Kisah Nabi Khidir, Pangeran yang Tinggalkan Singgasana
Senin, 07 Maret 2022 - 16:14 WIB
Legenda Nabi Khidir amatlah masyhur. Musa Kazhim, mengutip dari tafsir Al Mizan karya Allamah Husein Thabathaba’I menyatakan, salah satu tanda kenabian atau mukjizat Khidir ialah setiap kali ia duduk di atas kayu ataupun tanah gersang, maka berubahlah tempat yang didudukinya menjadi hijau royo-royo. Itulah alasan mengapa dia dipanggil dengan sebutan Khidir atau “Yang Hijau”.
Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad-Dur al-Mantsur menukil hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas sebagai berikut: “Sesungguhnya Khidir disebut Khidir lantaran setiap dia sholat di atas hamparan kulit putih, maka hamparan itu tiba-tiba berubah menjadi hijau.”
Menariknya lagi, sosok yang dikenal sebagai Khidir ini ternyata memiliki ilmu lebih tinggi daripada Nabi Musa as .
Allah SWT berfirman: “Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’
Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’
Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’
Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'” ( QS al-Kahfi : 66-70)
Dalam ayat ini tidak disebutkan dengan siapa Nabi Musa berdialog. Namun para ulama sepakat yang dimaksud adalah Khidir. M Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, mengatakan meski dengan rincian pendapat yang bermacam-macam, tapi nama Khidir selalu muncul dalam banyak buku tafsir.
Menurut Musa Kazhim dalam bukunya berjudul "Belajar Menjadi Sufi", nama Nabi Khidir yang sebenarnya adalah Talia bin Malik bin Abir bin Arfakhsyad bin Sam (atau Shem) bin Nuh. Ia adalah seorang anak raja pada zaman kenabian Zulkarnain as. Dia memutuskan melepaskan singgasananya demi menjadi hamba Allah SWT.
Musa Kazhim, menyebut Nabi Khidir terlahir sebagai seorang pangeran. Ia sebenarnya sudah mendapatkan semua kemewahan dunia yang diinginkannya. Tapi keinginan Khidir bukan itu. Dia ingin sesuatu yang sempurna, yang abadi, yang bisa menjawab segala ketakpuasan – sekali untuk selamanya. Tapi, dia juga sadar bahwa dunia ini terlalu licin untuk keinginan besarnya itu.
Toh singgasana bisa lapuk, kekayaan bisa hangus, kecantikan bisa memudar, hasrat bisa surut, umur lebih-lebih. Tapi jiwanya sudah terlanjur gelisah. Pasti ada sesuatu seperti yang dia inginkan itu. Pasti ada dan dia harus menemukannya sebelum usianya habis.
Dia kemudian meneruskan pencariannya. Dia mencari dan terus mencari. Hingga akhirnya dia berhenti di sebuah titik; dia menemukan Tuhan. Awalnya dia hanya melihat kehadiran Tuhan pada hal-hal yang tampak besar di mata; pada awan yang berarak, pada langit yang tak bertiang, pada bumi yang membentang, pada sungai yang berkelok, pada burung yang melayang, pada manusia yang beragam. Dia terpukau dan mulai menenggelamkan dirinya dalam kebaktian. Ini wujud syukurnya.
Dari situ, ia mulai merasakan kejernihan hati dan pikiran; merasa mulai terhubung langsung dengan Tuhan Yang Tinggi. Dia juga senang bisa menyadari betapa kasih sayang dan perhatian Tuhan terus menyokong kehidupannya, membuatnya bisa hadir dan menikmati segala yang ada di dunia ini – dari sebelumnya tak pernah ada sama sekali. Dia lalu semakin tenggelam dalam peribadatan. Syukurnya menjadi tak putus-putus.
Hingga suatu ketika. Dia tiba-tiba merasa seperti orang yang sedang digulung tsunami kesadaran baru. Dia mendadak bisa merasakan bahwa dunia yang sedang dia pijak, dunia yang berputar, dunia tempat miliaran orang bergerak ke sana kemari, dunia yang menampung segala keragaman dan tingkah penghuninya, hanyalah sebuah mimpi! Ya, mimpi, ilusi. Semua ini di matanya hanyalah mimpi. Mimpi yang terlihat “nyata” pada mereka yang nuraninya tertidur pulas.
