Kisah Muhammad bin Waasi': Hiasan Para Ahli Fikih yang Selalu Ikut Berjihad
Jum'at, 29 April 2022 - 18:50 WIB
Ghanimah
Perang pun usai, Yazid bin Muhallab berkata kepada bendaharanya, “Sisihkan sebagian ghanimah itu untuk kita. Berikan sebagai imbalan jasa kepada yang berhak.” Bendahara bersama orang yang bersamanya berusaha menghitung namun tak mampu, lalu ghanimah itu dibagi atas dasar kerelaan…
Di antara ghanimah itu, ditemukan pula oleh kaum muslimin sebuah mahkota terbuat dari emas murni bertatahkan intan permata beraneka warna dalam ukiran yang indah dipandang mata. Yazid mengacungkan tinggi-tinggi agar semua bisa melihat, lalu berkata, “Adakah kalian melihat orang yang tak menginginkan benda ini?” Mereka berkata, “Semoga Allah memperbagus keadaan amir, siapa pula yang akan menolak barang itu?”
Yazid berkata, “Kalian akan melihat bahwa di antara ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa ada yang tidak menginginkan harta ini ataupun yang semacam dengan ini yang ada di atas bumi.” Kemudian beliau memanggil pembantunya dan berkata, “Carilah Muhammad bin Waasi’!”
Utusan itu mendapatkan syaikh tua itu berada di suatu tempat yang sunyi, sedang beristighfar, bersyukur dan berdo’a. Utusan itu berkata, “Amir Yazid memanggil Anda sekarang juga.” Beliau berdiri mengikuti utusan tersebut menghadap amir Yazid, beliau memberi salam lalu duduk di dekatnya. Amir menjawab salam dengan yang lebih baik, lalu mengambil mahkota tadi dan berkata:
“Wahai Abu Adillah, pasukan muslimin telah menemukan mahkota yang sangat berharga ini. Aku melihat andalah yang layak untuknya, sehingga kujadikan ia sebagai bagianmu dan orang-orang telah setuju.”
“Anda menjadikan ini sebagai bagianku wahai Amir?” tanya Muhammad bin Waasi.
“Benar, ini bagianmu,” ujar Yazid.
“Aku tidak memerlukannya. Semoga Allah membalas kebaikan Anda dan mereka,” balas Muhammad bin Waasi.
“Aku telah bersumpah bahwa engkaulah yang harus mengambil ini,” desak Yazid.
Dengan terpaksa Muhammad bin Waasi’ menerimanya dikarenakan sumpah amirnya. Setelah itu beliau mohon diri sambil membawa mahkota tersebut. Orang-orang yang tak mengenalnya berkata sinis, “Nyatanya dia bawa juga harta itu.”
Sementara Yazid memerintahkan seseorang untuk menguntit syaikh itu dengan diam-diam untuk melihat apa yang hendak dilakukannya terhadap benda itu, lalu memberitahukan kabar tentangnya. Maka pergilah seseorang mengikuti beliau tanpa sepengetahuannya.
Muhammad bin Waasi’ berjalan dengan menenteng harta tersebut di tangannya. Di tengah jalan beliau bertemu dengan seorang asing yang kusut masai dan compang-camping meminta kalau-kalau ada bantuan dari harta Allah. Syaikh itu segera menoleh ke kanan ke kiri dan ke belakang… dan setelah yakin tidak ada yang melihat, diberikannya mahkota itu kepada orang tersebut. Orang itu pergi dengan suka cita, seakan beban yang dipikulnya telah diangkat dari punggungnya.
Utusan Yazid bin Muhallab memegang tangannya dan mengajaknya menghadap amir untuk menceritakan kejadian itu. Mahkota itu kemudian diambil lagi oleh amir dan diganti dengan harta sebanyak yang dimintanya.
Yazid berkata kepada pasukannya, “Bukankah telah aku katakan kepada kalian bahwa di antara umat Muhammad senantiasa ada orang-orang yang tidak membutuhkan mahkota ini atau yang semisalnya?”
Izin Haji
Dengan tekun Muhammad bin Waasi’ berjihad melawan kaum musyrikin di bawah panji Yazid bin Muhallab sampai tiba musim haji. Setelah dekat waktunya, beliau minta izin kepada amir untuk melakukan ibadah rutin itu.
Yazid berkata, “Izinku ada di tangamu wahai Abu Abdillah, kapan saja Anda kehendaki. Dan aku sudah menyiapkan kebutuhan untukmu selama dalam perjalanan.”
