Tingkatan Manusia dan Status Pelaku Dosa Kecil Menurut Syaikh Al-Qardhawi
Rabu, 07 Desember 2022 - 16:03 WIB
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan manusia Islam (muslim) itu bertingkat-tingkat. Keliru bila kita memperlakukan manusia tanpa melihat perbedaan-perbedaan nyata dalam masyarakat. Di dalam masyarakat kita menjumpai adanya individu yang awam dan khawas, junior dan senior, serta yang lemah dan yang kuat.
Dalam buku berjudul "As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili" atau "Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar" (Gema Insani Press), al-Qardhawi menjelaskan Islam sendiri dapat menerima perbedaan-perbedaan tersebut.
Oleh karena itu, di dalam Islam, kita mengenal terminologi azimah, rukhshah, adil, fadl, fardhu, sunnah, dan mustahab. Orang-orang dahulu mengatakan, "Kebaikan orang-orang yang baik adalah kejelekan orang-orang yang dekat dengan Allah," ujarnya.
Allah SWT berfirman,
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah." ( QS Faathir : 32)
Pada ayat ini, kata al-Qardhawi, orang-orang yang zalim atas diri sendiri ditafsirkan sebagai orang yang lalai terhadap sebagian kewajiban dan melakukan sebagian hal yang dilarang Islam.
Orang-orang yang pertengahan (muqtashid) ditafsirkan sebagai orang yang sembrono terhadap kewajiban-kewajiban, namun ia meninggalkan yang diharamkan.
Orang-orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan (saabiq bil-khairat) ditafsirkan sebagai orang yang merasa tidak cukup menunaikan kewajiban-kewajiban, melainkan menambahnya dengan mengerjakan amal-amal sunnah dan yang mustahabbah; tidak saja berhenti dari hal-hal yang diharamkan, bahkan memelihara diri dari hal-hal yang syubhat dan makruh, serta meninggalkan sebagian hal yang boleh dilakukan karena khawatir menjadi berlebihan yang akan mendorong pada kekeliruan.
Ketiga kelompok manusia --termasuk kelompok yang berbuat zalim terhadap diri sendiri-- sebagaimana digambarkan dalam ayat tersebut di atas termasuk kelompok umat yang terpilih dan mewarisi Al-Qur'an dari Allah sebagaimana difirmankan,
"Kemudian Kami wariskan Al-Kitab kepada orang-orang yang Kami pilih dari hamba-hamba-Ku..." (QS Faathir: 32)
Sehingga keliru mengeluarkan sebagian orang dari agama dan umatnya (mengganggapnya kafir) hanya karena mereka durhaka dan menzalimi diri. Termasuk kekeliruan pula, mengganggap semua orang harus menjadi kelompok yang cepat melakukan kebaikan dengan izin Allah SWT.
Di antara kaum muslimin, ada orang yang mempunyai semangat meluap-luap (eksplosif) dan emosi religiusitas yang sensitif, sehingga mereka mudah menuduh orang lain sebagai fasik dan bersikap memusuhi hanya karena orang itu terlihat melakukan dosa kecil atau mengerjakan sebagian hal yang tergolong mutasyabihat. Padahal dalam perkara mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat mengenai status hukumnya. Lagipula perkara tersebut tidak sampai pada tingkatan haram secara pasti.
Status Pelaku Kesalahan Kecil
Menurut al-Qardhawi, sebagian muslim yang ikhlas dan baik lupa bahwa kita tidak diperkenankan mengklaim muslim lain telah keluar dari kelompok masyarakat Islam hanya karena melakukan kesalahan kecil dalam beragama.
Al-Qur'an sendiri telah memberikan pengecualian terhadap pembuat kesalahan kecil (al-lamam). Al-Qur'an tidak menganggapnya jatuh karena kebaikan orang-orang yang berbuat baik, sebagaimana menjauhi dosa-dosa besar dapat menghapus dosa-dosa kecil.
Allah SWT berfirman
"Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya..." ( QS an-Najm : 31-32).
Menurut para pakar tafsir (mufassir), ada dua makna "al-lammam yang dikecualikan" pada ayat tersebut. Seyogianya kita tidak melupakan kedua makna ini, mengingat di dalam keduanya terdapat keterangan tentang keluasan ampunan Allah SWT seperti tertera pada ayat itu.
