Kisah 3.000 Pasukan Muslim Gagah Berani Melawan 200.000 Prajurit Bizantium
Selasa, 16 Agustus 2022 - 15:31 WIB
Sungguh pun sudah begitu rupa Nabi menghibur orang-orang yang baru kembali dari Mu'tah itu, namun kaum Muslimin belum mau juga memaafkan mereka karena penarikan mundur dan mereka kembali itu; sampai-sampai Salamah bin Hisyam tidak mau ikut sholat bersama-sama dengan kaum muslimin yang lain. Mereka khawatir masih akan terdengar suara-suara orang bila melihatnya.
"Hei orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah."
Kalau tidak karena adanya tindakan-tindakan yang berarti dari mereka yang kembali dari Mu'tah itu, terutama tindakan Khalid sendiri, niscaya Mu'tah masih akan dianggap suatu cemar karena pelarian yang telah dicontengkan saudara-saudara seagama di kening mereka.
Kesedihan Nabi SAW
Begitu pedih perasaan duka itu menusuk hati Nabi Muhammad setelah diketahuinya Zaid dan Ja'far telah Syahid. Begitu sedih ia menanggung dukacita karena mereka itu.
Setelah Ja'far syahid, Rasulullah mendatangi ke rumahnya. Beliau menjumpai istri Jafar, Asma binti 'Umais yang pada waktu itu ia sudah membuat adonan roti, anak-anaknya sudah dimandikan, sudah diminyaki dan dibersihkan. "Bawa kemari anak-anak Ja'far itu," ujar Rasulullah SAW kepada Asma.
Setelah mereka dibawa, Rasulullah menciumi anak-anak itu dengan berlinangan airmata.
"Rasulullah," kata Asma' gelisah. "Demi ayah bundaku! Kenapa menangis, Rasulullah?! Ada hal-hal yang menimpa Ja'far dan kawan-kawannya barangkali?" tanyanya.
"Ya," jawab Rasulullah SAW. "Hari ini mereka syahid."
Berkata begitu airmata Rasulullah sudah makin tak dapat ditahan, deras berderai. Asma, juga lalu menangis keras-keras sehingga mengundang banyak perempuan mendatanginya.
Begitu Rasulullah pulang, beliau berkata kepada keluarganya: "Keluarga Ja'far jangan dilupakan. Buatkan makanan buat mereka. Mereka sekarang dalam kesusahan."
Tatkala dilihatnya puteri Zaid datang, dibelai-belainya bahunya sambil ia menangis. Ada sahabat-sahabat yang merasa terkejut melihat Rasul menangisi orang yang mati syahid itu.
Ada yang meriwayatkan bahwa jenazah Ja'far dibawa ke Madinah dan dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah Khalid dan pasukannya sampai. Sejak hari itu Rasulullah SAW menyuruh orang supaya jangan lagi menangis. Kedua tangan Ja'far yang terputus, oleh Tuhan telah diganti dengan sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga.
Beberapa pekan kemudian setelah Khalid bin Walid kembali, Nabi Muhammad bermaksud mengembalikan pula kewibawaan Muslimin di bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini ia menugaskan 'Amr bin al-'Ash supaya mengerahkan orang-orang Arab ke Syam.
Hanya saja, setelah Amr sampai di sebuah pangkalan air di daerah kabilah Judham yang disebut Silsil, mulai ia merasa khawatir. Segera ia mengirim kurir kepada Nabi SAW meminta bantuan. Dan Nabi pun segera mengirim Abu 'Ubaidah bin Jarrah dari kalangan Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Sebagai orang yang masih baru dalam Islam, Rasulullah khawatir 'Amr akan berselisih dengan Abu 'Ubaidah. Rasulullah pun berpesan kepada Abu 'Ubaidah agar tidak berselisih.
Apa yang diduga Rasulullah SAW benar adanya. Begitu Abu Ubaidah dan pasukan muslim yang dipimpinnya dari Madinah datang, Amr langsung menegaskan bahwa dirinya yang memimpin. "Engkau datang kemari sebagai pembantuku. Pimpinan tentara di tanganku," kata 'Amr kepada Abu 'Ubaidah.
"Hei orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah."
Kalau tidak karena adanya tindakan-tindakan yang berarti dari mereka yang kembali dari Mu'tah itu, terutama tindakan Khalid sendiri, niscaya Mu'tah masih akan dianggap suatu cemar karena pelarian yang telah dicontengkan saudara-saudara seagama di kening mereka.
Kesedihan Nabi SAW
Begitu pedih perasaan duka itu menusuk hati Nabi Muhammad setelah diketahuinya Zaid dan Ja'far telah Syahid. Begitu sedih ia menanggung dukacita karena mereka itu.
Setelah Ja'far syahid, Rasulullah mendatangi ke rumahnya. Beliau menjumpai istri Jafar, Asma binti 'Umais yang pada waktu itu ia sudah membuat adonan roti, anak-anaknya sudah dimandikan, sudah diminyaki dan dibersihkan. "Bawa kemari anak-anak Ja'far itu," ujar Rasulullah SAW kepada Asma.
Setelah mereka dibawa, Rasulullah menciumi anak-anak itu dengan berlinangan airmata.
"Rasulullah," kata Asma' gelisah. "Demi ayah bundaku! Kenapa menangis, Rasulullah?! Ada hal-hal yang menimpa Ja'far dan kawan-kawannya barangkali?" tanyanya.
"Ya," jawab Rasulullah SAW. "Hari ini mereka syahid."
Berkata begitu airmata Rasulullah sudah makin tak dapat ditahan, deras berderai. Asma, juga lalu menangis keras-keras sehingga mengundang banyak perempuan mendatanginya.
Begitu Rasulullah pulang, beliau berkata kepada keluarganya: "Keluarga Ja'far jangan dilupakan. Buatkan makanan buat mereka. Mereka sekarang dalam kesusahan."
Tatkala dilihatnya puteri Zaid datang, dibelai-belainya bahunya sambil ia menangis. Ada sahabat-sahabat yang merasa terkejut melihat Rasul menangisi orang yang mati syahid itu.
Ada yang meriwayatkan bahwa jenazah Ja'far dibawa ke Madinah dan dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah Khalid dan pasukannya sampai. Sejak hari itu Rasulullah SAW menyuruh orang supaya jangan lagi menangis. Kedua tangan Ja'far yang terputus, oleh Tuhan telah diganti dengan sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga.
Beberapa pekan kemudian setelah Khalid bin Walid kembali, Nabi Muhammad bermaksud mengembalikan pula kewibawaan Muslimin di bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini ia menugaskan 'Amr bin al-'Ash supaya mengerahkan orang-orang Arab ke Syam.
Baca Juga
Hanya saja, setelah Amr sampai di sebuah pangkalan air di daerah kabilah Judham yang disebut Silsil, mulai ia merasa khawatir. Segera ia mengirim kurir kepada Nabi SAW meminta bantuan. Dan Nabi pun segera mengirim Abu 'Ubaidah bin Jarrah dari kalangan Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Sebagai orang yang masih baru dalam Islam, Rasulullah khawatir 'Amr akan berselisih dengan Abu 'Ubaidah. Rasulullah pun berpesan kepada Abu 'Ubaidah agar tidak berselisih.
Apa yang diduga Rasulullah SAW benar adanya. Begitu Abu Ubaidah dan pasukan muslim yang dipimpinnya dari Madinah datang, Amr langsung menegaskan bahwa dirinya yang memimpin. "Engkau datang kemari sebagai pembantuku. Pimpinan tentara di tanganku," kata 'Amr kepada Abu 'Ubaidah.