Muhammad bin Waasi’ bertanya, “Apakah perbekalan itu Anda berikan kepada setiap prajurit yang hendak berpergian seperti kepergianku ini wahai amir?”
Perang pun usai, Yazid bin Muhallab berkata kepada bendaharanya, “Sisihkan sebagian ghanimah itu untuk kita. Berikan sebagai imbalan jasa kepada yang berhak.” Bendahara bersama orang yang bersamanya berusaha menghitung namun tak mampu, lalu ghanimah itu dibagi atas dasar kerelaan…
Di antara ghanimah itu, ditemukan pula oleh kaum muslimin sebuah mahkota terbuat dari emas murni bertatahkan intan permata beraneka warna dalam ukiran yang indah dipandang mata. Yazid mengacungkan tinggi-tinggi agar semua bisa melihat, lalu berkata, “Adakah kalian melihat orang yang tak menginginkan benda ini?” Mereka berkata, “Semoga Allah memperbagus keadaan amir, siapa pula yang akan menolak barang itu?”
Yazid berkata, “Kalian akan melihat bahwa di antara ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa ada yang tidak menginginkan harta ini ataupun yang semacam dengan ini yang ada di atas bumi.” Kemudian beliau memanggil pembantunya dan berkata, “Carilah Muhammad bin Waasi’!”
Utusan itu mendapatkan syaikh tua itu berada di suatu tempat yang sunyi, sedang beristighfar, bersyukur dan berdo’a. Utusan itu berkata, “Amir Yazid memanggil Anda sekarang juga.” Beliau berdiri mengikuti utusan tersebut menghadap amir Yazid, beliau memberi salam lalu duduk di dekatnya. Amir menjawab salam dengan yang lebih baik, lalu mengambil mahkota tadi dan berkata:
“Wahai Abu Adillah, pasukan muslimin telah menemukan mahkota yang sangat berharga ini. Aku melihat andalah yang layak untuknya, sehingga kujadikan ia sebagai bagianmu dan orang-orang telah setuju.”
“Anda menjadikan ini sebagai bagianku wahai Amir?” tanya Muhammad bin Waasi.
“Benar, ini bagianmu,” ujar Yazid.
“Aku tidak memerlukannya. Semoga Allah membalas kebaikan Anda dan mereka,” balas Muhammad bin Waasi.
“Aku telah bersumpah bahwa engkaulah yang harus mengambil ini,” desak Yazid.
Dengan terpaksa Muhammad bin Waasi’ menerimanya dikarenakan sumpah amirnya. Setelah itu beliau mohon diri sambil membawa mahkota tersebut. Orang-orang yang tak mengenalnya berkata sinis, “Nyatanya dia bawa juga harta itu.”
Sementara Yazid memerintahkan seseorang untuk menguntit syaikh itu dengan diam-diam untuk melihat apa yang hendak dilakukannya terhadap benda itu, lalu memberitahukan kabar tentangnya. Maka pergilah seseorang mengikuti beliau tanpa sepengetahuannya.
Muhammad bin Waasi’ berjalan dengan menenteng harta tersebut di tangannya. Di tengah jalan beliau bertemu dengan seorang asing yang kusut masai dan compang-camping meminta kalau-kalau ada bantuan dari harta Allah. Syaikh itu segera menoleh ke kanan ke kiri dan ke belakang… dan setelah yakin tidak ada yang melihat, diberikannya mahkota itu kepada orang tersebut. Orang itu pergi dengan suka cita, seakan beban yang dipikulnya telah diangkat dari punggungnya.
Utusan Yazid bin Muhallab memegang tangannya dan mengajaknya menghadap amir untuk menceritakan kejadian itu. Mahkota itu kemudian diambil lagi oleh amir dan diganti dengan harta sebanyak yang dimintanya.
Yazid berkata kepada pasukannya, “Bukankah telah aku katakan kepada kalian bahwa di antara umat Muhammad senantiasa ada orang-orang yang tidak membutuhkan mahkota ini atau yang semisalnya?”
Izin Haji
Dengan tekun Muhammad bin Waasi’ berjihad melawan kaum musyrikin di bawah panji Yazid bin Muhallab sampai tiba musim haji. Setelah dekat waktunya, beliau minta izin kepada amir untuk melakukan ibadah rutin itu.
Yazid berkata, “Izinku ada di tangamu wahai Abu Abdillah, kapan saja Anda kehendaki. Dan aku sudah menyiapkan kebutuhan untukmu selama dalam perjalanan.”
Muhammad bin Waasi’ bertanya, “Apakah perbekalan itu Anda berikan kepada setiap prajurit yang hendak berpergian seperti kepergianku ini wahai amir?”