Perang Sesama Umat Islam di Era Khalifah, Begini Penjelasan Muhammad Imarah
Senin, 28 November 2022 - 10:56 WIB
Pemikir Islam Kontemporer asal Mesir, Muhammad Imarah, mengatakan kesatuan umat Islam masih dapat merangkum dan mentolerir beberapa bentuk pergulatan politik sampai pada bentrokan bersenjata, karena orang-orang yang bertikai itu masih tetap menjaga loyalitas mereka kepada "negara yang satu".
Dalam buku berjudul "Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan" (Gema Insani Press, 1999), Muhammad Imarah menjelaskan orang-orang yang bertikai itu tetap menjaga kesatuan politik dan tetap loyal kepada "agama yang satu", sehingga mereka masih tetap menjaga faktor kesatuan agama.
Peperangan mereka adalah semata karena "takwil (perbedaan memahami teks agama), bukan karena "tanzil" (teks agama yang berbeda yang diimani), dan mereka, meskipun melakukan peperangan, berada dalam loyalitas kepada kesatuan negara dan kesatuan agama.
Menurutnya, pertikaian yang terjadi dalam peristiwa yang terkenal dengan "fitnah al kubra" pada zaman khulafa rasyidin berada dalam kerangka ini. Masing-masing pihak yang bertikai dan terlibat dalam peristiwa itu masih berada dalam naungan kesatuan umat. Dan peperangan yang terjadi di antara mereka tidak membuat salah satu pihak keluar dari umat, agama, atau negara.
Dalam kejadian Perang Shiffin (37H/657M), yang merupakan puncak fitnah itu, Imam Ali bin Abi Thalib berbicara tentang kesatuan agama yang menyatukan seluruh pihak yang bertikai dalam peperangan itu. Demikian juga kesatuan negara masih menaungi mereka. Ali bin Abi Thalib berkata:
"Kita berdiri berhadap-hadapan (dalam perang), sedangkan Tuhan kita satu, Nabi kita satu, dakwah kita dalam Islam satu, kami tidak menganggap keimanan kami kepada Allah SWT dan pembenaran kepada Rasulullah SAW lebih dari kalian, dan kalian pun tidak mengganggap diri kalian lebih dari kami. Semuanya satu, kecuali satu hal yang menjadi perselisihan di antara kita, yaitu tentang sikap atas darah Utsman. Sedangkan, kita semua dalam masalah itu (darah Utsman, penj.) tidak mempunyai kesalahan." [Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjil Balaghah, juz 17, hal. 141, tahqiq: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, cet. Kairo, tahun 1959 M]
Agama mereka satu dan menaungi semuanya. Mereka berada dalam kesatuan yang melingkupi semuanya, sementara perselisihan dan pertikaian itu hanya pada masalah sikap atas "darah" Utsman ra saja.
Ali ra lalu menangkis pemikiran dan pendapat Khawarij yang buruk. Mereka mengkafirkan Mu'awiyah dan penduduk Syam. Ali ra berkata:
"Demi Allah, sesungguhnya kita memerangi penduduk Syam bukan karena sebab yang diduga oleh mereka itu (kaum Khawarij) yang mengkafirkan mereka dan menganggap mereka telah keluar dari agama Islam. Kita memerangi mereka hanyalah untuk mengembalikan mereka kepada jama'ah (artinya: jama'ah politik) dan mereka tetap saudara kita dalam agama, dan kiblat kita tetap satu.
Sementara itu, yang terjadi, menurut pendapat kita, adalah: kita berada dalam kebenaran, sementara mereka berbuat kesalahan!." [Al Baqillani, At Tamhid fir Raddi alal Mulhidah wal Mu'aththilah, war Rafidhah, wal Khawarij, wal Mu'tazilah, hal. 237-238, tahqiq: Mahmud Muhammad al Khudhairi, Dr. Muhammad Abdul Hadi Abu Raidah, cet. Kairo, tahun 1947 M.].
Lebih lanjut, Ali ra menekankan bahwa sumber-sumber perselisihan itu adalah "kerancuan-kerancuan pendapat" yang dihasilkan oleh takwil" saja. Hal itu tidak mengeluarkan mereka dari persaudaraan Islam. Ali ra berkata:
"Kita telah memerangi saudara kita sesama Islam, karena adanya kesalahan pendapat, penyimpangan, kerancuan berpikir, dan ketidaktepatan melakukan takwil. Jika kita berusaha mencapai suatu solusi, yang dengannya Allah SWT menyatukan kembali ikatan persaudaraan kita dan menghilangkan apa yang menjadi masalah di antara kita, maka hal itu amat kita inginkan, dan akan kita ambil solusi itu, bukan yang lainnya." [Al Imam Ali, Nahjul Balaghah, hal. 147-148, cet. Dar Sya'b, Kairo]
Saat ditanya pendapatnya tentang nasib orang-orang yang terbunuh dari dua kelompok itu nantinya di akhirat, Ali menjawab:
"Aku berharap semoga tidak ada orang yang terbunuh yang hatinya bersih, baik dari kita maupun dari mereka, kecuali Allah SWT masukkan dia ke dalam surga." [Al Baqillani, At Tamhid, hal. 237]
"Demikianlah, kesatuan agama dan negara dapat menaungi dan mentoleransi pluralitas, sekalipun pada saat unsur-unsur pluralitas itu terlibat dalam peperangan bersenjata di antara mereka," ujar Muhammad Imarah.