Kini, dalam kesadaran barunya itu, yang dia saksikan hanyalah Tuhan. Dia bisa melihat Tuhan hadir di segala penjuru; di tikungan jalan, di tembok yang tegak, pada laut yang bergelok, pada tubuhnya sendiri. Dia bisa merasakan Tuhan hadir di kedua matanya, dalam desah napasnya, pada lengkung alisnya, pada pori-pori wajahnya, dalam detak jantungnya, dalam denyut nadinya…, bahkan lebih dekat lagi.
Dia terpesona dengan semua itu sebelum akhirnya menyadari batapa dia tidak bisa lagi mengenali dirinya. Dia bahkan tak mampu berkata-kata lagi. Dia bisa layaknya buih yang pingsan dalam dekapan samudera. Tapi dalam kesadarannya yang baru itu – dan perasaan dekat dan akrab kepada Tuhan yang menyertainya – dia masih goyah seperti nyiur di tepi pantai. Dia belum mampu mengendalikan kesadaran barunya itu sepenuhnya. Dia belum bisa berlama-lama dalam kemesraan dengan Tuhan.
Belakangan, dia menyadari kalau ternyata dunia dan alam kesadaran baru yang hadir dalam jiwanya adalah perempuan yang dimadu. Perhatian kepada yang satu menimbulkan iri kepada yang lain. Dia harus memilih. Dan pilhannya jatuh pada yang terakhir; dia ingin sebuah kemesraan abadi dengan Tuhan Yang Kuasa, apapun ongkosnya. Dia ingin tak ada lagi mendengar kata perpisahan. Dia mendambakan kebaktian abadi.
Tuhan Yang Kaya rupanya menjawab semua keinginannya. Zat Agung menarik jiwanya ke Kerajaan-Nya, mendudukkannya di dekat Singgasana sebelum akhirnya mengambil alih seluruh dirinya dan menjadikannya “Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” Jalannya kini sudah terbuka lebar. Ilmu langsung dari Tuhan membuat dia bisa menahan kematian tak kunjung bisa mendekatinya, hingga hari ini. Ilmu juga yang membuat dia bisa membawa napas kehidupan ke manapun kakinya melangkah, hingga detik ini.
Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad-Dur al-Mantsur menukil hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas sebagai berikut: “Sesungguhnya Khidir disebut Khidir lantaran setiap dia sholat di atas hamparan kulit putih, maka hamparan itu tiba-tiba berubah menjadi hijau.”
Menariknya lagi, sosok yang dikenal sebagai Khidir ini ternyata memiliki ilmu lebih tinggi daripada Nabi Musa as .
Allah SWT berfirman: “Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’
Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’
Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’
Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'” ( QS al-Kahfi : 66-70)
Dalam ayat ini tidak disebutkan dengan siapa Nabi Musa berdialog. Namun para ulama sepakat yang dimaksud adalah Khidir. M Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, mengatakan meski dengan rincian pendapat yang bermacam-macam, tapi nama Khidir selalu muncul dalam banyak buku tafsir.
Menurut Musa Kazhim dalam bukunya berjudul "Belajar Menjadi Sufi", nama Nabi Khidir yang sebenarnya adalah Talia bin Malik bin Abir bin Arfakhsyad bin Sam (atau Shem) bin Nuh. Ia adalah seorang anak raja pada zaman kenabian Zulkarnain as. Dia memutuskan melepaskan singgasananya demi menjadi hamba Allah SWT.
Musa Kazhim, menyebut Nabi Khidir terlahir sebagai seorang pangeran. Ia sebenarnya sudah mendapatkan semua kemewahan dunia yang diinginkannya. Tapi keinginan Khidir bukan itu. Dia ingin sesuatu yang sempurna, yang abadi, yang bisa menjawab segala ketakpuasan – sekali untuk selamanya. Tapi, dia juga sadar bahwa dunia ini terlalu licin untuk keinginan besarnya itu.
