yang memuat tentang babak-babak perjalanan ruhani Syekh Siti Jenar.
"Kita tidak tahu apakah Syekh Siti Jenar yang dikenal penyebar bid’ah dan sesat itu sejatinya memang demikian, sesuai tuduhan yang dialamatkan kepadanya," kata Agus Sunyoto.
Menurut Bratakesawa dalam bukunya "Falsafah Siti Djenar" (1954) dan buku "Wejangan Wali Sanga" himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar.
Sampai di sini, Syekh Siti Jenar dikisahkan sebagai jelmaan cacing. Namun dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan Kalijaga di atas perahu di tengah rawa.
Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar. Karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri.
Hanya saja, menurut Sulendraningrat dalam bukunya "Sejarah Cirebon" (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Baghdad beraliran Syi’ah Muntadar. Ia menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat.
Lantaran alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon. Versi lain dimakamkan di Masjid Demak.
Belakangan, menurut Sartono Hadisuwarno, dalam bukunya berjudul "Biografi Lengkap Syekh Siti Jenar" menyebut telah ditemukan makam yang diyakini sebagai makam Syekh Siti Jenar, yakni di Desa Balong, Kecamatan Kembang, kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Dokumen Kropak Ferrara
Nama Syekh Lemah Abang konon juga tertulis dalam dokumen Kropak Ferrara, sebuah dokumen kuno yang belum lama ditemukan. G.J.W. Drewes dalam "Perdebatan Walisongo Seputar Makrifatullah: Berikut Wasiat-wasiat Agama beserta Panduan Dakwah Para Wali di Jawa" (2002) menjelaskan Koprak Ferara ialah naskah yang terbuat dari rontal yang berisi sarasehan para Wali, berasal dari masa paling awal abad ke-18.
Oleh karena itu, walaupun asal-usul dan jati diri Syekh Siti Jenar tidak dijelaskan dalam dokumen tersebut, namun menjadi lebih jelas bahwa tokoh ini memang ada dalam jajaran Walisongo.
Abdul Munir Mulkhan yang banyak menulis buku dan mempopulerkan nama Syekh Siti Jenar di awal abad ke-21 ini, masih meragukan apakah nama Syekh Siti Jenar benarbenar pernah hidup di bumi Nusantara ini, walau pun dikenal luas oleh masyarakat Jawa.
Namun menurut Prof Hasanu Simon dalam bukunya berjudul "Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah (2004) , keraguan tersebut hilang karena adanya dokumen Kropak Ferrara di atas. Namun demikian riwayat hidup dan ajarannya masih gelap, sementara ada kelompok masyarakat Indonesia yang berlebihan membesar-besarkan tokoh ini, khususnya sejak era pasca-Demak Bintara.
Pada intinya, bahwa jati diri dan asal usul Syekh Siti Jenar sampai sekarang belum jelas, belum ada sumber yang dianggap sahih. Dalam beberapa publikasi, nama Syekh Siti Jenar kadangkadang disebut Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa Jawa, jenar berarti kuning, sedang brit berasal dari abrit artinya merah, sama dengan abang yang juga berarti merah.
Menurut Rahimsyah, Syekh Siti Jenar juga bernama Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah Syekh Datuk Sholeh.
Sedangkan menurut Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar bernama asli Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil, berasal dari Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu.
Dikatakan oleh Agus Sunyoto bahwa citra Syekh Siti Jenar selama kurun lebih empat abad memang tidak bisa lepas dari stigma kebid’ahan, kesesatan, kecacingan, dan keanjingan.
Agus Sunyoto adalah penulis tentang Syekh Siti Jenar diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta ke dalam 7 buku, yang dapat dikelompokkan menjadi trilogi yang memuat tentang babak-babak perjalanan ruhani Syekh Siti Jenar.
"Kita tidak tahu apakah Syekh Siti Jenar yang dikenal penyebar bid’ah dan sesat itu sejatinya memang demikian, sesuai tuduhan yang dialamatkan kepadanya," kata Agus Sunyoto.