Kota Madinah sebagai Tanah Haram Termaktub di Piagam Madinah
Senin, 08 Agustus 2022 - 17:55 WIB
Selanjutnya pasal 42 menyatakan, “Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara para pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya, ia harus diserahkan kepada Allah dan Muhammad Rasulullah.”
Signifikansi pasal ini terlihat dalam pengakuan orang-orang Yahudi, sebagai salah satu pihak di dalam Piagam, terhadap kekuasaan Nabi. Juga pengakuan bahwa perselisihan apa pun yang terjadi antara mereka dan kaum muslimin harus diserahkan kepada keputusan Rasulullah. Melalui pasal ini, secara implisit kaum Yahudi mengakui kenabian Muhammad.
Al-Ali sebagaimana dikutip Muhammad bin Fariz al-Jamil, menulis, “Dengan pasal ini, Rasulullah menciptakan kekuasaan yudikatif umum yang berlaku untuk semua pihak. Kekuasaan ini tak lain sentralisme yang merujuk kepada Allah dan sang Rasul, sehingga ia memiliki corak sakral. Ia juga memiliki kekuasaan eksekutif karena perintah Allah wajib dipatuhi dan harus dilaksanakan, sementara perintah Rasul sejatinya berasal dari Allah maka sama-sama wajib dipatuhi.”
Pasal 43 mengecualikan kabilah Quraisy dan orang-orang yang membantu mereka dari hak perlindungan. “Sesungguhnya tidak ada perlindungan bagi Quraisy maupun bagi pendukung mereka,” begitu bunyinya.
Politik Madinah terhadap Quraisy dan para sekutunya ini ditentukan demikian karena permusuhan yang sedang memanas antara kedua pihak saat itu. Pasal ini juga memutus jalan bagi terwujudnya aliansi apa pun yang mungkin dijalin antara Quraisy dan Yahudi. Akibatnya, Quraisy kehilangan sekutu potensial di Yatsrib yang bisa mereka mintai bantuan dalam menghadapi negara Islam yang baru tumbuh di Madinah.
Setelah mendiskusikan beberapa pasal Piagam Madinah yang berkaitan dengan orang-orang Yahudi itu, barangkali ada yang bertanya: Lalu, signifikansi apa yang dapat diperlihatkan dari hasil diskusi pasalpasal itu?
Muhammad bin Fariz al-Jamil mejelaskan kita bisa menjawabnya sebagai berikut: Signifikansinya berupa pengakuan terhadap kaum Yahudi sebagai suatu umat di samping umat Islam dalam masyarakat muslimin pengakuan terhadap kebebasan beragama mereka, pewajiban orang-orang Yahudi untuk turut mengeluarkan biaya bersama kaum muslimin dalam kondisi ada serangan dari luar terhadap Madinah, penetapan pembatasan gerakan orang-orang Yahudi di luar Madinah, kecuali dengan izin Rasulullah.
Selanjutnya, deklarasi keharaman Madinah dengan menetapkan wilayah geografis yang di dalamnya tidak boleh terjadi perang, penebangan pohon, dan gangguan terhadap binatang atau burung, serta pengakuan pihak Yahudi terhadap otoritas tertinggi Nabi dalam semua perselisihan yang terjadi antar peserta Piagam.
"Menurut hemat saya, semua pencapaian ini tidak mungkin diwujudkan sebelum pecahnya Perang Badar yang berujung dengan kemenangan pihak muslimin," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.
Kesimpulannya, Muhammad bin Fariz al-Jamil mengatakan, kaum muslimin merepresentasikan pihak yang kuat dalam kaitannya dengan klausul-klausul yang diterima oleh pihak Yahudi melalui Piagam Madinah ini.
Mereka tidak mungkin menerima menjadi subordinat negara Islam atau mengakui kekuasaan tertinggi Nabi Muhammad seandainya kaum muslimin tidak mendapatkan kemenangan telak di Badar. Juga seandainya kaum muslimin di Madinah—khususnya orang orang Anshar—dari kabilah Aus dan Khazraj tidak memberikan mandat mutlak kepada Rasulullah melalui dokumen yang ditulis antara Muhajirin dan Anshar, yang kemungkinan besar disepakati terlebih dahulu, niscaya beliau sulit meyakinkan orang-orang Yahudi untuk bergabung dalam perdamaian umum melalui Piagam Madinah.
