Kesederhanaan dan Kedermawanan Abah Noer, Pendiri Ponpes Asshiddiqiyyah Jakarta
Rabu, 23 November 2022 - 10:04 WIB
Hidup di kota metropolitan seperti Jakarta tentu tidak luput dari godaan pernik kemewahan dan kemegahan, apalagi bagi orang-orang berduit. Namun, kiyai besar KH Noer Muhammad Iskandar lebih memilih hidup sederhana dan apa adanya.
Padahal tokoh agama asal Banyuwangi, Jawa Timur itu mudah saja jika ingin mendapatkan akses kemewahan tersebut. Tulisan ini adalah saksi kesederhanaan KH Noer Muhammad Iskandar, pendiri Pondok Pesantren Asshiddiqiyyah Jakarta. Selain sederhana, beliau juga dikenal sebagai Kiyai yang dermawan.
Kesederhanaan Abah Noer (sapaan akrabnya) terlihat dalam berpakaian ataupun mengkonsumsi makanan. Dari cara berpakaiannya, orang pasti mudah mengenal kalau beliau lebih sering memakai gamis putih dan peci putih yang biasa dikenakannya saat bepergian.
Sedangkan kalau di rumah, beliau biasanya memakai kaos oblong putih, celana panjang putih, peci putih, dan kadang memakai sarung. Kiyai lulusan Pesantren Lirboyo, Jawa Timur ini lebih suka memakai pakaian seperti itu. Padahal sebetulnya, beliau punya banyak baju dan kain sarung bermerek dengan harga yang cukup berkelas.
Dalam perihal makanan, Abah Noer juga sangat menarik. Tinggal di jantung Ibu Kota tentu banyak sekali kuliner mewah dan enak, apalagi bagi orang-orang yang ekonominya di atas kata cukup, tentu sangat mudah bisa mencicipi makanan mahal nan mewah itu.
Sebagai kiyai yang tersohor, tentu Abah Noer sangat mampu untuk membeli itu semua. Tapi beliau lebih menyukai makanan yang sederhana. Hal ini mungkin karena beliau sudah terbiasa hidup sederhana semasa menjadi santri. Tidak hanya itu, beliau juga istiqamah mengamalkan puasa Daud sejak puluhan tahun sampai detik kewafatannya.
Bahkan sakit parah pun tidak mau membatalkan tiarakatnya itu. Abah Noer lebih suka makan di warung-warung pinggir jalan. Tidak jarang ia menyuruh sopirnya berhenti saat melihat pedagang makanan di pinggir jalan. Sate kambing, soto Betawi, dan nasi Padang adalah makanan yang biasa ia beli.
Abah Noer lebih suka lebih jika uangnya disedekahkan kepada orang-orang yang kurang mampu dibanding untuk menikmati makanan restoran berkelas.
Hal unik lainnya dari Abah Noer. Dalam kesehariannya, beliau hanya menggunakan HP Nokia 105 untuk berkomunikasi. Merek gadget yang sudah sangat jadul. Kalau mau, ia bisa membeli HP keluaran terbaru dengan spesifikasi kelas elit. Tapi itulah Abah Noer, kiai ibu kota yang lebih menikmati kesederhanaan.
"Tidak apa-apa HP jadul, yang penting bisa nelepon dan SMS," tutur Iman Suhaimi, salah satu mantan pendereknya, menirukan dawuh Abah Noer suatu ketika, Rabu (16/11/022) lalu.
Sedekah kepada Preman
Selain masyhur sebagai sosok ulama yang sederhana, Abah Neor juga terkenal dengan sifat kedermawanannya. Beliau sangat penyayang terhadap anak yatim dan gemar membantu orang-orang yang kurang mampu.
"Abah (Noer) itu sosok yang dermawan ke semua orang, tidak hanya ke orang baik saja, bahkan ke orang yang perilakunya kurang baik padanya. Beliau tidak pandang bulu," aku Iman Suhaimi.
Pernah sekali waktu saat berhenti di lampu merah, Abah Noer memberi uang kepada preman di pinggir jalan. Kemudian santri yang saat itu ikut beliau bertanya "Abah, Abah tidak takut kalau nanti uang yang Abah berikan kepada mereka, mereka gunakan untuk membeli minuman keras, narkoba dan sejenisnya?"
Abah Noer menjawab: "Kan niat saya sedekah, masalah mereka gunakan untuk apa, itu terserah mereka dan menjadi tanggung jawab mereka. Niat saya ya hanya ingin sedekah."
Cerita menarik lain ketika beliau berobat di rumah sakit langganannya, RS Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di tempat ini pula beliau mengembuskan nafas terakhirnya pada 2020 silam.
Sekali waktu ia datang ke rumah sakit ini dan saat itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Semua dokter dan perawat yang ada di rumah sakit itu dibelikan makanan oleh Abah. Para dokter yang ada di situ pun kagum dengan kedermawanannya.
"Seumur-umur baru kali ini ada pasien yang seperti ini," kata mereka.
Karena penyakit yang dideritanya, ia harus harus bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah tiga kali dalam satu minggu. Setiap ke rumah sakit itu, ia selalu memberi uang kepada para satpam, tukang parkir dan tukang sapu yang ada di sana. Setiap orang yang ia temui, orang yang membantu membukakan kaca mobil, membantu mendorong kursi roda beliau, para perawat yang menjaga beliau, semuanya diberi uang oleh Abah Noer.
Dalam bahasa Jawa, Abah itu adalah orang yang nyah nyoh (tidak mikir-mikir) kalau memberi uang, ke siapapun baik dalam jumlah yang sedikit atau banyak sekalipun. Beberapa kali ia ditipu oleh orang-orang yang ingin meminjam uang, dan tahu kalau orang yang di hadapannya berniat menipu, tetap saja ia memberinya. Bahkan Abah Noer banyak memberangkatkan sahabat-sahabatnya untuk haji ke Baitullah.
Padahal tokoh agama asal Banyuwangi, Jawa Timur itu mudah saja jika ingin mendapatkan akses kemewahan tersebut. Tulisan ini adalah saksi kesederhanaan KH Noer Muhammad Iskandar, pendiri Pondok Pesantren Asshiddiqiyyah Jakarta. Selain sederhana, beliau juga dikenal sebagai Kiyai yang dermawan.
Kesederhanaan Abah Noer (sapaan akrabnya) terlihat dalam berpakaian ataupun mengkonsumsi makanan. Dari cara berpakaiannya, orang pasti mudah mengenal kalau beliau lebih sering memakai gamis putih dan peci putih yang biasa dikenakannya saat bepergian.
Sedangkan kalau di rumah, beliau biasanya memakai kaos oblong putih, celana panjang putih, peci putih, dan kadang memakai sarung. Kiyai lulusan Pesantren Lirboyo, Jawa Timur ini lebih suka memakai pakaian seperti itu. Padahal sebetulnya, beliau punya banyak baju dan kain sarung bermerek dengan harga yang cukup berkelas.
Dalam perihal makanan, Abah Noer juga sangat menarik. Tinggal di jantung Ibu Kota tentu banyak sekali kuliner mewah dan enak, apalagi bagi orang-orang yang ekonominya di atas kata cukup, tentu sangat mudah bisa mencicipi makanan mahal nan mewah itu.
Sebagai kiyai yang tersohor, tentu Abah Noer sangat mampu untuk membeli itu semua. Tapi beliau lebih menyukai makanan yang sederhana. Hal ini mungkin karena beliau sudah terbiasa hidup sederhana semasa menjadi santri. Tidak hanya itu, beliau juga istiqamah mengamalkan puasa Daud sejak puluhan tahun sampai detik kewafatannya.
Bahkan sakit parah pun tidak mau membatalkan tiarakatnya itu. Abah Noer lebih suka makan di warung-warung pinggir jalan. Tidak jarang ia menyuruh sopirnya berhenti saat melihat pedagang makanan di pinggir jalan. Sate kambing, soto Betawi, dan nasi Padang adalah makanan yang biasa ia beli.
Abah Noer lebih suka lebih jika uangnya disedekahkan kepada orang-orang yang kurang mampu dibanding untuk menikmati makanan restoran berkelas.
Hal unik lainnya dari Abah Noer. Dalam kesehariannya, beliau hanya menggunakan HP Nokia 105 untuk berkomunikasi. Merek gadget yang sudah sangat jadul. Kalau mau, ia bisa membeli HP keluaran terbaru dengan spesifikasi kelas elit. Tapi itulah Abah Noer, kiai ibu kota yang lebih menikmati kesederhanaan.
"Tidak apa-apa HP jadul, yang penting bisa nelepon dan SMS," tutur Iman Suhaimi, salah satu mantan pendereknya, menirukan dawuh Abah Noer suatu ketika, Rabu (16/11/022) lalu.
Sedekah kepada Preman
Selain masyhur sebagai sosok ulama yang sederhana, Abah Neor juga terkenal dengan sifat kedermawanannya. Beliau sangat penyayang terhadap anak yatim dan gemar membantu orang-orang yang kurang mampu.
"Abah (Noer) itu sosok yang dermawan ke semua orang, tidak hanya ke orang baik saja, bahkan ke orang yang perilakunya kurang baik padanya. Beliau tidak pandang bulu," aku Iman Suhaimi.
Pernah sekali waktu saat berhenti di lampu merah, Abah Noer memberi uang kepada preman di pinggir jalan. Kemudian santri yang saat itu ikut beliau bertanya "Abah, Abah tidak takut kalau nanti uang yang Abah berikan kepada mereka, mereka gunakan untuk membeli minuman keras, narkoba dan sejenisnya?"
Abah Noer menjawab: "Kan niat saya sedekah, masalah mereka gunakan untuk apa, itu terserah mereka dan menjadi tanggung jawab mereka. Niat saya ya hanya ingin sedekah."
Cerita menarik lain ketika beliau berobat di rumah sakit langganannya, RS Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di tempat ini pula beliau mengembuskan nafas terakhirnya pada 2020 silam.
Sekali waktu ia datang ke rumah sakit ini dan saat itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Semua dokter dan perawat yang ada di rumah sakit itu dibelikan makanan oleh Abah. Para dokter yang ada di situ pun kagum dengan kedermawanannya.
"Seumur-umur baru kali ini ada pasien yang seperti ini," kata mereka.
Karena penyakit yang dideritanya, ia harus harus bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah tiga kali dalam satu minggu. Setiap ke rumah sakit itu, ia selalu memberi uang kepada para satpam, tukang parkir dan tukang sapu yang ada di sana. Setiap orang yang ia temui, orang yang membantu membukakan kaca mobil, membantu mendorong kursi roda beliau, para perawat yang menjaga beliau, semuanya diberi uang oleh Abah Noer.
Dalam bahasa Jawa, Abah itu adalah orang yang nyah nyoh (tidak mikir-mikir) kalau memberi uang, ke siapapun baik dalam jumlah yang sedikit atau banyak sekalipun. Beberapa kali ia ditipu oleh orang-orang yang ingin meminjam uang, dan tahu kalau orang yang di hadapannya berniat menipu, tetap saja ia memberinya. Bahkan Abah Noer banyak memberangkatkan sahabat-sahabatnya untuk haji ke Baitullah.