Puasa Asyura dan Sholat Menghadap Baitul Maqdis untuk Tarik Simpati Kaum Yahudi?
Kamis, 28 Juli 2022 - 16:46 WIB
Mereka berkata, “Wahai Muhammad, apa yang membuatmu beralih dari kiblat yang dahulu, padahal kamu mengklaim mengikuti agama Ibrahim? Kembalilah ke kiblatmu yang dahulu, maka kami akan mengikuti dan membenarkanmu!"
Demikianlah, kata Muhammad bin Fariz, perdebatan antara Nabi Muhammad dan orang-orang Yahudi terus berlangsung dalam persoalan akidah dan ibadah. Perdebatan ini mencapai puncaknya ketika posisi kaum muslimin mulai unggul, setelah berakhirnya Perang Badar. Yang mengherankan, beberapa orientalis memahami politik lunak yang diterapkan Rasulullah terhadap kaum Yahudi di awal era Madinah, juga beberapa syariat Yahudi yang belum dihapus oleh Islam, seperti menghadap ke arah Baitul Magdis di dalam sholat, sebagai peniruan terhadap ritual Yahudi dan, kadang, sebagai konsesi dari pihak muslimin dengan harapan menarik simpati, kepercayaan, dan kerelaan pihak lain atas ajaran beliau.
Brockelmann menyatakan bahwa setibanya di Madinah, Rasulullah berusaha merekrut orang-orang Yahudi agar masuk Islam. Ini dilakukan dengan mengadaptasi ritual-ritual muslimin agar dalam beberapa segi sesuai dengan ritual-ritual mereka.
Menurut Montgomery Watt, Muhammad hendak membentuk Islam seperti agama paling tua di dunia maksudnya, Yahudi—setelah pindah ke Madinah. Maka muncullah sholat menghadap Yerusalem (Baitul Maqdis), puasa Asyura' yang merupakan hari raya penebusan Yahudi, dan lain sebagainya.
Bahkan menjelang Hijrah, Nabi sudah cenderung berniat demikian. Sampai-sampai, sholat Zuhur yang disyariatkan di Madinah merupakan penyesuaian terhadap tradisi Yahudi, karena kaum muslimin saat di Mekkah hanya mengenal sholat Shubuh dan Maghrib. Sungguh aneh jika kemudian datang perintah al-Quran yang menegaskan kewajiban alshalah al-wushtha (shalat tengah) tersebut.”
Perintah itu adalah ayat, “Peliharalah semua sholat dan sholat wustha. Dan laksanakanlah (sholat) karena Allah dengan khusyuk” (QS al-Bagarah (2): 238). Di sini patut disebutkan bahwa banyak mufasir berpandangan, yang dimaksud al-shalah al-wushtha adalah sholat Shubuh atau sholat Ashar. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.” Sedangkan sholat Zuhur sama sekali tidak disinggung. "Lalu, dari mana Montgomery sampai pada pemahaman di atas?" ujar Muhammad bin Fariz.
Sebenarnya, menurut Muhammad bin Fariz, pandangan para orientalis muncul karena mereka memandang Rasulullah sebagai manusia biasa yang segala perilakunya muncul secara spontan dan sejalan dengan ambisi pribadinya. Mereka tidak mempercayai Muhammad sebagai seorang rasul, utusan Tuhan, yang menerima wahyu dari langit.
Berdasarkan konsepsi ini, mereka tidak bisa memahami ajakan beliau kepada agama langit yang baru, yang akan mengumpulkan seluruh manusia di bawah panji-panjinya, termasuk orang-orang Kristen dan Yahudi.
Pemahaman mereka tidak sampai, bahwa kemiripan beberapa ritual dalam ketiga agama ini adalah karena semuanya berasal dari sumber yang sama. Selain itu, hanya Islam yang mengakui risalah-risalah langit sebelumnya.
Demikianlah, kata Muhammad bin Fariz, perdebatan antara Nabi Muhammad dan orang-orang Yahudi terus berlangsung dalam persoalan akidah dan ibadah. Perdebatan ini mencapai puncaknya ketika posisi kaum muslimin mulai unggul, setelah berakhirnya Perang Badar. Yang mengherankan, beberapa orientalis memahami politik lunak yang diterapkan Rasulullah terhadap kaum Yahudi di awal era Madinah, juga beberapa syariat Yahudi yang belum dihapus oleh Islam, seperti menghadap ke arah Baitul Magdis di dalam sholat, sebagai peniruan terhadap ritual Yahudi dan, kadang, sebagai konsesi dari pihak muslimin dengan harapan menarik simpati, kepercayaan, dan kerelaan pihak lain atas ajaran beliau.
Brockelmann menyatakan bahwa setibanya di Madinah, Rasulullah berusaha merekrut orang-orang Yahudi agar masuk Islam. Ini dilakukan dengan mengadaptasi ritual-ritual muslimin agar dalam beberapa segi sesuai dengan ritual-ritual mereka.
Menurut Montgomery Watt, Muhammad hendak membentuk Islam seperti agama paling tua di dunia maksudnya, Yahudi—setelah pindah ke Madinah. Maka muncullah sholat menghadap Yerusalem (Baitul Maqdis), puasa Asyura' yang merupakan hari raya penebusan Yahudi, dan lain sebagainya.
Bahkan menjelang Hijrah, Nabi sudah cenderung berniat demikian. Sampai-sampai, sholat Zuhur yang disyariatkan di Madinah merupakan penyesuaian terhadap tradisi Yahudi, karena kaum muslimin saat di Mekkah hanya mengenal sholat Shubuh dan Maghrib. Sungguh aneh jika kemudian datang perintah al-Quran yang menegaskan kewajiban alshalah al-wushtha (shalat tengah) tersebut.”
Perintah itu adalah ayat, “Peliharalah semua sholat dan sholat wustha. Dan laksanakanlah (sholat) karena Allah dengan khusyuk” (QS al-Bagarah (2): 238). Di sini patut disebutkan bahwa banyak mufasir berpandangan, yang dimaksud al-shalah al-wushtha adalah sholat Shubuh atau sholat Ashar. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.” Sedangkan sholat Zuhur sama sekali tidak disinggung. "Lalu, dari mana Montgomery sampai pada pemahaman di atas?" ujar Muhammad bin Fariz.
Sebenarnya, menurut Muhammad bin Fariz, pandangan para orientalis muncul karena mereka memandang Rasulullah sebagai manusia biasa yang segala perilakunya muncul secara spontan dan sejalan dengan ambisi pribadinya. Mereka tidak mempercayai Muhammad sebagai seorang rasul, utusan Tuhan, yang menerima wahyu dari langit.
Berdasarkan konsepsi ini, mereka tidak bisa memahami ajakan beliau kepada agama langit yang baru, yang akan mengumpulkan seluruh manusia di bawah panji-panjinya, termasuk orang-orang Kristen dan Yahudi.
Pemahaman mereka tidak sampai, bahwa kemiripan beberapa ritual dalam ketiga agama ini adalah karena semuanya berasal dari sumber yang sama. Selain itu, hanya Islam yang mengakui risalah-risalah langit sebelumnya.
(mhy)
Lihat Juga :