Khalifah Yazid bin Walid: Kekuasaan 6 Bulan, Buah dari Kudeta Berdarah
Senin, 14 Maret 2022 - 05:15 WIB
Yazid bin Walid bin Abdul Malik atau Yazid III (701-744) adalah Khalifah Bani Umayyah yang naik tahta hanya selama 6 bulan.Para sejarawan sering menulis namanya dengan Yazid III karena ia adalah sosok ketiga bernama Yazid yang menjabat khalifah. Yazid I adalah Yazid bin Muawiyah, khalifah kedua. Yazid II adalah Yazid bin Abdul Malik, khalifah kesembilan. Sedangkan Yazid III adalah Yazid bin Walid, khalifah ke-11 Daulah Umayyah.
Yazid III berhasil naik tahta sebagai khalifah setelah berhasil mengkudeta kekuasaan Khalifah Walid bin Yazid, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Walid II.
Kudeta yang dilancarkan Yazid III dilakukan setelah Walid II secara sewenang-wenang membunuh anggota keluarganya yang tak sepaham dengan keinginannya.
Yazid III berhasil melarikan diri, lalu menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan. Ia dibaiat oleh keluarga Yamani di daerah Syria dan Palestina.
Selanjutnya, Yazid bin Walid bersama pasukannya mengepung Istana. Pada detik-detik menentukan, sebagian besar pasukan justru membelot dan berbalik menyerang Walid II. Pasukan Walid II pun kocar kacir. Meski sudah berusaha melarikan diri, namun pasukan Yazid bin Walid berhasil menemukannya, dan membunuhnya.
Yazid III memenggal kepala Walid II. Setelah itu, Yazid bin Walid dinobatkan sebagai khalifah pada tahun 126 H.
Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah mengurangi jumlah bantuan sosial dan mengembalikannya pada anggaran biasa seperti pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Kebijakan itu menyebabkan ia dikenal dengan julukan An-Naqish (sang Pengurang).
Yazid III berusaha mengembalikan stabilitas negara pascakudeta. Tapi apa mau dikata, kerusakan yang terjadi sudah terlalu parah. Kepercayaan rakyat sudah hilang, dan keluarga Umayyah pun terpecah belah.
Di hadapan keluarganya ia membela diri bahwa apa yang dilakukannya terhadap Walid II hanya sebuah upaya untuk memadamkan kezaliman. Tapi itu tidak cukup meredam gejolak permusuhan yang terjadi dalam tubuh Dinasti Umayyah.
Bagaimanapun, cara merebut kekuasaan yang dilakukan oleh Yazid III tidak pernah dilakukan oleh leluhurnya. Sekeras apapun gesekan yang terjadi antara anggota keluarga Umayyah dalam bersaing menduduki kursi Khalifah, mereka tidak pernah merebutnya dengan brutal sebagaimana yang dilakukan oleh Yazid III.
Sulaiman bin Hisyam, yang sebelumnya dihukum oleh Walid II, pada era Yazid bin Walid dibebaskan. Tapi melihat Yadiz III berada di puncak kekuasaan, iapun merasa berak atas jabatan itu. Ia sempat berencana melakuan pemberontakan, namun hal tersebut dapat dicegah oleh Yazid III, dan Sulaiman pun akhirnya bersedia membaiat Yazid III.
Dari negeri Hims juga muncul rencana perebutan kekuasaan. Ketika mendengar terbunuhnya Khalifah Walid bin Yazid, para pendukungnya dari negeri Hims segera bergerak menuju Damaskus. Khalifah Yazid segera mengirimkan pasukan besar untuk menghalaunya. Pasukan Hims kalah dan sisa-sisa tentaranya kembali menyatakan baiat.
Salah satu anggota keluarga Umayyah yang sangat mencintai Walid II adalah Marwan bin Muhammad yang ketika itu menjabat gubernur di Asia Tengah. Ia datang bersama pasukannya ke Damaskus untuk membalas dendam kepada Yazid III. Namun Yazid III lagi-lagi berhasil membujuknya dalam sebuah negosiasi yang alot, serta membuatnya berbaiat pada Yazid III dan kembali tanpa terjadi pertempuran.
Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam" menyebutkan Marwan bin Muhammad diberi kekuasaan otonom yang mencakup wilayah Azarbaijan, Armenia dan Mosul.
Meski begitu Marwan bin Muhammad tetap memelihara api dalam sekam di dadanya. Ia secara seksama memantau perkembangan yang terjadi di Damaskus, dan secara tidak langsung menjadi oposisi pemerintahan Yazid III.
Tampaknya, fanatisme kesukuan benar-benar telah mewabahi pemerintahan Yazid III. Di samping usaha perebutan kekuasaan di atas, dari lembah Irak juga muncul gejolak. Namun gubernurnya berhasil meredam gejolak masyarakat. Penduduk Yamamah juga demikian. Mereka berusaha melakukan kudeta terhadap gubernurnya.
