Masa Kecil yang Pilu dan Tanda-Tanda Kenabian Saat Usia 12 Tahun
Kamis, 25 Juni 2020 - 04:57 WIB
Oleh karena itu maka Keluarga Umayah yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.
Pengasuhan Sayyidina Muhammad di pegang oleh Abu Thalib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, menurut Haekal, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan).
Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abdul-Muthalib menyerahkan asuhan Sayyidina Muhammad kemudian kepada Abu Thalib.
( )
Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul-Muthalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri.
Budi pekerti Sayyidina Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.
Tanda-Tanda Kenabian
Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Sayyidina Muhammad baru duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa keponakannya itu.
Akan tetapi sang keponakan yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu. Hal itu juga yang menghilangkan sikap ragu-ragu dalam hati Abu Thalib.
Sayyidina Muhammad turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira ada juga yang menyebut Buhaira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen.
Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam kitab Adab Bizantium disebutkan, Buhaira adalah seorang rahib yang menganut aliran Airus Nasthuri, dan ia mengingkari Lahut al-Masih (Ketuhanan al-Masih) dan menyatakan bahwa penamaannya dengan sebutan tuhan tidak diperbolehkan.
Menurut sejumlah peneliti, pertemuan antara Abu Thalib dan Muhammad dengan rahib atau pendeta Buhaira itu terjadi di dalam kuil pendeta Buhaira yang ada di Busra. Di tempat ini, terdapat sebuah tempat ibadah (gereja) yang diyakini banyak orang sebagai gereja Buhaira. Tempat tersebut berada di dekat kawasan Roman Theatre, yang dibangun pada masa pemerintah Romawi (Rum), oleh kaisar Julianus pada tahun 513-512 sebelum Masehi (SM).
Hanafi al-Mahlawi dalam bukunya Al-Amakin Al-Masyhurah Fi hayati Muhammad SAW (Harum Semerbak Tempat-tempat yang Dikunjungi Rasulullah SAW), menjelaskan, Rasul SAW pernah dua kali mengunjungi Syam, pertama saat bertemu dengan pendeta Buhaira, dan kedua ketika mengabarkan kemenangan Islam kepada penduduk setempat, sekitar tahun kelima kenabian.
Dalam Sirah Nabawiyah karya Ibn Ishaq diceritakan, Abu Thalib pergi menuju Syam dalam rangka berdagang, dan tatkala telah siap melakukan perjalanan, tiba-tiba ia merasa rindu dengan keponakannya dan ia ingin membawanya ke Syam.
Abu Thalib pun berkata, ''Sungguh aku ingin sekali mengajaknya pergi, ia tidak boleh terpisah dariku, dan aku tidak akan pernah meninggalkannya.'' Lalu mereka pergi bersama. Dan tatkala sampai di Bushra, mereka bertemu dengan seorang rahib Nasrani yang sedang berada di kuilnya, ia bernama Buhairi (tapi dalam kitab lain disebutkan bahwa namanya adalah Buhaira).
Ka'bah: Kisah Nazar Abdul Muthalib Menyembelih Anaknya
Sebelumnya, para kafilah dagang kerap bertemu dengannya, namun ia tidak pernah berkata sesuatu yang spesial kepada mereka. Akan tetapi, pada tahun itu, tatkala kafilah Abu Thalib berhenti di dekat kuilnya, sang rahib segera membuatkan banyak makanan untuk mereka. Hal ini dikarenakan ada sesuatu yang ia terawang (lihat) dari dalam kuilnya. Mereka mengatakan, bahwa ia melihat utusan Allah sedang berada diatas tunggangan dan terdapat awan yang terus menaunginya dari panas matahari, padahal ia berada di antara banyak orang.
Pengasuhan Sayyidina Muhammad di pegang oleh Abu Thalib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, menurut Haekal, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan).
Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abdul-Muthalib menyerahkan asuhan Sayyidina Muhammad kemudian kepada Abu Thalib.
( )
Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul-Muthalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri.
Budi pekerti Sayyidina Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.
Tanda-Tanda Kenabian
Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Sayyidina Muhammad baru duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa keponakannya itu.
Akan tetapi sang keponakan yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu. Hal itu juga yang menghilangkan sikap ragu-ragu dalam hati Abu Thalib.
Sayyidina Muhammad turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira ada juga yang menyebut Buhaira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen.
Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam kitab Adab Bizantium disebutkan, Buhaira adalah seorang rahib yang menganut aliran Airus Nasthuri, dan ia mengingkari Lahut al-Masih (Ketuhanan al-Masih) dan menyatakan bahwa penamaannya dengan sebutan tuhan tidak diperbolehkan.
Menurut sejumlah peneliti, pertemuan antara Abu Thalib dan Muhammad dengan rahib atau pendeta Buhaira itu terjadi di dalam kuil pendeta Buhaira yang ada di Busra. Di tempat ini, terdapat sebuah tempat ibadah (gereja) yang diyakini banyak orang sebagai gereja Buhaira. Tempat tersebut berada di dekat kawasan Roman Theatre, yang dibangun pada masa pemerintah Romawi (Rum), oleh kaisar Julianus pada tahun 513-512 sebelum Masehi (SM).
Hanafi al-Mahlawi dalam bukunya Al-Amakin Al-Masyhurah Fi hayati Muhammad SAW (Harum Semerbak Tempat-tempat yang Dikunjungi Rasulullah SAW), menjelaskan, Rasul SAW pernah dua kali mengunjungi Syam, pertama saat bertemu dengan pendeta Buhaira, dan kedua ketika mengabarkan kemenangan Islam kepada penduduk setempat, sekitar tahun kelima kenabian.
Dalam Sirah Nabawiyah karya Ibn Ishaq diceritakan, Abu Thalib pergi menuju Syam dalam rangka berdagang, dan tatkala telah siap melakukan perjalanan, tiba-tiba ia merasa rindu dengan keponakannya dan ia ingin membawanya ke Syam.
Abu Thalib pun berkata, ''Sungguh aku ingin sekali mengajaknya pergi, ia tidak boleh terpisah dariku, dan aku tidak akan pernah meninggalkannya.'' Lalu mereka pergi bersama. Dan tatkala sampai di Bushra, mereka bertemu dengan seorang rahib Nasrani yang sedang berada di kuilnya, ia bernama Buhairi (tapi dalam kitab lain disebutkan bahwa namanya adalah Buhaira).
Ka'bah: Kisah Nazar Abdul Muthalib Menyembelih Anaknya
Sebelumnya, para kafilah dagang kerap bertemu dengannya, namun ia tidak pernah berkata sesuatu yang spesial kepada mereka. Akan tetapi, pada tahun itu, tatkala kafilah Abu Thalib berhenti di dekat kuilnya, sang rahib segera membuatkan banyak makanan untuk mereka. Hal ini dikarenakan ada sesuatu yang ia terawang (lihat) dari dalam kuilnya. Mereka mengatakan, bahwa ia melihat utusan Allah sedang berada diatas tunggangan dan terdapat awan yang terus menaunginya dari panas matahari, padahal ia berada di antara banyak orang.