Toh singgasana bisa lapuk, kekayaan bisa hangus, kecantikan bisa memudar, hasrat bisa surut, umur lebih-lebih. Tapi jiwanya sudah terlanjur gelisah. Pasti ada sesuatu seperti yang dia inginkan itu. Pasti ada dan dia harus menemukannya sebelum usianya habis.
Dia kemudian meneruskan pencariannya. Dia mencari dan terus mencari. Hingga akhirnya dia berhenti di sebuah titik; dia menemukan Tuhan. Awalnya dia hanya melihat kehadiran Tuhan pada hal-hal yang tampak besar di mata; pada awan yang berarak, pada langit yang tak bertiang, pada bumi yang membentang, pada sungai yang berkelok, pada burung yang melayang, pada manusia yang beragam. Dia terpukau dan mulai menenggelamkan dirinya dalam kebaktian. Ini wujud syukurnya.
Dari situ, ia mulai merasakan kejernihan hati dan pikiran; merasa mulai terhubung langsung dengan Tuhan Yang Tinggi. Dia juga senang bisa menyadari betapa kasih sayang dan perhatian Tuhan terus menyokong kehidupannya, membuatnya bisa hadir dan menikmati segala yang ada di dunia ini – dari sebelumnya tak pernah ada sama sekali. Dia lalu semakin tenggelam dalam peribadatan. Syukurnya menjadi tak putus-putus.
Hingga suatu ketika. Dia tiba-tiba merasa seperti orang yang sedang digulung tsunami kesadaran baru. Dia mendadak bisa merasakan bahwa dunia yang sedang dia pijak, dunia yang berputar, dunia tempat miliaran orang bergerak ke sana kemari, dunia yang menampung segala keragaman dan tingkah penghuninya, hanyalah sebuah mimpi! Ya, mimpi, ilusi. Semua ini di matanya hanyalah mimpi. Mimpi yang terlihat “nyata” pada mereka yang nuraninya tertidur pulas.
Kini, dalam kesadaran barunya itu, yang dia saksikan hanyalah Tuhan. Dia bisa melihat Tuhan hadir di segala penjuru; di tikungan jalan, di tembok yang tegak, pada laut yang bergelok, pada tubuhnya sendiri. Dia bisa merasakan Tuhan hadir di kedua matanya, dalam desah napasnya, pada lengkung alisnya, pada pori-pori wajahnya, dalam detak jantungnya, dalam denyut nadinya…, bahkan lebih dekat lagi.
Dia terpesona dengan semua itu sebelum akhirnya menyadari batapa dia tidak bisa lagi mengenali dirinya. Dia bahkan tak mampu berkata-kata lagi. Dia bisa layaknya buih yang pingsan dalam dekapan samudera. Tapi dalam kesadarannya yang baru itu – dan perasaan dekat dan akrab kepada Tuhan yang menyertainya – dia masih goyah seperti nyiur di tepi pantai. Dia belum mampu mengendalikan kesadaran barunya itu sepenuhnya. Dia belum bisa berlama-lama dalam kemesraan dengan Tuhan.
Belakangan, dia menyadari kalau ternyata dunia dan alam kesadaran baru yang hadir dalam jiwanya adalah perempuan yang dimadu. Perhatian kepada yang satu menimbulkan iri kepada yang lain. Dia harus memilih. Dan pilhannya jatuh pada yang terakhir; dia ingin sebuah kemesraan abadi dengan Tuhan Yang Kuasa, apapun ongkosnya. Dia ingin tak ada lagi mendengar kata perpisahan. Dia mendambakan kebaktian abadi.
Tuhan Yang Kaya rupanya menjawab semua keinginannya. Zat Agung menarik jiwanya ke Kerajaan-Nya, mendudukkannya di dekat Singgasana sebelum akhirnya mengambil alih seluruh dirinya dan menjadikannya “Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” Jalannya kini sudah terbuka lebar. Ilmu langsung dari Tuhan membuat dia bisa menahan kematian tak kunjung bisa mendekatinya, hingga hari ini. Ilmu juga yang membuat dia bisa membawa napas kehidupan ke manapun kakinya melangkah, hingga detik ini.
(mhy)