3 Pendapat tentang Lafaz Sayyidina, Kamu Tinggal Pilih 1 di Antaranya
Jum'at, 11 November 2022 - 15:18 WIB
Penggunaan kata "Sayyidina" ketika membaca sholawat sering diperdebatkan. Andai tahu ilmunya dan tidak taqlid buta terhadap mazhab tertentu tentulah tidak terjadi perdebatan panjang.
Apalagi menuduh saudaranya pelaku bid'ah atau dholalah (sesat). Na'udzubillahi min dzalik! Ketahuilah bahwa Islam bukan agama yang sempit. Ketika ada perkara khilafiyah hendaknya sesama muslim berlapang dada dan tidak merasa paling benar.
Lantas, bagaimana dengan penggunaan kata Sayyidina saat bersholawat ? Ada tiga pendapat tentang hal ini. Umat Islam tinggal pilih satu di antaranya atau memakai ketiganya juga tidak apa-apa.
Pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq menjawab persoalan ini dengan jelas. Kata beliau, penggunaan lafaz Sayyidina ketika bersholawat sering diperdebatkan karena para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Mari kita simak penjelasannya:
Kata Sayyidina asalnya adalah "Sayyid" yang artinya seorang pemimpin. Kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود). Jika Dimuta'addikan, menjadi Sawwada-Yusawwidu (سوّد – يسوّد) yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin.
Contoh kalimat: Sayyidul Qaum artinya adalah pemimpin suatu kaum.
Penggunaaan Kata Sayyidina
Yang dimaksud penggunaan Sayyidina adalah menambahkan lafadz Sayyidina (سَيِّدُنَا) pada bacaan sholawat baik di dalam sholat maupun di luar sholat. Contohnya lafaz sholawat riwayat Imam Muslim yang menjadi bacaan tahiyyat sholat.
Menjadi:
Tiga Pendapat Ulama
Ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum menambahkan lafadz Sayyidina dalam sholawat, baik di dalam maupun diluar shalat. Secara umum terbagi menjadi tiga pendapat ulama:
1. Yang tidak membolehkan secara mutlak, baik di dalam maupun di luar sholat.
2. Yang tidak boleh menambahkan di dalam sholat tetapi boleh di luar sholat
3. Yang membolehkan di luar maupun di dalam sholat.
1. Yang Tidak Membolehkan Secara Mutlak
Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat tidak boleh secara mutlak menambahkan kata 'Sayyidina' ketika membaca shalawat kepada Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Hal ini didasarkan kepada zahir riwayat yang mana Nabi tidak menyukai dan mengingkari panggilan Sayyid kepada beliau. Di antaranya:
Hadits dari Anas bin Malik, ia berkata:
أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل
Artinya: "Seorang lelaki telah datang kepada Rasulullah seraya berkata: "Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! Wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami!" Rasulullah menjawab: "Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah 'Azza wa Jalla tentukan bagiku." (HR Ahmad)
Hadits lainnya:
لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ
Artinya: "Janganlah kalian mengucapkan kalimat "Sayyid" kepadaku dalam sholat."
2. Boleh di Luar Sholat, Tapi Tidak di Dalam Sholat
Jumhur ulama berpendapat bahwa menambahkan lafadz Sayyidina adalah mustahab (disukai) sebagai bentuk pengagungan dan pemuliaan kepada beliau. Berdasarkan dalil berikut ini:
Artinya: "Saya penghulu anak adam pada hari kiamat dan bukan karena sombong." (HR Muslim dan Tirimidzi)
Kalangan ini membantah pendalilan kelompok yang menolak penggunaan kata Sayyidina dalam sholawat dengan menyatakan bahwa hadits riwayat imam Ahmad di atas bukanlah larangan menyebut Nabi Muhammad SAW dengan Sayyid, tapi keengganan beliau untuk dipuji berlebihan, sebagai bentuk sifat ketawadhuan beliau.
Sedangkan bila dalam sholat, kelompok pendapat ini berpendapat lafadz Sayyidina tidak digunakan, karena sholat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifi (aturan dan tatacaranya harus mengikuti praktek Rasulullah). Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan aktivitas apapun yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Hal ini berdasarkan makna hadits berikut:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى
"Sholatlah kalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku sholat." (HR Al-Bukhari)
Pendapat kedua ini yang lazim dipegang dan dinisbahkan kepada mayoritas ulama empat Mazhab.
