Kisah Mistik Sultan Agung Taklukkan Mekkah
Selasa, 04 Oktober 2022 - 19:49 WIB
Sultan Agung menaklukkan Mekkah ? Ini hanyalah pencitraan saja, untuk memantapkan mandat keagamaannya. Selain itu, Sultan Agung juga menyandang gelar Susuhunan dan Sultan. Apakah itu?
Mark R. Woodward dalam bukunya berjudul "Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan" menulis, sepanjang periode Demak , ulama Jawa merupakan tokoh-tokoh politik dan keagamaan yang utama sehingga mereka bisa menguasai raja dan bangsawan lokal.
Hanya saja, pada masa Mataram kondisi berubah. Justru Sultan Agung membangun citra dirinya sebagai sultan sekaligus ulama.
Kala itu, Sultan Agung banyak mengarahkan turun naiknya Islam kerajaan, yang berorientasi mistik. Penaklukannya terhadap kerajaan-kerajaan pantai telah membatasi pesaing-pesaing yang ulama-sentris.
"Penggunaan Sultan Agung terhadap gelar Susuhunan dan Sultan adalah upaya untuk memantapkan mandat keagamaannya," tulis Mark R. Woodward.
Susuhunan, pada waktu itu, hanya disandang terutama oleh para pemimpin agama. Gelar Sultan diberikan padanya oleh ulama Mekkah tahun 1641. Pembangunan pemakaman di Imogiri dan penyusunan serangkaian babad memiliki tujuan yang sama.
Mudjanto, sebagaimana dikutip Mark R. Woodward mengatakan, tradisi babad dibangun sepanjang pemerintahan Sultan Agung dan dimaksudkan untuk menegarkan legitimasi keagamaan Mataram.
Dalam hal ini, terutama Babad Nitik Sultan Agung sangat penting. Babad tersebut menggambarkan kepandaian keagamaan dan kemampuan magis Sultan Agung. "Hal ini termasuk penaklukan kerajaan Sumatra dan Mekkah dengan cara-cara magis."
Imogiri dilukiskan sebagai Mekkahnya Jawa dan tempat pemakaman Iskandar Agung. Sultan Agung dikatakan mempunyai kemampuan terbang dan melakukan sholat Jum'at di Mekkah secara rutin. Secara umum teks-teks ini menggambarkan Sultan sebagai wali dan pemimpin keagamaan, baik ulama Jawa maupun Mekkah.
Mark R. Woodward mengatakan kendati penerimaan gelar dan penulisan teks-teks tersebut memperkokoh klaim-klaim keagamaan mengenai pentingnya kekerabatan, tetapi hal itu memperlihatkan bahwa strategi legitimasi bertemu dengan resistensi yang ada, khususnya dari ulama.
Kendati Sultan Agung berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan pantai yang didominasi ulama, tetapi ia tak sepenuhnya menguasai Jawa Tengah. Menurut Mark R. Woodward, penguasaan ini tampaknya baru disempurnakan pada masa pemerintahan Amangkurat I, yang menurut sumber-sumber Belanda kontemporer, memerintahkan eksekusi sekitar lima hingga enam ribu ulama.
Pembantaian Ulama
Dalam Serat Jaya Baya, Amangkurat I dilukiskan sebagai Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang dimetaforakan dengan kuku yang putus). "Masa lalim" artinya kekejaman pemerintahan raja, dan "kuku yang putus" maksudnya banyaknya panglima yang dibunuh.
Puncak dari kelaliman Raja Amangkurat I terjadi di alun-alun Plered, Kesultanan Mataram, pada 1647, dua tahun setelah ayahnya Sultan Agung wafat. Ia memerintahkan agar membunuh semua ulama yang ada di wilayah Kerajaan Mataram.
Semua itu berawal dari rasa cemas Amangkurat I yang kemudian menimbulkan dendam. Ia cemas akan kehilangan kekuasaan yang terus menghantuinya.
Dikisahkan, sebelum dia mengambil keputusan untuk menghabisi para ulama, raja menyepi sendirian di pendopo istana. Pikirannya suntuk karena memikirkan siasat untuk mempertahankan tahta. Sebab dua hari sebelumnya, adiknya yang bernama Raden Mas Alit telah melakukan kudeta.
