Ini Mengapa Perjanjian Rasulullah SAW dengan Kaum Yahudi Dinamakan Piagam Madinah
loading...
A
A
A
Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" mengutip Ibnu Ishaq menuturkan bahwa ketika tiba ke Madinah , Rasulullah menulis sebuah dokumen untuk kaum Muhajirin dan Anshar berisi perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi .
"Isinya antara lain pengakuan atas agama dan harta benda mereka, yang disertai syarat-syarat dari dan untuk mereka dalam lingkup komunitas yang tinggal di satu kota," ujar Dosen Sejarah dan Peradaban Islam di Fakultas Adab Universitas al-Malik Saud Riyadh ini.
Sementara Ibnu Qayyim al-Jauziyah menuturkan bahwa saat Rasulullah tiba di Madinah, orang-orang kafir terpilah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang berdamai dengan Nabi dengan syarat tidak memeranginya serta tidak membantu dan bersekutu dengan musuhnya, sehingga darah dan harta mereka dilindungi, yaitu orang-orang Yahudi.
Kedua, kelompok yang memerangi dan memusuhi Nabi. Dan ketiga, kelompok yang membiarkan Nabi, dalam arti tidak membuat perjanjian damai dan juga tidak memeranginya, sebab mereka menunggu perkembangan kondisi beliau dan para musuhnya.
Muhammad bin Fariz dalam buku yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah menganggap jelas sudah alasan Nabi Muhammad berdamai dengan kaum Yahudi Madinah.
"Beliau membuat dokumen perdamaian antara pihak muslimin dan pihak mereka. Saat itu terdapat tiga kelompok Yahudi di sekitar Madinah: Bani Qainuga, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah,” ujarnya.
Perjanjian antara Nabi Muhammad dan kaum Yahudi Madinah yang paling monumenal adalah Piagam Madinah. Lalu, mengapa disebut Piagam Madinah dan bukan Piagam Yatsrib?
"Dua nama ini sama-sama kuno," ujar Muhammad bin Fariz. Yatsrib, seperti diklaim salah satu sumber, adalah nama kuno yang berasal dari Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail bin Irm, salah satu cucu Nabi Nuh, karena dialah orang Arab pertama yang tinggal di sana.
Nama kedua, Madinah, juga kuno dan tampaknya berasal dari bahasa Aram, seperti dinyatakan beberapa peneliti. Nama ini berasal dari kata Aram “medinta” atau “medinto” yang sepadan dengan kata Arab “madinah” yang bermakna “kota”.
Menurut Muhammad bin Fariz, jelaslah bahwa tempat hijrah Rasulullah dikenal dengan dua nama sekaligus: Yatsrib dan Madinah. Dalam sebuah hadis mengenai negeri hijrahnya, Rasulullah bersabda, “Aku bermimpi melihat diriku hijrah dari Mekkah ke sebuah negeri yang ditumbuhi kurma. Aku mengira tempat itu Yamamah atau Hajar, namun ternyata ia adalah Yatsrib ....”
Ketika Rasul mulia memutuskan hijrah ke Madinah, beberapa sahabat mengadukan beratnya meninggalkan Mekkah dan ketidakmampuan mereka menanggung wabah penyakit yang kerap menjangkiti Madinah, maka beliau berdoa kepada Tuhan, “Ya Allah, buatlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Mekkah atau lebih dari itu ....”
Begitu pula, dalam perjalanan menuju Badar pada tahun 2 H, beliau mendoakan keberkahan bagi Madinah seraya menyebutkan kemuliaan kota itu. Beliau berkata, “... Aku berdoa kepada-Mu bagi penduduk Madinah, agar Engkau berkahi sha' dan mud mereka, juga buah-buahan mereka ....”'
Al-Qur'an satu kali menyebut “Yatsrib”, yaitu saat menceritakan perkataan orang-orang munafik dalam peristiwa Perang Ahzab, “Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, “Wahai penduduk Yatsrib! Tidak ada tempat bagimu ...” ( QS al-Ahzab (33) : 13). Sebaliknya, al-Quran berkali-kali menyebut “Madinah”, khususnya pada surah al-Munifiqun ayat 8, al-Ahzab ayat 60, serta at-Taubah ayat 101 dan 120.
Dari paparan di atas, kata Muhammad bin Fariz, jelaslah bahwa berbagai riwayat terdahulu dari Rasulullah maupun ayat-ayat dalam al-Quran lebih mengutamakan penggunaan nama “Madinah” daripada “Yatsrib”.
Jika kita kembali ke berbagai sumber biografi Nabi Muhammad dan memeriksa teks-teks terkait Piagam Madinah, kita akan mendapati bahwa riwayat paling awal yang mendokumentasikan piagam atau dokumen ini adalah riwayat Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 124 H) dalam laporan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) yang menyebut Yatsrib dua kali dan Madinah satu kali."
Kita juga mendapati teks riwayat az-Zuhri itu dalam laporan Humaid bin Zanjuwaih (w. 251 H) yang menyebut nama Madinah dan Yatsrib masing-masing dua kali.”
Jadi, ada perbedaan antara kedua riwayat ini terkait nama Madinah dan Yatsrib. Sementara itu, dalam riwayat Ibnu Ishag (w. 151 H) yang dinukil Ibnu Hisyam, nama Yatsrib disebut tiga kali dan Madinah disebut sekali.
Semua riwayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa kedua nama, Yatsrib dan Madinah, sama-sama termuat dalam Piagam. Walau begitu, penyebutan populer atas perjanjian damai ini adalah Shahifah al-Madinah (Piagam Madinah).