Dalam buku berjudul "Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan" (Gema Insani Press, 1999), Muhammad Imarah menjelaskan orang-orang yang bertikai itu tetap menjaga kesatuan politik dan tetap loyal kepada "agama yang satu", sehingga mereka masih tetap menjaga faktor kesatuan agama.
Peperangan mereka adalah semata karena "takwil (perbedaan memahami teks agama), bukan karena "tanzil" (teks agama yang berbeda yang diimani), dan mereka, meskipun melakukan peperangan, berada dalam loyalitas kepada kesatuan negara dan kesatuan agama.
Baca Juga
Menurutnya, pertikaian yang terjadi dalam peristiwa yang terkenal dengan "fitnah al kubra" pada zaman khulafa rasyidin berada dalam kerangka ini. Masing-masing pihak yang bertikai dan terlibat dalam peristiwa itu masih berada dalam naungan kesatuan umat. Dan peperangan yang terjadi di antara mereka tidak membuat salah satu pihak keluar dari umat, agama, atau negara.
Dalam kejadian Perang Shiffin (37H/657M), yang merupakan puncak fitnah itu, Imam Ali bin Abi Thalib berbicara tentang kesatuan agama yang menyatukan seluruh pihak yang bertikai dalam peperangan itu. Demikian juga kesatuan negara masih menaungi mereka. Ali bin Abi Thalib berkata:
"Kita berdiri berhadap-hadapan (dalam perang), sedangkan Tuhan kita satu, Nabi kita satu, dakwah kita dalam Islam satu, kami tidak menganggap keimanan kami kepada Allah SWT dan pembenaran kepada Rasulullah SAW lebih dari kalian, dan kalian pun tidak mengganggap diri kalian lebih dari kami. Semuanya satu, kecuali satu hal yang menjadi perselisihan di antara kita, yaitu tentang sikap atas darah Utsman. Sedangkan, kita semua dalam masalah itu (darah Utsman, penj.) tidak mempunyai kesalahan." [Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjil Balaghah, juz 17, hal. 141, tahqiq: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, cet. Kairo, tahun 1959 M]
Agama mereka satu dan menaungi semuanya. Mereka berada dalam kesatuan yang melingkupi semuanya, sementara perselisihan dan pertikaian itu hanya pada masalah sikap atas "darah" Utsman ra saja.
Ali ra lalu menangkis pemikiran dan pendapat Khawarij yang buruk. Mereka mengkafirkan Mu'awiyah dan penduduk Syam. Ali ra berkata:
"Demi Allah, sesungguhnya kita memerangi penduduk Syam bukan karena sebab yang diduga oleh mereka itu (kaum Khawarij) yang mengkafirkan mereka dan menganggap mereka telah keluar dari agama Islam. Kita memerangi mereka hanyalah untuk mengembalikan mereka kepada jama'ah (artinya: jama'ah politik) dan mereka tetap saudara kita dalam agama, dan kiblat kita tetap satu.
Sementara itu, yang terjadi, menurut pendapat kita, adalah: kita berada dalam kebenaran, sementara mereka berbuat kesalahan!." [Al Baqillani, At Tamhid fir Raddi alal Mulhidah wal Mu'aththilah, war Rafidhah, wal Khawarij, wal Mu'tazilah, hal. 237-238, tahqiq: Mahmud Muhammad al Khudhairi, Dr. Muhammad Abdul Hadi Abu Raidah, cet. Kairo, tahun 1947 M.].
Lebih lanjut, Ali ra menekankan bahwa sumber-sumber perselisihan itu adalah "kerancuan-kerancuan pendapat" yang dihasilkan oleh takwil" saja. Hal itu tidak mengeluarkan mereka dari persaudaraan Islam. Ali ra berkata:
"Kita telah memerangi saudara kita sesama Islam, karena adanya kesalahan pendapat, penyimpangan, kerancuan berpikir, dan ketidaktepatan melakukan takwil. Jika kita berusaha mencapai suatu solusi, yang dengannya Allah SWT menyatukan kembali ikatan persaudaraan kita dan menghilangkan apa yang menjadi masalah di antara kita, maka hal itu amat kita inginkan, dan akan kita ambil solusi itu, bukan yang lainnya." [Al Imam Ali, Nahjul Balaghah, hal. 147-148, cet. Dar Sya'b, Kairo]
Saat ditanya pendapatnya tentang nasib orang-orang yang terbunuh dari dua kelompok itu nantinya di akhirat, Ali menjawab:
"Aku berharap semoga tidak ada orang yang terbunuh yang hatinya bersih, baik dari kita maupun dari mereka, kecuali Allah SWT masukkan dia ke dalam surga." [Al Baqillani, At Tamhid, hal. 237]
"Demikianlah, kesatuan agama dan negara dapat menaungi dan mentoleransi pluralitas, sekalipun pada saat unsur-unsur pluralitas itu terlibat dalam peperangan bersenjata di antara mereka," ujar Muhammad Imarah.
(mhy)
Lihat Juga :