Bahaya Ulama Instan
Senin, 06 Juli 2020 - 23:49 WIB
Imam Shamsi Ali
Direktur/Imam Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Kita hidup di sebuah era yang penuh dengan hiruk pikuk yang membisingkan. Media sosial kita menjadi ruangan suara bising, justru di saat-saat kita berusaha menghindar dari kompetisi pandangan-pandangan yang berkeliaran, dan dapat melemahkan kayakinan, bahkan menumbuhkan keraguan pada diri kita. Di saat-saat inilah sungguh rendah hati menjadi sesuatu yang terasa sangat mahal.
Sangat sedikit di antara manusia yang bisa membaca dengan baik dan paham. Bahkan mereka yang melakukan itupun kerap hanya memupuk ego dan keangkuhan, ketimbang menumbuhsuburkan pemikiran (intellect) dan jiwa (soul). (Video: Hikmah di Balik Corona, Membangun Kebersamaan Global )
Rasulullah SAW mengingatkan: " Ulama itu adalah pewaris para Nabi". Hari ini kita menyaksikan begitu banyak yang dadakan menjadi ustaz, dai, dan penceramah instabile yang selebritas. Namun, kerap ilmu dan hikmah pada diri mereka sangat jauh dari harapan posisi mulia itu.
Pada generasi awal dari kalangan salaf begitu banyak ulama . Tapi sangat sedikit yang dengan mudah memberikan fatwa. Berbeda di zaman kita yang begitu mudah seseorang bahkan melalui kajian Google atau Youtube tiba-tiba jadi mufti yang digandrungi.
Imam Malik mungkin adalah salah seorang Ulama besar pada masanya. Imam Syafi berkata: "Di saat kata ulama disebutkan maka Malik adalah bintang di antara mereka". Imam Malik sendiri pernah berkata bahwa beliau tidak akan memberikan fatwa sebelum tujuh puluh Ulama Madinah terlebih dahulu menguji kelayakan dan keabsahannya.
Ismail bin Abi Uwais, kemenakan Imam Malik berkata: "Saya bertanya kepada paman saya (Imam Malik) tentang suatu hal. Lalu beliau meminta saya duduk, beliau kemudian berwudhu, lalu berkata: Laa haula wa laa quwwata illa billah. Beliau tidak memberikan fatwa apapun kecuali berkata demikian terdahulu".
Al-Haytham (murid Imam Malik ) juga pernah berkata: "Suatu ketika saya bersama Imam Malik dan beliau ditanya 40 permasalahan agama. Saya mendengar beliau menjawab: "Saya tidak tahu" terhadap 32 pertanyaan itu. (Baca Juga: Imam Shamsi Ali: 5 Bekal Kesuksesan Hidup)
Itulah kerendahhatian seorang ulama besar sekaliber Imam Malik . Selain mengakui keterbatasan, juga tidak pernah bersikap menghakimi orang lain. Bahkan seorang muridnya Imam Syafii beliau memilki penghormatan yang sangat luar biasa.
Boleh jadi saya ini terasa kematian para ulama dan keilmuan disebabkan justru oleh kita sendiri. Karena kita terobsesi oleh segelintir personalitas yang dikelilingi oleh pengikut fanatik yang kerap tidak sadar sedang mengalami indoktrinisasi yang berbahaya.
Ilmu dan keilmuan adalah proses berkelanjutan (sustainable process) dari awal kehidupan hingga akhir hayat. Selama itu mencari dan mencari pengetahuan, serta perluasan wawasan menjadi tuntutan hidup manusia. Terlebih lagi ketika kita berada pada posisi keulamaan (al-ulamaa).
Shaykhul Islam Ibn Taymiyya pernah berkata:
قال شيخ الإسلام:
الإنسان لا يزال يطلب العلم والإيمان ، إذا تبين له من العلم ما كان خافياً عليه اتبعه ، وليس هذا مذبذباً بل هذا مهتدٍ زاده الله هدى [ مجموع الفتاوى ٢٢ / ٢٥٥ ]
"Seseorang itu akan terus mencari ilmu dan keimanan. Dan ketika sebuah keilmuan terbuka baginya, yang tadinya tidak diketahui, dia akan meneruskan atau menindak lanjuti. Inilah orang yang akan memiliki posisi yang tegas (tidak terombang-ambing). Dialah yang mendapat petunjuk dan Allah akan selalu menambah petunjukNya".
Lalu dari mana seharusnya agama ini kita ambil? Pastinya hati menjadi pusat perhatian, dan harusnya pula urgensi ilmu ada di hati kita.
