Sudah Mabrurkah Haji Anda? Melihat Kembali Jejak Kita di Muzdalifah Sampai saat Melempar Jumrah
Kamis, 14 Juli 2022 - 12:18 WIB
Suatu ketika Imam Junaid al-Baghdadi mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meski ritual haji telah ia jalani, orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa dalam hidupnya. Beliau pun banyak bertanya kepada lelaki itu. Salah satunya jejaknya di Muzdalifah dan Mina.
“Ketika engkau pergi ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua hawa nafsumu?” tanya Imam Junaid al-Baghdadi.
“Tidak!” jawab orang itu.
“Berarti engkau tidak pernah ke Muzdalifah,” ujar Imam Junaid.
Imam Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama besar yang semasa hidupnya bermukim di Baghdad. Nama lengkapnya Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandi Al-Baghdadi As-Syafi'i.
Beliau lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Syafi'i , dan akhirnya menjadi qadi kepala di Baghdad. Beliau mempelajari ilmu fiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i.
Saat di Muzdalifah, Imam Junaid menasihati, redamlah semua hawa nafsumu. Akuilah segala kesalahan dan mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian mengumpulkan senjata untuk menghadapi musuh utama manusia yaitu setan.
“Saat engkau datang ke Mina, apakah semua keinginanmu sirna?” tanya Imam Junaid al-Baghdadi lagi.
Dan laki-laki itu menjawab: “Tidak.”
"Berarti engkau belum pernah mengunjungi Mina,” lagi-lagi Imam al-Baghdadi menjelaskan.
Imam pun menasihati, saat di Mina lemparkan semua pikiran-pikiran kotor yang menyertai, segala nafsu badani, dan semua perbuatan tercela.
Cita-Cita
Mina dalam bahasa Arab berarti cita-cita. Artinya, untuk menggapai cita-cita luhur dan derajat yang tinggi di sisi-Nya, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya agar tunduk dan patuh hanya kepada Allah.
“Kemudian ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?” tanya Imam Junaid lagi.
“Tidak!” lelaki itu menjawab yang sama.
“Berarti engkau belum melempar jumrah,” ujar Imam Junaid.
Lalu beliau menasihati, lemparkan semua pikiran-pikiran kotor dan segala nafsu badani, kerendahan dan kekejian dan perbuatan tercela lainnya. Melempar jumrah merupakan lambang perlawanan manusia melawan terhadap penindasan dan kebiadaban.
Di Mina manusia harus dapat membebaskan dirinya dari setiap perbudakan, membuang ketamakan, dan mengalahkan sifat kebinatangan. Ali Syariati dalam bukunya berjudul "Haji" menyebut ada tiga berhala yang harus dilawannya, yaitu: berhala yang ada di Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah.
Ia menjelaskan ketiga berhala itu melambangkan kekuatan-kekuatan setan yang setiap saat dapat menyerangnya. Adapun berhala yang pertama yang harus diserang adalah Fir’aun yang melambangkan (penindasan), Qarun (Kroesus) adalah lambang (kapitalisme) dan Bal’am adalah lambang (kemunafikan).
“Ketika engkau pergi ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua hawa nafsumu?” tanya Imam Junaid al-Baghdadi.
“Tidak!” jawab orang itu.
“Berarti engkau tidak pernah ke Muzdalifah,” ujar Imam Junaid.
Imam Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama besar yang semasa hidupnya bermukim di Baghdad. Nama lengkapnya Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandi Al-Baghdadi As-Syafi'i.
Beliau lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Syafi'i , dan akhirnya menjadi qadi kepala di Baghdad. Beliau mempelajari ilmu fiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i.
Saat di Muzdalifah, Imam Junaid menasihati, redamlah semua hawa nafsumu. Akuilah segala kesalahan dan mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian mengumpulkan senjata untuk menghadapi musuh utama manusia yaitu setan.
“Saat engkau datang ke Mina, apakah semua keinginanmu sirna?” tanya Imam Junaid al-Baghdadi lagi.
Dan laki-laki itu menjawab: “Tidak.”
"Berarti engkau belum pernah mengunjungi Mina,” lagi-lagi Imam al-Baghdadi menjelaskan.
Imam pun menasihati, saat di Mina lemparkan semua pikiran-pikiran kotor yang menyertai, segala nafsu badani, dan semua perbuatan tercela.
Cita-Cita
Mina dalam bahasa Arab berarti cita-cita. Artinya, untuk menggapai cita-cita luhur dan derajat yang tinggi di sisi-Nya, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya agar tunduk dan patuh hanya kepada Allah.
“Kemudian ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?” tanya Imam Junaid lagi.
“Tidak!” lelaki itu menjawab yang sama.
“Berarti engkau belum melempar jumrah,” ujar Imam Junaid.
Lalu beliau menasihati, lemparkan semua pikiran-pikiran kotor dan segala nafsu badani, kerendahan dan kekejian dan perbuatan tercela lainnya. Melempar jumrah merupakan lambang perlawanan manusia melawan terhadap penindasan dan kebiadaban.
Di Mina manusia harus dapat membebaskan dirinya dari setiap perbudakan, membuang ketamakan, dan mengalahkan sifat kebinatangan. Ali Syariati dalam bukunya berjudul "Haji" menyebut ada tiga berhala yang harus dilawannya, yaitu: berhala yang ada di Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah.
Ia menjelaskan ketiga berhala itu melambangkan kekuatan-kekuatan setan yang setiap saat dapat menyerangnya. Adapun berhala yang pertama yang harus diserang adalah Fir’aun yang melambangkan (penindasan), Qarun (Kroesus) adalah lambang (kapitalisme) dan Bal’am adalah lambang (kemunafikan).
(mhy)