Al-Hafiz Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas sebagai berikut. "Orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinun) ditafsirkan sebagai orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji. Artinya, mereka benar-benar menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan yang berdosa besar. Jika di antara mereka ada yang terjatuh ke dalam sebagian dosa kecil, maka Allah SWT mengarnpuni dan menutupi (dosa)-nya, sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." ( QS an-Nisa : 31)
"(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil." (an-Najm: 32)
Hal ini merupakan pengecualian yang tegas, sebab kesalahan-kesalahan kecil itu merupakan dosa-dosa kecil dan perbuatan-perbuatan yang menghinakan."
Kemudian Ibnu Katsir menjelaskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Shaikhan (Bukhari-Muslim) dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Aku tak pernah melihat sesuatu serupa dengan kesalahan-kesalahan kecil dari apa yang dikatakan Abu Hurairah dari Rasulullah saw.,
'Sesungguhnya Allah Ta'ala mencatat atas anak Adam bagiannya dari zina, dan hal itu tak bisa dihindari. Zina mata adalah dengan memandang, zina lisan dengan mengucapkan, zina nafsu dengan berangan-angan dan berkeinginan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakannya (melakukan atau menghindarinya).'
Ibnu Mas'ud dan Abu Hurairah menafsirkan al-lamam (kesalahan-kesalahan kecil) seperti memandang, mencium, meraba, dan menyenggol lawan jenis, kecuali terjadi persentuhan antara dua alat kelamin, sebab hal ini tergolong zina.
Ibnu Abbas meriwayatkan tafsir yang lain dari al-lamam. Ia berkata, "Maksudnya adalah pria yang berbuat keji kemudian bertobat." Dikatakannya bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Jika Engkau (Allah) mengampuni semua (dosa), maka hamba mana yang tidak melakukan dosa-dosa kecil?." Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Jarir dan Tarmidzi yang mengatakan bahwa hadits tersebut tergolong hasan-shahih. Ibnu Katsir mempertegas, "Hadits tersebut juga hasan menurut riwayat dari Abu Hurairah."
Makna kedua tentang tafsir al-lamam adalah al-lamam dan ilmam merupakan suatu (kesalahan) yang dilakukan oleh seorang muslim secara sporadis (kadang-kadang), tidak mendalam, dan tidak terus menerus. Misalnya dikatakan, "Aku telah menghampirinya," berarti ia mengunjunginya dan kemudian pergi lagi. Dikatakan pula, "Aku hanya melakukannya secara sporadis (lamaman wa ilmaaman)," berarti perbuatan tersebut hanya dilakukan sesekali saja.
Keterangan ini menunjukkan bahwa Islam terbuka lebar bagi setiap orang yang tidak sampai melakukan dosa-dosa besar dan sesungguhnya ampunan Allah SWT terbuka bagi setiap pelaku dosa yang bertobat atas dosa-dosanya.
Salah satu kehebatan pendidikan Islam adalah ajaran bahwa seorang muslim tidak perlu ambil pusing (membincangkan, membesar-besarkan, --peny.) terhadap dosa-dosa kecil dan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada muslim lainnya yang taat mengerjakan amal-amal fardhu dan menghindari diri dari dosa-dosa besar, karena tidak ada manusia yang terbebas dari dosa (ma'shum) setelah Rasulullah saw.. Setiap anak cucu Adam mempunyai dosa dan Allah SWT tidak menciptakan manusia seperti malaikat yang suci.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui sanadnya, sebuah cerita dari Ibnu 'Aun dari Hasan al-Basri bahwa sekelompok orang menemui Abdullah Ibnu Amr di Mesir. Mereka berkata, "Kami melihat sesuatu (ketentuan) dari Kitab Allah 'Azza wa Jalla yang diperintahkan untuk dilaksanakan, namun tidak dilaksanakan. Maka kami hendak menemui Amirul Mukminin (Umar ibnul Khattab r.a.) untuk membicarakan masalah ini.
Lalu Umar datang dan bertanya, "Kapan datang?" Seorang di antara mereka menjawab, "Sejak ini ... ini ..." "Apakah kamu datang dengan izin?," tanya Umar (Hasan, pembawa cerita ini, berkata, "Kami tidak tahu lagi bagaimana orang ini menjawab pertanyaan Umar"). Orang ini melaporkan, "Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya di Mesir ada sekelompok orang menemui kami. Mereka berkata, 'Sesungguhnya kami melihat banyak hal di dalam Kitab Allah yang diperintahkan untuk dilaksanakan, namun tidak dilaksanakan.' Maka mereka ingin bertemu denganmu untuk menyampaikan hal ini." Umar menjawab, "Kumpulkan mereka dan ajaklah kemari."