Dalam kudeta yang gagal itu, Alit tewas terbunuh pasukannya. Setelah menemukan siasat, Amangkurat I lalu memanggil empat orang pembesar keraton untuk menghadap dirinya.
Kepada keempat pejabat kepercayaannya itu, raja mengutarakan niatnya. Keempat orang itu adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wiranata. Kepada mereka, sang raja berharap niat balas dendam tereksekusi dengan baik.
Sejarawan H.J. de Graaf dalam bukunya berjudul "De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677" menyebut bahwa raja berpesan agar tak seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram lolos dariaksi kejam itu.
Rencana eksekusi disiapkan sangat matang. Misalnya, nama ulama dan keluarganya yang menjadi target operasi harus dicatat. Demikian juga alamat-alamat mereka. Bagi Amangkurat I, aksi ini langkah efektif agar para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul.
Saat hari pelaksanaan eksekusi tiba, anak buah keempat orang kepercayaan raja disebar ke empat penjuru mata angin. Aba-aba dimulainya aksi pembunuhan ditandai dengan letusan meriam dari istana.
Berkat persiapan matang, eksekusi berjalan lancar. Dalam waktu tidak lebih 30 menit, 6.000 ulama tewas ditikam para serdadu yang dipimpin oleh keempat orang kepercayaan raja.
Sejarawan van Goens dalam catatannya menulis, "Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.” Juga ditulis bahwa selama aksi pembunuhan berlangsung, raja mengurung diri di istana. Dia bertingkah seolah tidak menghetahui apa yang terjadi di luar sana.
Mark R. Woodward menyatakan tindakan Amangkurat I ini kelihatannya mematahkan resistensi syariat-sentris terhadap kebijakan-kebijakan keagamaan Mataram.
Status relatif raja dan ulama dalam teks, tradisi lisan, dan ritual berikut sangat jelas. Dalam teks awal abad ke-19, Serat Cebolek, raja digambarkan mempunyai hak untuk mengesampingkan ulama dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam.
Tradisi-tradisi lisan melukiskan penghulu pertama menjadi pemotong rumput bagi Sultan. Demikian juga, dalam konteks ritual penghulu dan santri lainnya diperintahkan, tanpa boleh bertanya, datang ke istana dan berdoa.
Mark R. Woodward dalam bukunya berjudul "Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan" menulis, sepanjang periode Demak , ulama Jawa merupakan tokoh-tokoh politik dan keagamaan yang utama sehingga mereka bisa menguasai raja dan bangsawan lokal.
Hanya saja, pada masa Mataram kondisi berubah. Justru Sultan Agung membangun citra dirinya sebagai sultan sekaligus ulama.
Kala itu, Sultan Agung banyak mengarahkan turun naiknya Islam kerajaan, yang berorientasi mistik. Penaklukannya terhadap kerajaan-kerajaan pantai telah membatasi pesaing-pesaing yang ulama-sentris.
"Penggunaan Sultan Agung terhadap gelar Susuhunan dan Sultan adalah upaya untuk memantapkan mandat keagamaannya," tulis Mark R. Woodward.
Susuhunan, pada waktu itu, hanya disandang terutama oleh para pemimpin agama. Gelar Sultan diberikan padanya oleh ulama Mekkah tahun 1641. Pembangunan pemakaman di Imogiri dan penyusunan serangkaian babad memiliki tujuan yang sama.
Mudjanto, sebagaimana dikutip Mark R. Woodward mengatakan, tradisi babad dibangun sepanjang pemerintahan Sultan Agung dan dimaksudkan untuk menegarkan legitimasi keagamaan Mataram.
Dalam hal ini, terutama Babad Nitik Sultan Agung sangat penting. Babad tersebut menggambarkan kepandaian keagamaan dan kemampuan magis Sultan Agung. "Hal ini termasuk penaklukan kerajaan Sumatra dan Mekkah dengan cara-cara magis."
Imogiri dilukiskan sebagai Mekkahnya Jawa dan tempat pemakaman Iskandar Agung. Sultan Agung dikatakan mempunyai kemampuan terbang dan melakukan sholat Jum'at di Mekkah secara rutin. Secara umum teks-teks ini menggambarkan Sultan sebagai wali dan pemimpin keagamaan, baik ulama Jawa maupun Mekkah.