3. Membolehkan di Luar Maupun di Dalam Sholat
Sebagian ulama mutaakhirin dari Mazhab Syafi'iyyah di antaranya Imam Izz abdussalam, Ramli, Syarqawi, Qulyubi, dan sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat, bahwa menambahkan kata Sayyidina adalah sebuah hal yang baik ketika membaca sholawat, baik di dalam maupun di luar sholat.
Kalangan ini berdalil bahwa penambahan Sayyidina adalah bentuk adab dan bukan penambahan yang dilarang dalam sholat. Berkata Ibnu Hajar Al-Haitami: "Dan tidak mengapa menambahkan kata Sayyidina sebelum lafadz Muhammad.
Sedangkan hadis yang berbunyi "La Tusyyiduni Fi ash-Shalat" adalah hadits dha'if, bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudhu/palsu).
Kesimpulan
Para ulama dari awalnya telah berbeda pendapat mengenai masalah ini. Perbedaan ini buah dari kedalaman ilmu mereka, tidak perlu diragukan lagi. Kalau kemudian kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang memiliki pilihan yang berbeda dari kita.
Sebab, orang-orang hanya hanya mengikuti fatwa para ulama, selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, tidak sepantasnya kita melecehkan apalagi memvonis sebagai perbuatan bid'ah yang berujung ke neraka.
Maka penambahan lafadz Sayyidina dalam lafadz sholawat bukanlah perkara bid'ah. Tetapi masuk ranah khilafiyah, yang mana mayoritas ulama membolehkannya.
Wallahu A'lam
Referensi:
1. Dalam bahasa Arab Fi'il (kata kerja) terbagi dua yaitu: Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس (duduk) kata ini tidak butuh objek. Kemudian Fi'il Muta'addi adalah Fi'il yang butuh objek. Contoh, جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan.
2. Lisanul Arab (2/235), Misbahul Munir (1/294).
3. Al-Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (11/346)
4. Rad al Mukhtar 'ala Dar al Mukhtar (11/385), Al Qulyubi (1/167), Hasyiah asy Syarqawi 'ala Tuhfatul Thulab (1/21), Nail Authar (2/236).
5. Minhaju Qawim Hal 160.
Apalagi menuduh saudaranya pelaku bid'ah atau dholalah (sesat). Na'udzubillahi min dzalik! Ketahuilah bahwa Islam bukan agama yang sempit. Ketika ada perkara khilafiyah hendaknya sesama muslim berlapang dada dan tidak merasa paling benar.
Lantas, bagaimana dengan penggunaan kata Sayyidina saat bersholawat ? Ada tiga pendapat tentang hal ini. Umat Islam tinggal pilih satu di antaranya atau memakai ketiganya juga tidak apa-apa.
Pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq menjawab persoalan ini dengan jelas. Kata beliau, penggunaan lafaz Sayyidina ketika bersholawat sering diperdebatkan karena para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Mari kita simak penjelasannya:
Kata Sayyidina asalnya adalah "Sayyid" yang artinya seorang pemimpin. Kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود). Jika Dimuta'addikan, menjadi Sawwada-Yusawwidu (سوّد – يسوّد) yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin.
Contoh kalimat: Sayyidul Qaum artinya adalah pemimpin suatu kaum.
Penggunaaan Kata Sayyidina
Yang dimaksud penggunaan Sayyidina adalah menambahkan lafadz Sayyidina (سَيِّدُنَا) pada bacaan sholawat baik di dalam sholat maupun di luar sholat. Contohnya lafaz sholawat riwayat Imam Muslim yang menjadi bacaan tahiyyat sholat.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Menjadi:
اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَرَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Tiga Pendapat Ulama
Ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum menambahkan lafadz Sayyidina dalam sholawat, baik di dalam maupun diluar shalat. Secara umum terbagi menjadi tiga pendapat ulama:
