Begini Amalan-Amalan Saat Melaksanakan Iktikaf
Minggu, 24 April 2022 - 19:17 WIB
Iktikaf adalah aktivitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
Sedangkan untuk sahnya iktikaf diperlukan beberapa syarat, yaitu; 1) beragama Islam; 2) sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan; 3) Dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa; 4) niat hendak melakukan iktikaf; 5) tidak disyaratkan bagi orang yang puasa saja.
Terkait tidak disyaratkan bagi orang yang puasa saja disebut oleh Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi dalam kitab "Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf" yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Abu Ihsan al-Atsari menjadi "Iktikaf Menurut Sunnah yang Shahih" mengutip mazhab asy-Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri dan termasuk pendapat Sa’id bin al-Musayyib, Hasan al-Bashri, ‘Atha’, Thawuus, Abu Tsaur dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Mereka berpendapat bahwa puasa bukan syarat sahnya i’tikaf. Karena puasa dan i’tikaf dua ibadah yang terpisah.
Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma dan satu riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
Sedangkan mazhab Malik, Auza’i, Ats-Tsauri, al-Laitsi bin Sa’ad, az-Zuhri, satu riwayat dari Thawus, satu riwayat dari Ahmad dan Ishaq, mereka berpendapat tidak boleh melakukan i’tikaf kecuali orang yang berpuasa.
Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan dalam riwayat lain disebutkan ini adalah pendapat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Abu Hanifah menetapkan bahwa iktikaf hanya untuk orang yang bernazar saja.
Pentingnya syarat ini bahwa apabila kita pegang pendapat kedua berarti orang yang beriktikaf wajib berpuasa dan ini juga berarti bahwa iktikaf tidak boleh dilakukan pada malam hari atau beberapa saat di malam hari dan hanya boleh dilakukan pada siang hari atau beberapa saat pada siang hari.
Pendapat fuqaha’ tentang batas waktu itikaf, yakni satu hari penuh menurut pendapat yang paling sedikit. Jika kita tidak mengambil pendapat yang mensyaratkan puasa untuk iktikaf berarti boleh melakukan iktikaf kapan saja, baik di waktu malam maupun siang
Dalil I’tikaf
Dalil disyariatkannya I’tikaf terdapat dalam QS Al Baqarah ayat 187: “…maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [ QS al-Baqarah (2):187].
Selain itu, dalam hadis dikatakan “Bahwa Nabi SAW melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim].
Para ulama sepakat agar tidak keluar masjid saat melaksanakan i’tikaf. Boleh keluar masjid dengan beberapa alasan seperti yaitu; 1) karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i), seperti melaksanakan sholat Jum’at; 2) karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya; 3) karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.
Sementara itu, ada beberapa amalan (ibadah) yang dapat dilaksanakan oleh orang yang melaksanakan i’tikaf, yaitu; 1) melaksanakan sholat sunat, seperti sholat tahiyatul masjid, sholat lail dan lain-lain; 3) Membaca Al-Qur'an dan tadarus Al-Qur'an; 3) Berdzikir dan berdo’a; 4) membaca buku-buku agama.
Sedangkan untuk sahnya iktikaf diperlukan beberapa syarat, yaitu; 1) beragama Islam; 2) sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan; 3) Dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa; 4) niat hendak melakukan iktikaf; 5) tidak disyaratkan bagi orang yang puasa saja.
Terkait tidak disyaratkan bagi orang yang puasa saja disebut oleh Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi dalam kitab "Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf" yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Abu Ihsan al-Atsari menjadi "Iktikaf Menurut Sunnah yang Shahih" mengutip mazhab asy-Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri dan termasuk pendapat Sa’id bin al-Musayyib, Hasan al-Bashri, ‘Atha’, Thawuus, Abu Tsaur dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Mereka berpendapat bahwa puasa bukan syarat sahnya i’tikaf. Karena puasa dan i’tikaf dua ibadah yang terpisah.
Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma dan satu riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
Sedangkan mazhab Malik, Auza’i, Ats-Tsauri, al-Laitsi bin Sa’ad, az-Zuhri, satu riwayat dari Thawus, satu riwayat dari Ahmad dan Ishaq, mereka berpendapat tidak boleh melakukan i’tikaf kecuali orang yang berpuasa.
Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan dalam riwayat lain disebutkan ini adalah pendapat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Abu Hanifah menetapkan bahwa iktikaf hanya untuk orang yang bernazar saja.
Pentingnya syarat ini bahwa apabila kita pegang pendapat kedua berarti orang yang beriktikaf wajib berpuasa dan ini juga berarti bahwa iktikaf tidak boleh dilakukan pada malam hari atau beberapa saat di malam hari dan hanya boleh dilakukan pada siang hari atau beberapa saat pada siang hari.
Pendapat fuqaha’ tentang batas waktu itikaf, yakni satu hari penuh menurut pendapat yang paling sedikit. Jika kita tidak mengambil pendapat yang mensyaratkan puasa untuk iktikaf berarti boleh melakukan iktikaf kapan saja, baik di waktu malam maupun siang
Dalil I’tikaf
Dalil disyariatkannya I’tikaf terdapat dalam QS Al Baqarah ayat 187: “…maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [ QS al-Baqarah (2):187].
Selain itu, dalam hadis dikatakan “Bahwa Nabi SAW melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim].
Para ulama sepakat agar tidak keluar masjid saat melaksanakan i’tikaf. Boleh keluar masjid dengan beberapa alasan seperti yaitu; 1) karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i), seperti melaksanakan sholat Jum’at; 2) karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya; 3) karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.
Sementara itu, ada beberapa amalan (ibadah) yang dapat dilaksanakan oleh orang yang melaksanakan i’tikaf, yaitu; 1) melaksanakan sholat sunat, seperti sholat tahiyatul masjid, sholat lail dan lain-lain; 3) Membaca Al-Qur'an dan tadarus Al-Qur'an; 3) Berdzikir dan berdo’a; 4) membaca buku-buku agama.
(mhy)