Hasan berkata, "Orang itu lalu mengumpulkan mereka dan membawanya kepada Umar." Ibnu 'Aun berkata, "Pertemuan dilaksanakan dalam ruang khusus." Kemudian Umar menarik salah seorang dari mereka yang terdekat dengannya. Maka Umar berkata, "Kusumpah engkau demi Allah SWT dan demi hak Islam atasmu. Apakah engkau telah membaca Al-Qur'an secara keseluruhan?" Orang itu menjawab, "Ya." Umar bertanya, "Apakah engkau telah menghayati isinya untuk dirimu?" (Maksudnya, apakah bacaan itu telah diupayakan untuk meluruskan niat, membersihkan hati, dan mengoreksi diri?). "Sungguh tidak (belum)," jawabnya (Andaikan dia menjawab "Ya," maka dia akan dituntut untuk memberikan argumentasi).
Umar kembali bertanya, "Apakah engkau telah mencocokkannya dengan penglihatan, pembicaraan, dan langkah-langkahmu?" Kemudian ditutup dengan pertanyaan terakhir, "Apakah engkau telah mencocokkan pengamalan Al-Qur'an dalam jiwa dan anggota tubuh, perkataan dan perbuatan, serta gerak dan diammu?" Mereka menjawab, "Sungguh tidak (belum)."
Khalifah kedua ini bertanya, "Apakah kalian membebankan kepada orang lain agar melaksanakan Kitab Allah (maksudnya, gambaran yang dipahami mereka tentang isi Al-Qur'an) padahal kalian tidak melaksanakannya sebagaimana pengakuan kalian?"
Allah SWT mengetahui bahwa kita tidak akan lepas total dari kejelekan-kejelekan. Umar kemudian membacakan ayat,
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." ( QS an-Nisa : 31)
Ia bertanya, "Apakah ada penduduk Madinah yang mengetahui kedatangan kalian kemari?" "Tidak," jawab mereka. Umar mengatakan, "Andaikan mereka mengetahui kedatangan kalian, tentu aku akan menjadikanmu sebagai bahan pelajaran bagi mereka."
Dengan fikih ala Umar yang peka terhadap Al-Qur'an ini, ia sangat menekankan masalah kemudahan ini sejak semula, menutup pintu kesulitan dan memfasih-fasihkan bacaan. Meskipun usaha membuat kemudahan-kemudahan ini yang barangkali menyulut datangnya malapetaka (wafatnya, --pent.) yang tidak diketahui duduk persoalannya secara jelas kecuali oleh Allah SWT.
Dalam buku berjudul "As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili" atau "Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar" (Gema Insani Press), al-Qardhawi menjelaskan Islam sendiri dapat menerima perbedaan-perbedaan tersebut.
Oleh karena itu, di dalam Islam, kita mengenal terminologi azimah, rukhshah, adil, fadl, fardhu, sunnah, dan mustahab. Orang-orang dahulu mengatakan, "Kebaikan orang-orang yang baik adalah kejelekan orang-orang yang dekat dengan Allah," ujarnya.
Allah SWT berfirman,
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah." ( QS Faathir : 32)
Pada ayat ini, kata al-Qardhawi, orang-orang yang zalim atas diri sendiri ditafsirkan sebagai orang yang lalai terhadap sebagian kewajiban dan melakukan sebagian hal yang dilarang Islam.
Orang-orang yang pertengahan (muqtashid) ditafsirkan sebagai orang yang sembrono terhadap kewajiban-kewajiban, namun ia meninggalkan yang diharamkan.
Orang-orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan (saabiq bil-khairat) ditafsirkan sebagai orang yang merasa tidak cukup menunaikan kewajiban-kewajiban, melainkan menambahnya dengan mengerjakan amal-amal sunnah dan yang mustahabbah; tidak saja berhenti dari hal-hal yang diharamkan, bahkan memelihara diri dari hal-hal yang syubhat dan makruh, serta meninggalkan sebagian hal yang boleh dilakukan karena khawatir menjadi berlebihan yang akan mendorong pada kekeliruan.