Mark R. Woodward mengatakan kendati penerimaan gelar dan penulisan teks-teks tersebut memperkokoh klaim-klaim keagamaan mengenai pentingnya kekerabatan, tetapi hal itu memperlihatkan bahwa strategi legitimasi bertemu dengan resistensi yang ada, khususnya dari ulama.
Kendati Sultan Agung berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan pantai yang didominasi ulama, tetapi ia tak sepenuhnya menguasai Jawa Tengah. Menurut Mark R. Woodward, penguasaan ini tampaknya baru disempurnakan pada masa pemerintahan Amangkurat I, yang menurut sumber-sumber Belanda kontemporer, memerintahkan eksekusi sekitar lima hingga enam ribu ulama.
Pembantaian Ulama
Dalam Serat Jaya Baya, Amangkurat I dilukiskan sebagai Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang dimetaforakan dengan kuku yang putus). "Masa lalim" artinya kekejaman pemerintahan raja, dan "kuku yang putus" maksudnya banyaknya panglima yang dibunuh.
Puncak dari kelaliman Raja Amangkurat I terjadi di alun-alun Plered, Kesultanan Mataram, pada 1647, dua tahun setelah ayahnya Sultan Agung wafat. Ia memerintahkan agar membunuh semua ulama yang ada di wilayah Kerajaan Mataram.
Semua itu berawal dari rasa cemas Amangkurat I yang kemudian menimbulkan dendam. Ia cemas akan kehilangan kekuasaan yang terus menghantuinya.
Dikisahkan, sebelum dia mengambil keputusan untuk menghabisi para ulama, raja menyepi sendirian di pendopo istana. Pikirannya suntuk karena memikirkan siasat untuk mempertahankan tahta. Sebab dua hari sebelumnya, adiknya yang bernama Raden Mas Alit telah melakukan kudeta.
Dalam kudeta yang gagal itu, Alit tewas terbunuh pasukannya. Setelah menemukan siasat, Amangkurat I lalu memanggil empat orang pembesar keraton untuk menghadap dirinya.
Kepada keempat pejabat kepercayaannya itu, raja mengutarakan niatnya. Keempat orang itu adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wiranata. Kepada mereka, sang raja berharap niat balas dendam tereksekusi dengan baik.
Sejarawan H.J. de Graaf dalam bukunya berjudul "De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677" menyebut bahwa raja berpesan agar tak seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram lolos dariaksi kejam itu.
Baca Juga
Rencana eksekusi disiapkan sangat matang. Misalnya, nama ulama dan keluarganya yang menjadi target operasi harus dicatat. Demikian juga alamat-alamat mereka. Bagi Amangkurat I, aksi ini langkah efektif agar para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul.
Saat hari pelaksanaan eksekusi tiba, anak buah keempat orang kepercayaan raja disebar ke empat penjuru mata angin. Aba-aba dimulainya aksi pembunuhan ditandai dengan letusan meriam dari istana.
Berkat persiapan matang, eksekusi berjalan lancar. Dalam waktu tidak lebih 30 menit, 6.000 ulama tewas ditikam para serdadu yang dipimpin oleh keempat orang kepercayaan raja.
Sejarawan van Goens dalam catatannya menulis, "Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.” Juga ditulis bahwa selama aksi pembunuhan berlangsung, raja mengurung diri di istana. Dia bertingkah seolah tidak menghetahui apa yang terjadi di luar sana.
Mark R. Woodward menyatakan tindakan Amangkurat I ini kelihatannya mematahkan resistensi syariat-sentris terhadap kebijakan-kebijakan keagamaan Mataram.
Status relatif raja dan ulama dalam teks, tradisi lisan, dan ritual berikut sangat jelas. Dalam teks awal abad ke-19, Serat Cebolek, raja digambarkan mempunyai hak untuk mengesampingkan ulama dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam.
Tradisi-tradisi lisan melukiskan penghulu pertama menjadi pemotong rumput bagi Sultan. Demikian juga, dalam konteks ritual penghulu dan santri lainnya diperintahkan, tanpa boleh bertanya, datang ke istana dan berdoa.
Baca Juga
(mhy)