Piagam Madinah: Dokumen Perjanjian Damai dengan Yahudi setelah Pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf
Signifikansi pasal ini terlihat dalam pengakuan orang-orang Yahudi, sebagai salah satu pihak di dalam Piagam, terhadap kekuasaan Nabi. Juga pengakuan bahwa perselisihan apa pun yang terjadi antara mereka dan kaum muslimin harus diserahkan kepada keputusan Rasulullah. Melalui pasal ini, secara implisit kaum Yahudi mengakui kenabian Muhammad.
Al-Ali sebagaimana dikutip Muhammad bin Fariz al-Jamil, menulis, “Dengan pasal ini, Rasulullah menciptakan kekuasaan yudikatif umum yang berlaku untuk semua pihak. Kekuasaan ini tak lain sentralisme yang merujuk kepada Allah dan sang Rasul, sehingga ia memiliki corak sakral. Ia juga memiliki kekuasaan eksekutif karena perintah Allah wajib dipatuhi dan harus dilaksanakan, sementara perintah Rasul sejatinya berasal dari Allah maka sama-sama wajib dipatuhi.”
Pasal 43 mengecualikan kabilah Quraisy dan orang-orang yang membantu mereka dari hak perlindungan. “Sesungguhnya tidak ada perlindungan bagi Quraisy maupun bagi pendukung mereka,” begitu bunyinya.
Politik Madinah terhadap Quraisy dan para sekutunya ini ditentukan demikian karena permusuhan yang sedang memanas antara kedua pihak saat itu. Pasal ini juga memutus jalan bagi terwujudnya aliansi apa pun yang mungkin dijalin antara Quraisy dan Yahudi. Akibatnya, Quraisy kehilangan sekutu potensial di Yatsrib yang bisa mereka mintai bantuan dalam menghadapi negara Islam yang baru tumbuh di Madinah.
Setelah mendiskusikan beberapa pasal Piagam Madinah yang berkaitan dengan orang-orang Yahudi itu, barangkali ada yang bertanya: Lalu, signifikansi apa yang dapat diperlihatkan dari hasil diskusi pasalpasal itu?
Muhammad bin Fariz al-Jamil mejelaskan kita bisa menjawabnya sebagai berikut: Signifikansinya berupa pengakuan terhadap kaum Yahudi sebagai suatu umat di samping umat Islam dalam masyarakat muslimin pengakuan terhadap kebebasan beragama mereka, pewajiban orang-orang Yahudi untuk turut mengeluarkan biaya bersama kaum muslimin dalam kondisi ada serangan dari luar terhadap Madinah, penetapan pembatasan gerakan orang-orang Yahudi di luar Madinah, kecuali dengan izin Rasulullah.
Baca Juga
Selanjutnya, deklarasi keharaman Madinah dengan menetapkan wilayah geografis yang di dalamnya tidak boleh terjadi perang, penebangan pohon, dan gangguan terhadap binatang atau burung, serta pengakuan pihak Yahudi terhadap otoritas tertinggi Nabi dalam semua perselisihan yang terjadi antar peserta Piagam.
"Menurut hemat saya, semua pencapaian ini tidak mungkin diwujudkan sebelum pecahnya Perang Badar yang berujung dengan kemenangan pihak muslimin," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.
Kesimpulannya, Muhammad bin Fariz al-Jamil mengatakan, kaum muslimin merepresentasikan pihak yang kuat dalam kaitannya dengan klausul-klausul yang diterima oleh pihak Yahudi melalui Piagam Madinah ini.
Mereka tidak mungkin menerima menjadi subordinat negara Islam atau mengakui kekuasaan tertinggi Nabi Muhammad seandainya kaum muslimin tidak mendapatkan kemenangan telak di Badar. Juga seandainya kaum muslimin di Madinah—khususnya orang orang Anshar—dari kabilah Aus dan Khazraj tidak memberikan mandat mutlak kepada Rasulullah melalui dokumen yang ditulis antara Muhajirin dan Anshar, yang kemungkinan besar disepakati terlebih dahulu, niscaya beliau sulit meyakinkan orang-orang Yahudi untuk bergabung dalam perdamaian umum melalui Piagam Madinah.
Piagam Madinah: Dokumen Perjanjian Damai dengan Yahudi setelah Pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf
(mhy)