Ketiga kelompok manusia --termasuk kelompok yang berbuat zalim terhadap diri sendiri-- sebagaimana digambarkan dalam ayat tersebut di atas termasuk kelompok umat yang terpilih dan mewarisi Al-Qur'an dari Allah sebagaimana difirmankan,
"Kemudian Kami wariskan Al-Kitab kepada orang-orang yang Kami pilih dari hamba-hamba-Ku..." (QS Faathir: 32)
Sehingga keliru mengeluarkan sebagian orang dari agama dan umatnya (mengganggapnya kafir) hanya karena mereka durhaka dan menzalimi diri. Termasuk kekeliruan pula, mengganggap semua orang harus menjadi kelompok yang cepat melakukan kebaikan dengan izin Allah SWT.
Di antara kaum muslimin, ada orang yang mempunyai semangat meluap-luap (eksplosif) dan emosi religiusitas yang sensitif, sehingga mereka mudah menuduh orang lain sebagai fasik dan bersikap memusuhi hanya karena orang itu terlihat melakukan dosa kecil atau mengerjakan sebagian hal yang tergolong mutasyabihat. Padahal dalam perkara mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat mengenai status hukumnya. Lagipula perkara tersebut tidak sampai pada tingkatan haram secara pasti.
Status Pelaku Kesalahan Kecil
Menurut al-Qardhawi, sebagian muslim yang ikhlas dan baik lupa bahwa kita tidak diperkenankan mengklaim muslim lain telah keluar dari kelompok masyarakat Islam hanya karena melakukan kesalahan kecil dalam beragama.
Al-Qur'an sendiri telah memberikan pengecualian terhadap pembuat kesalahan kecil (al-lamam). Al-Qur'an tidak menganggapnya jatuh karena kebaikan orang-orang yang berbuat baik, sebagaimana menjauhi dosa-dosa besar dapat menghapus dosa-dosa kecil.
Allah SWT berfirman
"Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya..." ( QS an-Najm : 31-32).
Menurut para pakar tafsir (mufassir), ada dua makna "al-lammam yang dikecualikan" pada ayat tersebut. Seyogianya kita tidak melupakan kedua makna ini, mengingat di dalam keduanya terdapat keterangan tentang keluasan ampunan Allah SWT seperti tertera pada ayat itu.
Al-Hafiz Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas sebagai berikut. "Orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinun) ditafsirkan sebagai orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji. Artinya, mereka benar-benar menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan yang berdosa besar. Jika di antara mereka ada yang terjatuh ke dalam sebagian dosa kecil, maka Allah SWT mengarnpuni dan menutupi (dosa)-nya, sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." ( QS an-Nisa : 31)
"(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil." (an-Najm: 32)
Hal ini merupakan pengecualian yang tegas, sebab kesalahan-kesalahan kecil itu merupakan dosa-dosa kecil dan perbuatan-perbuatan yang menghinakan."
Kemudian Ibnu Katsir menjelaskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Shaikhan (Bukhari-Muslim) dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Aku tak pernah melihat sesuatu serupa dengan kesalahan-kesalahan kecil dari apa yang dikatakan Abu Hurairah dari Rasulullah saw.,
'Sesungguhnya Allah Ta'ala mencatat atas anak Adam bagiannya dari zina, dan hal itu tak bisa dihindari. Zina mata adalah dengan memandang, zina lisan dengan mengucapkan, zina nafsu dengan berangan-angan dan berkeinginan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakannya (melakukan atau menghindarinya).'
Ibnu Mas'ud dan Abu Hurairah menafsirkan al-lamam (kesalahan-kesalahan kecil) seperti memandang, mencium, meraba, dan menyenggol lawan jenis, kecuali terjadi persentuhan antara dua alat kelamin, sebab hal ini tergolong zina.
Ibnu Abbas meriwayatkan tafsir yang lain dari al-lamam. Ia berkata, "Maksudnya adalah pria yang berbuat keji kemudian bertobat." Dikatakannya bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Jika Engkau (Allah) mengampuni semua (dosa), maka hamba mana yang tidak melakukan dosa-dosa kecil?." Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Jarir dan Tarmidzi yang mengatakan bahwa hadits tersebut tergolong hasan-shahih. Ibnu Katsir mempertegas, "Hadits tersebut juga hasan menurut riwayat dari Abu Hurairah."
