Maulid Nabi: Kontroversi Kisah Malaikat Membelah Dada Rasulullah SAW
Selasa, 04 Oktober 2022 - 05:15 WIB
Pembelahan dada Rasulullah juga terjadi pada saat beliau akan diperjalankan dalam Isra dan Miraj. Al-Imam Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliky Al-Hasani menceritakan peristiwa agung ini dalam Kitab Al-Anwaarul Bahiyyah dan Dzikrayaat wa Munaasabaat.
Suatu malam Nabi Muhammad SAW berada di Hijir Ismail dekat Kakbah. Pada saat itu beliau berbaring di antara paman beliau, Sayyiduna Hamzah dan sepupu beliau, Sayyiduna Ja'far bin Abi Thalib. Tiba-tiba Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil menghampiri beliau lalu membawanya ke arah sumur Zamzam.
Setibanya di sana mereka merebahkan tubuh mulia Rasulullah untuk dibelah dadanya oleh Jibril.
Dalam riwayat lain disebutkan suatu malam atap rumah Nabi terbuka, kemudian Jibril turun membelah dada beliau sampai di bawah perut beliau, lalu Jibril berkata kepada Mikail: "Datangkan kepadaku nampan dengan air Zamzam agar aku bersihkan hatinya dan aku lapangkan dadanya."
Ketika dada beliau dibelah, Jibril mengeluarkan hati beliau lalu membasuhnya tiga kali. Kemudian didatangkan satu nampan emas dipenuhi hikmah dan keimanan.
Jibril menuangkannya ke dalam hati beliau, maka penuhlah hati Rasulullah dengan kesabaran, keyakinan, ilmu dan kepasrahan penuh kepada Allah, lalu ditutup kembali oleh Jibril.
Kontroversi
Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani mengatakan, semua riwayat yang menjelaskan peristiwa pembedahan dada, pengeluaran hati beliau dan berbagai peristiwa luar biasa lainnya, merupakan hal-hal yang wajib diimani (diterima dengan lapang dada) tanpa berusaha mengalihkannya dari makna yang sebenarnya.
Hanya saja, Haekal mengatakan baik kaum orientalis maupun beberapa kalangan kaum muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah. Pasalnya, yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Sayyidina Muhammad waktu itu.
Seturut penelusuran Mun’im Sirry dalam "Kontroversi Islam Awal: antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis", sumber tertua yang mengisahkan cerita itu adalah Musannaf, kitab kumpulan hadis yang disusun Abd al-Razzaq al-San'ani pada abad ke-8.
Menurut Mun'im, riwayat-riwayat lain menyebut detail yang berbeda-beda mengenai peristiwa pembelahan dada itu. Ada yang menyebut operasi tersebut dilakukan dua burung; ada pula, bersumber dari sebuah hadis, yang menyatakan operasi dilakukan langsung oleh malaikat Jibril dan Mikail.
Selain hadir dalam berbagai versi yang berbeda-beda, cerita itu juga terdengar tidak masuk akal terutama bagi para pembaca modern.
Tafsir historis dan hipotesis Mun’im bisa menjadi pertimbangan menarik untuk menilai peristiwa tersebut. “Keragaman versi tersebut,” catat Mun’im, “tidak perlu dibaca dalam konteks kontradiksi, karena persoalannya bukan apakah kisah-kisah penyucian itu bersifat historis atau tidak.
Berbagai versi penyucian Nabi yang beragam tersebut merefleksikan perkembangan doktrin ‘ishmah (kemaksuman Nabi) yang mulai menjadi diskursus penting pada abad kedelapan dan sesudahnya."
Bagi umat beragama, kisah-kisah keajaiban seorang nabi memang kadang-kadang tidak untuk dibuktikan faktualitas atau historisitasnya. Yang lebih dipentingkan adalah aspek teologisnya.
Imam al Qurthubi, di dalam kitab al Mufhim mengatakan, pengingkaran terhadap peristiwa pembedahan dada pada malam Isra’ dan Mi’raj tidak perlu dihiraukan, karena orang-orang yang meriwayatkannya adalah orang-orang tsiqah (terpercaya) dan terkenal.
Orang yang mengimani peristiwa pembedahan dada pada malam Isra’ dan Mi’raj, semestinya juga harus mengimani peristiwa pembedahan saat beliau SAW masa kecil, selama ada dalilnya dan dalil itu layak dijadikan hujjah.
Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah mengatakan, semua riwayat yang menjelaskan peristiwa pembedahan dada, pengeluaran hati beliau SAW dan berbagai peristiwa luar biasa lainnya, merupakan hal-hal yang wajib diimani (diterima dengan lapang dada) tanpa berusaha mengalihkannya dari makna yang sebenarnya.
Suatu malam Nabi Muhammad SAW berada di Hijir Ismail dekat Kakbah. Pada saat itu beliau berbaring di antara paman beliau, Sayyiduna Hamzah dan sepupu beliau, Sayyiduna Ja'far bin Abi Thalib. Tiba-tiba Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil menghampiri beliau lalu membawanya ke arah sumur Zamzam.
Setibanya di sana mereka merebahkan tubuh mulia Rasulullah untuk dibelah dadanya oleh Jibril.
Dalam riwayat lain disebutkan suatu malam atap rumah Nabi terbuka, kemudian Jibril turun membelah dada beliau sampai di bawah perut beliau, lalu Jibril berkata kepada Mikail: "Datangkan kepadaku nampan dengan air Zamzam agar aku bersihkan hatinya dan aku lapangkan dadanya."
Ketika dada beliau dibelah, Jibril mengeluarkan hati beliau lalu membasuhnya tiga kali. Kemudian didatangkan satu nampan emas dipenuhi hikmah dan keimanan.
Jibril menuangkannya ke dalam hati beliau, maka penuhlah hati Rasulullah dengan kesabaran, keyakinan, ilmu dan kepasrahan penuh kepada Allah, lalu ditutup kembali oleh Jibril.
Kontroversi
Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani mengatakan, semua riwayat yang menjelaskan peristiwa pembedahan dada, pengeluaran hati beliau dan berbagai peristiwa luar biasa lainnya, merupakan hal-hal yang wajib diimani (diterima dengan lapang dada) tanpa berusaha mengalihkannya dari makna yang sebenarnya.
Hanya saja, Haekal mengatakan baik kaum orientalis maupun beberapa kalangan kaum muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah. Pasalnya, yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Sayyidina Muhammad waktu itu.
Seturut penelusuran Mun’im Sirry dalam "Kontroversi Islam Awal: antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis", sumber tertua yang mengisahkan cerita itu adalah Musannaf, kitab kumpulan hadis yang disusun Abd al-Razzaq al-San'ani pada abad ke-8.
Menurut Mun'im, riwayat-riwayat lain menyebut detail yang berbeda-beda mengenai peristiwa pembelahan dada itu. Ada yang menyebut operasi tersebut dilakukan dua burung; ada pula, bersumber dari sebuah hadis, yang menyatakan operasi dilakukan langsung oleh malaikat Jibril dan Mikail.
Selain hadir dalam berbagai versi yang berbeda-beda, cerita itu juga terdengar tidak masuk akal terutama bagi para pembaca modern.
Tafsir historis dan hipotesis Mun’im bisa menjadi pertimbangan menarik untuk menilai peristiwa tersebut. “Keragaman versi tersebut,” catat Mun’im, “tidak perlu dibaca dalam konteks kontradiksi, karena persoalannya bukan apakah kisah-kisah penyucian itu bersifat historis atau tidak.
Berbagai versi penyucian Nabi yang beragam tersebut merefleksikan perkembangan doktrin ‘ishmah (kemaksuman Nabi) yang mulai menjadi diskursus penting pada abad kedelapan dan sesudahnya."
Bagi umat beragama, kisah-kisah keajaiban seorang nabi memang kadang-kadang tidak untuk dibuktikan faktualitas atau historisitasnya. Yang lebih dipentingkan adalah aspek teologisnya.
Imam al Qurthubi, di dalam kitab al Mufhim mengatakan, pengingkaran terhadap peristiwa pembedahan dada pada malam Isra’ dan Mi’raj tidak perlu dihiraukan, karena orang-orang yang meriwayatkannya adalah orang-orang tsiqah (terpercaya) dan terkenal.
Orang yang mengimani peristiwa pembedahan dada pada malam Isra’ dan Mi’raj, semestinya juga harus mengimani peristiwa pembedahan saat beliau SAW masa kecil, selama ada dalilnya dan dalil itu layak dijadikan hujjah.
Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah mengatakan, semua riwayat yang menjelaskan peristiwa pembedahan dada, pengeluaran hati beliau SAW dan berbagai peristiwa luar biasa lainnya, merupakan hal-hal yang wajib diimani (diterima dengan lapang dada) tanpa berusaha mengalihkannya dari makna yang sebenarnya.