Ia tidak dihubungkan dengan Yatsrib, terutama karena kata ini identik dengan orang-orang munafik.” Di samping itu, Rasulullah melarang kota Hijrah ini disebut “Yatsrib”, melainkan direkomendasikan sebutan “Madinah”.
"Isinya antara lain pengakuan atas agama dan harta benda mereka, yang disertai syarat-syarat dari dan untuk mereka dalam lingkup komunitas yang tinggal di satu kota," ujar Dosen Sejarah dan Peradaban Islam di Fakultas Adab Universitas al-Malik Saud Riyadh ini.
Sementara Ibnu Qayyim al-Jauziyah menuturkan bahwa saat Rasulullah tiba di Madinah, orang-orang kafir terpilah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang berdamai dengan Nabi dengan syarat tidak memeranginya serta tidak membantu dan bersekutu dengan musuhnya, sehingga darah dan harta mereka dilindungi, yaitu orang-orang Yahudi.
Kedua, kelompok yang memerangi dan memusuhi Nabi. Dan ketiga, kelompok yang membiarkan Nabi, dalam arti tidak membuat perjanjian damai dan juga tidak memeranginya, sebab mereka menunggu perkembangan kondisi beliau dan para musuhnya.
Muhammad bin Fariz dalam buku yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah menganggap jelas sudah alasan Nabi Muhammad berdamai dengan kaum Yahudi Madinah.
"Beliau membuat dokumen perdamaian antara pihak muslimin dan pihak mereka. Saat itu terdapat tiga kelompok Yahudi di sekitar Madinah: Bani Qainuga, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah,” ujarnya.
Perjanjian antara Nabi Muhammad dan kaum Yahudi Madinah yang paling monumenal adalah Piagam Madinah. Lalu, mengapa disebut Piagam Madinah dan bukan Piagam Yatsrib?
"Dua nama ini sama-sama kuno," ujar Muhammad bin Fariz. Yatsrib, seperti diklaim salah satu sumber, adalah nama kuno yang berasal dari Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail bin Irm, salah satu cucu Nabi Nuh, karena dialah orang Arab pertama yang tinggal di sana.
Nama kedua, Madinah, juga kuno dan tampaknya berasal dari bahasa Aram, seperti dinyatakan beberapa peneliti. Nama ini berasal dari kata Aram “medinta” atau “medinto” yang sepadan dengan kata Arab “madinah” yang bermakna “kota”.
Menurut Muhammad bin Fariz, jelaslah bahwa tempat hijrah Rasulullah dikenal dengan dua nama sekaligus: Yatsrib dan Madinah. Dalam sebuah hadis mengenai negeri hijrahnya, Rasulullah bersabda, “Aku bermimpi melihat diriku hijrah dari Mekkah ke sebuah negeri yang ditumbuhi kurma. Aku mengira tempat itu Yamamah atau Hajar, namun ternyata ia adalah Yatsrib ....”
Ketika Rasul mulia memutuskan hijrah ke Madinah, beberapa sahabat mengadukan beratnya meninggalkan Mekkah dan ketidakmampuan mereka menanggung wabah penyakit yang kerap menjangkiti Madinah, maka beliau berdoa kepada Tuhan, “Ya Allah, buatlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Mekkah atau lebih dari itu ....”
Begitu pula, dalam perjalanan menuju Badar pada tahun 2 H, beliau mendoakan keberkahan bagi Madinah seraya menyebutkan kemuliaan kota itu. Beliau berkata, “... Aku berdoa kepada-Mu bagi penduduk Madinah, agar Engkau berkahi sha' dan mud mereka, juga buah-buahan mereka ....”'
Al-Qur'an satu kali menyebut “Yatsrib”, yaitu saat menceritakan perkataan orang-orang munafik dalam peristiwa Perang Ahzab, “Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, “Wahai penduduk Yatsrib! Tidak ada tempat bagimu ...” ( QS al-Ahzab (33) : 13). Sebaliknya, al-Quran berkali-kali menyebut “Madinah”, khususnya pada surah al-Munifiqun ayat 8, al-Ahzab ayat 60, serta at-Taubah ayat 101 dan 120.
Dari paparan di atas, kata Muhammad bin Fariz, jelaslah bahwa berbagai riwayat terdahulu dari Rasulullah maupun ayat-ayat dalam al-Quran lebih mengutamakan penggunaan nama “Madinah” daripada “Yatsrib”.
Jika kita kembali ke berbagai sumber biografi Nabi Muhammad dan memeriksa teks-teks terkait Piagam Madinah, kita akan mendapati bahwa riwayat paling awal yang mendokumentasikan piagam atau dokumen ini adalah riwayat Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 124 H) dalam laporan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) yang menyebut Yatsrib dua kali dan Madinah satu kali."
Kita juga mendapati teks riwayat az-Zuhri itu dalam laporan Humaid bin Zanjuwaih (w. 251 H) yang menyebut nama Madinah dan Yatsrib masing-masing dua kali.”
Jadi, ada perbedaan antara kedua riwayat ini terkait nama Madinah dan Yatsrib. Sementara itu, dalam riwayat Ibnu Ishag (w. 151 H) yang dinukil Ibnu Hisyam, nama Yatsrib disebut tiga kali dan Madinah disebut sekali.
Semua riwayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa kedua nama, Yatsrib dan Madinah, sama-sama termuat dalam Piagam. Walau begitu, penyebutan populer atas perjanjian damai ini adalah Shahifah al-Madinah (Piagam Madinah).
Ia tidak dihubungkan dengan Yatsrib, terutama karena kata ini identik dengan orang-orang munafik.” Di samping itu, Rasulullah melarang kota Hijrah ini disebut “Yatsrib”, melainkan direkomendasikan sebutan “Madinah”.
(mhy)