Kisah Sayyidah Aisyah Kehilangan Kalung Malah Dituduh Selingkuh dengan Shafwan
Jum'at, 19 Agustus 2022 - 09:41 WIB
Kisah Sayyidah Aisyah ra kehilangan kalung berbuntut fitnah. Orang-orang munafik menebarkan kisah bohong atas diri istri Nabi Muhammad SAW itu. Beliau dituduh selingkuh dengan Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami. Riwayat itu juga berkaitan dengan sebab turunnya surah an-Nur ayat 11.
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab "Luqaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul" mengutip Sahih Bukhari dan Muslim meriwayatkan berdasarkan penuturan Sayyidah Aisyah sendiri atas kisah ini.
Menurut Aisyah, apabila Rasulullah hendak mengadakan perjalanan maka beliau biasanya mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar, maka dialah yang ikut bersama beliau.
"Dalam suatu peperangan, beliau mengundi kami. Karena nama saya yang keluar, saya pun ikut pergi bersama beliau. Peristiwa ini terjadi setelah turun wahyu yang mewajibkan hijab," tutur Aisyah.
"Di sepanjang perjalanan itu," lanjut Aisyah, "saya pun diangkut di atas tandu dan tetap tinggal di dalamnya."
Ketika Rasulullah selesai dari peperangan, maka kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami sudah dekat dengan Madinah.
Pada suatu malam beliau mengumumkan hendak melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengumumkan keberangkatan, saya sedang pergi untuk menyelesaikan hajat.
Setelah saya menyelesaikan hajat, saya pun hendak kembali ke tandu saya. Namun, saya menyadari, kalung saya yang buatan Azhfaar telah putus dan hilang. Maka saya pun kembali ke tempat semula (tempat buang hajat) untuk mencari benda itu.
Saya masih mencari kalung itu di sana, sedangkan orang-orang yang mengangkut tandu saya sudah datang. Mereka pun mengangkat tandu itu ke atas unta. Mereka mengira, saya berada di dalam tandu itu.
Memang, umumnya perempuan pada masa itu tubuhnya ringan. Mereka hanya makan sesuap (sehingga jarang berbobot tubuh berat). Oleh karena itu, para pengangkut tandu itu tidak merasa heran dengan ringannya tandu ketika mereka mengangkatnya.
Mereka tuntun unta dengan tandu tersebut lalu berangkat. Sementara itu, saya baru menemukan kalung saya setelah pasukan itu pergi.
Ketika saya tiba di tempat peristirahatan mereka tadi, tidak seorang pun kelihatan. Akhirnya, saya menuju tempat istirahat saya semula. Saya pikir, mereka akan menyadari, saya tidak bersama mereka sehingga mereka akan kembali untuk mencari saya. Ketika saya duduk di tempat saya, saya merasa mengantuk sehingga tertidur.
Ketika itulah, Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami berjalan di belakang pasukan. Pagi hari itu, ia sampai di tempat saya.
Ia melihat seseorang sedang tertidur. Segera ia mengenaliku begitu melihat saya.
Dia memang pernah melihat wajah saya sebelum diwajibkannya hijab. Saya terbangun mendengar suaranya yang mengucapkan, 'Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun!'
Saya pun buru-buru menutupi wajah dengan jilbab. Demi Allah, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada saya. Saya tidak mendengar sepatah kalimat pun keluar dari mulutnya selain ucapan innalillahi tadi.
Ia hanya menundukkan untanya, menginjak kakinya, lalu saya pun menaikinya. Kemudian, dia berangkat menuntun unta itu sampai kami tiba di pasukan yang sedang berhenti untuk beristirahat di siang hari yang terik.
Cerita Bohong
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh kaum munafik. Mereka membubuhi kisah ini dengan berbagai cerita bohong. Di antara yang sangat berantusias menyebarkan cerita bohong dan keji itu adalah Abdullah bin Ubay Ibnu Salul.
Cerita bohong itu menyebar dengan cepat, dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa sahabat yang terfitnah dan tanpa disadari ikut andil dalam menyebarkan berita ini.
Mereka adalah Misthah bin Utsatsah (sepupu Abu Bakar ash-Shiddiq ra), Hassan bin Tsabit dan Hamnah bintu Jahsy ra.
Rasulullah SAW sedih dengan berita yang tersebar, bukan karena meragukan kesetiaan istri beliau. Beliau percaya Aisyah dan Shafwan ra tidak seperti yang digunjingkan.
Berita yang sangat menyakiti hati Rasulullah SAW ini memantik kemarahan para sahabat dan hampir saja menyulut pertikaian di antara kaum Muslimin.
Sebagai respon dari berita buruk ini, Sa’ad bin Mu’adz ra menyatakan kesiapannya untuk membunuh kaum Aus yang terlibat dalam penyebaran berita dusta ini. Sementara Sa’ad bin Ubadah ra tidak setuju dengan sikap Sa’ad bin Mu’adz ini, karena di antara yang tertuduh terlibat dalam penyebaran berita ini berasal dari kaum Sa’ad bin Ubadah.
Hampir saja kekacauan yang diinginkan kaum munafik menjadi nyata, namun dengan petunjuk dari Allah SAW, Rasulullah tampil menyelesaikan permasalahan ini dan berhasil meredam api kemarahan. Sehingga kaum munafik harus menelan pil pahit kegagalan untuk kesekian kalinya.
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab "Luqaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul" mengutip Sahih Bukhari dan Muslim meriwayatkan berdasarkan penuturan Sayyidah Aisyah sendiri atas kisah ini.
Baca Juga
Menurut Aisyah, apabila Rasulullah hendak mengadakan perjalanan maka beliau biasanya mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar, maka dialah yang ikut bersama beliau.
"Dalam suatu peperangan, beliau mengundi kami. Karena nama saya yang keluar, saya pun ikut pergi bersama beliau. Peristiwa ini terjadi setelah turun wahyu yang mewajibkan hijab," tutur Aisyah.
"Di sepanjang perjalanan itu," lanjut Aisyah, "saya pun diangkut di atas tandu dan tetap tinggal di dalamnya."
Ketika Rasulullah selesai dari peperangan, maka kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami sudah dekat dengan Madinah.
Pada suatu malam beliau mengumumkan hendak melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengumumkan keberangkatan, saya sedang pergi untuk menyelesaikan hajat.
Setelah saya menyelesaikan hajat, saya pun hendak kembali ke tandu saya. Namun, saya menyadari, kalung saya yang buatan Azhfaar telah putus dan hilang. Maka saya pun kembali ke tempat semula (tempat buang hajat) untuk mencari benda itu.
Saya masih mencari kalung itu di sana, sedangkan orang-orang yang mengangkut tandu saya sudah datang. Mereka pun mengangkat tandu itu ke atas unta. Mereka mengira, saya berada di dalam tandu itu.
Memang, umumnya perempuan pada masa itu tubuhnya ringan. Mereka hanya makan sesuap (sehingga jarang berbobot tubuh berat). Oleh karena itu, para pengangkut tandu itu tidak merasa heran dengan ringannya tandu ketika mereka mengangkatnya.
Mereka tuntun unta dengan tandu tersebut lalu berangkat. Sementara itu, saya baru menemukan kalung saya setelah pasukan itu pergi.
Ketika saya tiba di tempat peristirahatan mereka tadi, tidak seorang pun kelihatan. Akhirnya, saya menuju tempat istirahat saya semula. Saya pikir, mereka akan menyadari, saya tidak bersama mereka sehingga mereka akan kembali untuk mencari saya. Ketika saya duduk di tempat saya, saya merasa mengantuk sehingga tertidur.
Ketika itulah, Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami berjalan di belakang pasukan. Pagi hari itu, ia sampai di tempat saya.
Ia melihat seseorang sedang tertidur. Segera ia mengenaliku begitu melihat saya.
Dia memang pernah melihat wajah saya sebelum diwajibkannya hijab. Saya terbangun mendengar suaranya yang mengucapkan, 'Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun!'
Saya pun buru-buru menutupi wajah dengan jilbab. Demi Allah, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada saya. Saya tidak mendengar sepatah kalimat pun keluar dari mulutnya selain ucapan innalillahi tadi.
Ia hanya menundukkan untanya, menginjak kakinya, lalu saya pun menaikinya. Kemudian, dia berangkat menuntun unta itu sampai kami tiba di pasukan yang sedang berhenti untuk beristirahat di siang hari yang terik.
Cerita Bohong
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh kaum munafik. Mereka membubuhi kisah ini dengan berbagai cerita bohong. Di antara yang sangat berantusias menyebarkan cerita bohong dan keji itu adalah Abdullah bin Ubay Ibnu Salul.
Cerita bohong itu menyebar dengan cepat, dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa sahabat yang terfitnah dan tanpa disadari ikut andil dalam menyebarkan berita ini.
Mereka adalah Misthah bin Utsatsah (sepupu Abu Bakar ash-Shiddiq ra), Hassan bin Tsabit dan Hamnah bintu Jahsy ra.
Rasulullah SAW sedih dengan berita yang tersebar, bukan karena meragukan kesetiaan istri beliau. Beliau percaya Aisyah dan Shafwan ra tidak seperti yang digunjingkan.
Berita yang sangat menyakiti hati Rasulullah SAW ini memantik kemarahan para sahabat dan hampir saja menyulut pertikaian di antara kaum Muslimin.
Sebagai respon dari berita buruk ini, Sa’ad bin Mu’adz ra menyatakan kesiapannya untuk membunuh kaum Aus yang terlibat dalam penyebaran berita dusta ini. Sementara Sa’ad bin Ubadah ra tidak setuju dengan sikap Sa’ad bin Mu’adz ini, karena di antara yang tertuduh terlibat dalam penyebaran berita ini berasal dari kaum Sa’ad bin Ubadah.
Hampir saja kekacauan yang diinginkan kaum munafik menjadi nyata, namun dengan petunjuk dari Allah SAW, Rasulullah tampil menyelesaikan permasalahan ini dan berhasil meredam api kemarahan. Sehingga kaum munafik harus menelan pil pahit kegagalan untuk kesekian kalinya.