Ibnu Rajab berkata:
قال ابن رجب -رحمه الله:
Direktur/Imam Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Kita hidup di sebuah era yang penuh dengan hiruk pikuk yang membisingkan. Media sosial kita menjadi ruangan suara bising, justru di saat-saat kita berusaha menghindar dari kompetisi pandangan-pandangan yang berkeliaran, dan dapat melemahkan kayakinan, bahkan menumbuhkan keraguan pada diri kita. Di saat-saat inilah sungguh rendah hati menjadi sesuatu yang terasa sangat mahal.
Sangat sedikit di antara manusia yang bisa membaca dengan baik dan paham. Bahkan mereka yang melakukan itupun kerap hanya memupuk ego dan keangkuhan, ketimbang menumbuhsuburkan pemikiran (intellect) dan jiwa (soul). (Video: Hikmah di Balik Corona, Membangun Kebersamaan Global )
Rasulullah SAW mengingatkan: " Ulama itu adalah pewaris para Nabi". Hari ini kita menyaksikan begitu banyak yang dadakan menjadi ustaz, dai, dan penceramah instabile yang selebritas. Namun, kerap ilmu dan hikmah pada diri mereka sangat jauh dari harapan posisi mulia itu.
Pada generasi awal dari kalangan salaf begitu banyak ulama . Tapi sangat sedikit yang dengan mudah memberikan fatwa. Berbeda di zaman kita yang begitu mudah seseorang bahkan melalui kajian Google atau Youtube tiba-tiba jadi mufti yang digandrungi.
Imam Malik mungkin adalah salah seorang Ulama besar pada masanya. Imam Syafi berkata: "Di saat kata ulama disebutkan maka Malik adalah bintang di antara mereka". Imam Malik sendiri pernah berkata bahwa beliau tidak akan memberikan fatwa sebelum tujuh puluh Ulama Madinah terlebih dahulu menguji kelayakan dan keabsahannya.
Ismail bin Abi Uwais, kemenakan Imam Malik berkata: "Saya bertanya kepada paman saya (Imam Malik) tentang suatu hal. Lalu beliau meminta saya duduk, beliau kemudian berwudhu, lalu berkata: Laa haula wa laa quwwata illa billah. Beliau tidak memberikan fatwa apapun kecuali berkata demikian terdahulu".
Al-Haytham (murid Imam Malik ) juga pernah berkata: "Suatu ketika saya bersama Imam Malik dan beliau ditanya 40 permasalahan agama. Saya mendengar beliau menjawab: "Saya tidak tahu" terhadap 32 pertanyaan itu. (Baca Juga: Imam Shamsi Ali: 5 Bekal Kesuksesan Hidup)
Itulah kerendahhatian seorang ulama besar sekaliber Imam Malik . Selain mengakui keterbatasan, juga tidak pernah bersikap menghakimi orang lain. Bahkan seorang muridnya Imam Syafii beliau memilki penghormatan yang sangat luar biasa.
Boleh jadi saya ini terasa kematian para ulama dan keilmuan disebabkan justru oleh kita sendiri. Karena kita terobsesi oleh segelintir personalitas yang dikelilingi oleh pengikut fanatik yang kerap tidak sadar sedang mengalami indoktrinisasi yang berbahaya.
Ilmu dan keilmuan adalah proses berkelanjutan (sustainable process) dari awal kehidupan hingga akhir hayat. Selama itu mencari dan mencari pengetahuan, serta perluasan wawasan menjadi tuntutan hidup manusia. Terlebih lagi ketika kita berada pada posisi keulamaan (al-ulamaa).
Shaykhul Islam Ibn Taymiyya pernah berkata:
قال شيخ الإسلام:
الإنسان لا يزال يطلب العلم والإيمان ، إذا تبين له من العلم ما كان خافياً عليه اتبعه ، وليس هذا مذبذباً بل هذا مهتدٍ زاده الله هدى [ مجموع الفتاوى ٢٢ / ٢٥٥ ]
"Seseorang itu akan terus mencari ilmu dan keimanan. Dan ketika sebuah keilmuan terbuka baginya, yang tadinya tidak diketahui, dia akan meneruskan atau menindak lanjuti. Inilah orang yang akan memiliki posisi yang tegas (tidak terombang-ambing). Dialah yang mendapat petunjuk dan Allah akan selalu menambah petunjukNya".
Lalu dari mana seharusnya agama ini kita ambil? Pastinya hati menjadi pusat perhatian, dan harusnya pula urgensi ilmu ada di hati kita.
Ibnu Rajab berkata:
قال ابن رجب -رحمه الله: