Sayyidah Rabiah al-Adawiyah: Istighfar Kita Butuh Istighfar Lagi
Minggu, 08 Mei 2022 - 11:53 WIB
Taubat atau tobat tidak sekadar mengucapkan dengan lidah, seperti dipahami oleh kalangan awam. Ketika salah seorang dari mereka datang kepada seorang tokoh agama ia berkata kepadanya: "Pak kiyai, berilah tobat kepada saya".
Kiyai itu akan menjawab: "Ikutilah perkataanku ini! Aku taubat kepada Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyesali dosa yang telah aku lakukan, dan aku berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi selamanya, serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain agama Islam".
Dan ketika ia telah mengikuti ucapan kiyai itu dan pulang, ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan taubat.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah" mengatakan ini adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus: kebodohan orang awam itu, serta sang kiyai juga. Karena taubat bukan sekadar ucapan dengan lidah saja, karena jika taubat hanya sekadar berbuat seperti itu, alangkah mudahnya taubat itu.
"Taubat adalah perkara yang lebih besar dari itu, dan juga lebih dalam dan lebih sulit. Ungkapan lisan itu dituntut setelah ia mewujudkannya dalam tindakannya. Untuk kemudian ia mengakui dosanya dan meminta ampunan kepada Allah SWT," ujarnya.
Sedangkan sekadar istighfar atau mengungkapkan taubat dengan lisan --tanpa janji dalam hati-- itu adalah taubat para pendusta, seperti dikatakan oleh Dzun Nun al Mishri.
Itulah yang dikatakan oleh Sayyidah Rabi'ah al 'Adawiyah : "Istighfar kita membutuhkan istighfar lagi!" Hingga sebagian mereka ada yang berkata: "Aku beristighfar kepada Allah SWT dari ucapanku: 'aku beristighfar kepada Allah SWT'". Atau taubat yang hanya dengan lisan, tidak disertai dengan penyesalan dalam hati!
Sementara hakikat taubat adalah perbuatan akal, hati dan tubuh sekaligus. Dimulai dengan perbuatan akal, diikuti oleh perbuatan hati, dan menghasilkan perbuatan tubuh. Oleh karena itu, al Hasan berkata: "Ia adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan lisan, meninggalkan perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji untuk tidak akan mengerjakan perbuatan dosa itu lagi."
Ilmu, Hal, dan Amal
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya " Ihya Ulumuddin " adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal, dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal.
"Yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya," tulis Imam Al-Ghazali. "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa , dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi."
"Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu," lanjutnya.
Menurut Imam Al-Ghazali, perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang.
Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Menurut Imam Al-Ghazali, dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. "Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan," jelasnya.
Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai.
Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.
Kiyai itu akan menjawab: "Ikutilah perkataanku ini! Aku taubat kepada Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyesali dosa yang telah aku lakukan, dan aku berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi selamanya, serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain agama Islam".
Dan ketika ia telah mengikuti ucapan kiyai itu dan pulang, ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan taubat.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah" mengatakan ini adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus: kebodohan orang awam itu, serta sang kiyai juga. Karena taubat bukan sekadar ucapan dengan lidah saja, karena jika taubat hanya sekadar berbuat seperti itu, alangkah mudahnya taubat itu.
"Taubat adalah perkara yang lebih besar dari itu, dan juga lebih dalam dan lebih sulit. Ungkapan lisan itu dituntut setelah ia mewujudkannya dalam tindakannya. Untuk kemudian ia mengakui dosanya dan meminta ampunan kepada Allah SWT," ujarnya.
Sedangkan sekadar istighfar atau mengungkapkan taubat dengan lisan --tanpa janji dalam hati-- itu adalah taubat para pendusta, seperti dikatakan oleh Dzun Nun al Mishri.
Itulah yang dikatakan oleh Sayyidah Rabi'ah al 'Adawiyah : "Istighfar kita membutuhkan istighfar lagi!" Hingga sebagian mereka ada yang berkata: "Aku beristighfar kepada Allah SWT dari ucapanku: 'aku beristighfar kepada Allah SWT'". Atau taubat yang hanya dengan lisan, tidak disertai dengan penyesalan dalam hati!
Sementara hakikat taubat adalah perbuatan akal, hati dan tubuh sekaligus. Dimulai dengan perbuatan akal, diikuti oleh perbuatan hati, dan menghasilkan perbuatan tubuh. Oleh karena itu, al Hasan berkata: "Ia adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan lisan, meninggalkan perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji untuk tidak akan mengerjakan perbuatan dosa itu lagi."
Baca Juga
Ilmu, Hal, dan Amal
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya " Ihya Ulumuddin " adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal, dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal.
"Yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya," tulis Imam Al-Ghazali. "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa , dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi."
"Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu," lanjutnya.
Menurut Imam Al-Ghazali, perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang.
Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Menurut Imam Al-Ghazali, dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. "Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan," jelasnya.
Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai.
Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.
Baca Juga