1. Yang tidak membolehkan secara mutlak, baik di dalam maupun di luar sholat.
2. Yang tidak boleh menambahkan di dalam sholat tetapi boleh di luar sholat
3. Yang membolehkan di luar maupun di dalam sholat.
1. Yang Tidak Membolehkan Secara Mutlak
Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat tidak boleh secara mutlak menambahkan kata 'Sayyidina' ketika membaca shalawat kepada Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Hal ini didasarkan kepada zahir riwayat yang mana Nabi tidak menyukai dan mengingkari panggilan Sayyid kepada beliau. Di antaranya:
Hadits dari Anas bin Malik, ia berkata:
أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل
Artinya: "Seorang lelaki telah datang kepada Rasulullah seraya berkata: "Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! Wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami!" Rasulullah menjawab: "Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah 'Azza wa Jalla tentukan bagiku." (HR Ahmad)
Hadits lainnya:
لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ
Artinya: "Janganlah kalian mengucapkan kalimat "Sayyid" kepadaku dalam sholat."
2. Boleh di Luar Sholat, Tapi Tidak di Dalam Sholat
Jumhur ulama berpendapat bahwa menambahkan lafadz Sayyidina adalah mustahab (disukai) sebagai bentuk pengagungan dan pemuliaan kepada beliau. Berdasarkan dalil berikut ini:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ
Artinya: "Saya penghulu anak adam pada hari kiamat dan bukan karena sombong." (HR Muslim dan Tirimidzi)
Kalangan ini membantah pendalilan kelompok yang menolak penggunaan kata Sayyidina dalam sholawat dengan menyatakan bahwa hadits riwayat imam Ahmad di atas bukanlah larangan menyebut Nabi Muhammad SAW dengan Sayyid, tapi keengganan beliau untuk dipuji berlebihan, sebagai bentuk sifat ketawadhuan beliau.
Sedangkan bila dalam sholat, kelompok pendapat ini berpendapat lafadz Sayyidina tidak digunakan, karena sholat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifi (aturan dan tatacaranya harus mengikuti praktek Rasulullah). Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan aktivitas apapun yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Hal ini berdasarkan makna hadits berikut:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى
"Sholatlah kalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku sholat." (HR Al-Bukhari)
Pendapat kedua ini yang lazim dipegang dan dinisbahkan kepada mayoritas ulama empat Mazhab.
3. Membolehkan di Luar Maupun di Dalam Sholat
Sebagian ulama mutaakhirin dari Mazhab Syafi'iyyah di antaranya Imam Izz abdussalam, Ramli, Syarqawi, Qulyubi, dan sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat, bahwa menambahkan kata Sayyidina adalah sebuah hal yang baik ketika membaca sholawat, baik di dalam maupun di luar sholat.
Kalangan ini berdalil bahwa penambahan Sayyidina adalah bentuk adab dan bukan penambahan yang dilarang dalam sholat. Berkata Ibnu Hajar Al-Haitami: "Dan tidak mengapa menambahkan kata Sayyidina sebelum lafadz Muhammad.
Sedangkan hadis yang berbunyi "La Tusyyiduni Fi ash-Shalat" adalah hadits dha'if, bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudhu/palsu).
Kesimpulan
Para ulama dari awalnya telah berbeda pendapat mengenai masalah ini. Perbedaan ini buah dari kedalaman ilmu mereka, tidak perlu diragukan lagi. Kalau kemudian kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang memiliki pilihan yang berbeda dari kita.
Sebab, orang-orang hanya hanya mengikuti fatwa para ulama, selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, tidak sepantasnya kita melecehkan apalagi memvonis sebagai perbuatan bid'ah yang berujung ke neraka.
Maka penambahan lafadz Sayyidina dalam lafadz sholawat bukanlah perkara bid'ah. Tetapi masuk ranah khilafiyah, yang mana mayoritas ulama membolehkannya.
Wallahu A'lam
Referensi:
1. Dalam bahasa Arab Fi'il (kata kerja) terbagi dua yaitu: Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس (duduk) kata ini tidak butuh objek. Kemudian Fi'il Muta'addi adalah Fi'il yang butuh objek. Contoh, جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan.
2. Lisanul Arab (2/235), Misbahul Munir (1/294).
3. Al-Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (11/346)
4. Rad al Mukhtar 'ala Dar al Mukhtar (11/385), Al Qulyubi (1/167), Hasyiah asy Syarqawi 'ala Tuhfatul Thulab (1/21), Nail Authar (2/236).
5. Minhaju Qawim Hal 160.
(rhs)