Gejolak di wilayah Khurasan justru lebih parah. Gubernur Nushair bin Sayyaf menolak keinginan Khalifah Yazid yang ingin mengalihkan jabatannya pada Panglima Manshur bin Jamhur. Konflik berdarah pun terjadi.
Baca Juga
Yazid III berhasil naik tahta sebagai khalifah setelah berhasil mengkudeta kekuasaan Khalifah Walid bin Yazid, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Walid II.
Kudeta yang dilancarkan Yazid III dilakukan setelah Walid II secara sewenang-wenang membunuh anggota keluarganya yang tak sepaham dengan keinginannya.
Yazid III berhasil melarikan diri, lalu menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan. Ia dibaiat oleh keluarga Yamani di daerah Syria dan Palestina.
Selanjutnya, Yazid bin Walid bersama pasukannya mengepung Istana. Pada detik-detik menentukan, sebagian besar pasukan justru membelot dan berbalik menyerang Walid II. Pasukan Walid II pun kocar kacir. Meski sudah berusaha melarikan diri, namun pasukan Yazid bin Walid berhasil menemukannya, dan membunuhnya.
Yazid III memenggal kepala Walid II. Setelah itu, Yazid bin Walid dinobatkan sebagai khalifah pada tahun 126 H.
Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah mengurangi jumlah bantuan sosial dan mengembalikannya pada anggaran biasa seperti pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Kebijakan itu menyebabkan ia dikenal dengan julukan An-Naqish (sang Pengurang).
Yazid III berusaha mengembalikan stabilitas negara pascakudeta. Tapi apa mau dikata, kerusakan yang terjadi sudah terlalu parah. Kepercayaan rakyat sudah hilang, dan keluarga Umayyah pun terpecah belah.
Di hadapan keluarganya ia membela diri bahwa apa yang dilakukannya terhadap Walid II hanya sebuah upaya untuk memadamkan kezaliman. Tapi itu tidak cukup meredam gejolak permusuhan yang terjadi dalam tubuh Dinasti Umayyah.
Bagaimanapun, cara merebut kekuasaan yang dilakukan oleh Yazid III tidak pernah dilakukan oleh leluhurnya. Sekeras apapun gesekan yang terjadi antara anggota keluarga Umayyah dalam bersaing menduduki kursi Khalifah, mereka tidak pernah merebutnya dengan brutal sebagaimana yang dilakukan oleh Yazid III.
Sulaiman bin Hisyam, yang sebelumnya dihukum oleh Walid II, pada era Yazid bin Walid dibebaskan. Tapi melihat Yadiz III berada di puncak kekuasaan, iapun merasa berak atas jabatan itu. Ia sempat berencana melakuan pemberontakan, namun hal tersebut dapat dicegah oleh Yazid III, dan Sulaiman pun akhirnya bersedia membaiat Yazid III.
Dari negeri Hims juga muncul rencana perebutan kekuasaan. Ketika mendengar terbunuhnya Khalifah Walid bin Yazid, para pendukungnya dari negeri Hims segera bergerak menuju Damaskus. Khalifah Yazid segera mengirimkan pasukan besar untuk menghalaunya. Pasukan Hims kalah dan sisa-sisa tentaranya kembali menyatakan baiat.
Salah satu anggota keluarga Umayyah yang sangat mencintai Walid II adalah Marwan bin Muhammad yang ketika itu menjabat gubernur di Asia Tengah. Ia datang bersama pasukannya ke Damaskus untuk membalas dendam kepada Yazid III. Namun Yazid III lagi-lagi berhasil membujuknya dalam sebuah negosiasi yang alot, serta membuatnya berbaiat pada Yazid III dan kembali tanpa terjadi pertempuran.
Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam" menyebutkan Marwan bin Muhammad diberi kekuasaan otonom yang mencakup wilayah Azarbaijan, Armenia dan Mosul.
Meski begitu Marwan bin Muhammad tetap memelihara api dalam sekam di dadanya. Ia secara seksama memantau perkembangan yang terjadi di Damaskus, dan secara tidak langsung menjadi oposisi pemerintahan Yazid III.
Tampaknya, fanatisme kesukuan benar-benar telah mewabahi pemerintahan Yazid III. Di samping usaha perebutan kekuasaan di atas, dari lembah Irak juga muncul gejolak. Namun gubernurnya berhasil meredam gejolak masyarakat. Penduduk Yamamah juga demikian. Mereka berusaha melakukan kudeta terhadap gubernurnya.
Gejolak di wilayah Khurasan justru lebih parah. Gubernur Nushair bin Sayyaf menolak keinginan Khalifah Yazid yang ingin mengalihkan jabatannya pada Panglima Manshur bin Jamhur. Konflik berdarah pun terjadi.