Makna kedua tentang tafsir al-lamam adalah al-lamam dan ilmam merupakan suatu (kesalahan) yang dilakukan oleh seorang muslim secara sporadis (kadang-kadang), tidak mendalam, dan tidak terus menerus. Misalnya dikatakan, "Aku telah menghampirinya," berarti ia mengunjunginya dan kemudian pergi lagi. Dikatakan pula, "Aku hanya melakukannya secara sporadis (lamaman wa ilmaaman)," berarti perbuatan tersebut hanya dilakukan sesekali saja.
Keterangan ini menunjukkan bahwa Islam terbuka lebar bagi setiap orang yang tidak sampai melakukan dosa-dosa besar dan sesungguhnya ampunan Allah SWT terbuka bagi setiap pelaku dosa yang bertobat atas dosa-dosanya.
Salah satu kehebatan pendidikan Islam adalah ajaran bahwa seorang muslim tidak perlu ambil pusing (membincangkan, membesar-besarkan, --peny.) terhadap dosa-dosa kecil dan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada muslim lainnya yang taat mengerjakan amal-amal fardhu dan menghindari diri dari dosa-dosa besar, karena tidak ada manusia yang terbebas dari dosa (ma'shum) setelah Rasulullah saw.. Setiap anak cucu Adam mempunyai dosa dan Allah SWT tidak menciptakan manusia seperti malaikat yang suci.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui sanadnya, sebuah cerita dari Ibnu 'Aun dari Hasan al-Basri bahwa sekelompok orang menemui Abdullah Ibnu Amr di Mesir. Mereka berkata, "Kami melihat sesuatu (ketentuan) dari Kitab Allah 'Azza wa Jalla yang diperintahkan untuk dilaksanakan, namun tidak dilaksanakan. Maka kami hendak menemui Amirul Mukminin (Umar ibnul Khattab r.a.) untuk membicarakan masalah ini.
Lalu Umar datang dan bertanya, "Kapan datang?" Seorang di antara mereka menjawab, "Sejak ini ... ini ..." "Apakah kamu datang dengan izin?," tanya Umar (Hasan, pembawa cerita ini, berkata, "Kami tidak tahu lagi bagaimana orang ini menjawab pertanyaan Umar"). Orang ini melaporkan, "Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya di Mesir ada sekelompok orang menemui kami. Mereka berkata, 'Sesungguhnya kami melihat banyak hal di dalam Kitab Allah yang diperintahkan untuk dilaksanakan, namun tidak dilaksanakan.' Maka mereka ingin bertemu denganmu untuk menyampaikan hal ini." Umar menjawab, "Kumpulkan mereka dan ajaklah kemari."
Hasan berkata, "Orang itu lalu mengumpulkan mereka dan membawanya kepada Umar." Ibnu 'Aun berkata, "Pertemuan dilaksanakan dalam ruang khusus." Kemudian Umar menarik salah seorang dari mereka yang terdekat dengannya. Maka Umar berkata, "Kusumpah engkau demi Allah SWT dan demi hak Islam atasmu. Apakah engkau telah membaca Al-Qur'an secara keseluruhan?" Orang itu menjawab, "Ya." Umar bertanya, "Apakah engkau telah menghayati isinya untuk dirimu?" (Maksudnya, apakah bacaan itu telah diupayakan untuk meluruskan niat, membersihkan hati, dan mengoreksi diri?). "Sungguh tidak (belum)," jawabnya (Andaikan dia menjawab "Ya," maka dia akan dituntut untuk memberikan argumentasi).
Umar kembali bertanya, "Apakah engkau telah mencocokkannya dengan penglihatan, pembicaraan, dan langkah-langkahmu?" Kemudian ditutup dengan pertanyaan terakhir, "Apakah engkau telah mencocokkan pengamalan Al-Qur'an dalam jiwa dan anggota tubuh, perkataan dan perbuatan, serta gerak dan diammu?" Mereka menjawab, "Sungguh tidak (belum)."
Baca Juga
Khalifah kedua ini bertanya, "Apakah kalian membebankan kepada orang lain agar melaksanakan Kitab Allah (maksudnya, gambaran yang dipahami mereka tentang isi Al-Qur'an) padahal kalian tidak melaksanakannya sebagaimana pengakuan kalian?"
Allah SWT mengetahui bahwa kita tidak akan lepas total dari kejelekan-kejelekan. Umar kemudian membacakan ayat,
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." ( QS an-Nisa : 31)
Ia bertanya, "Apakah ada penduduk Madinah yang mengetahui kedatangan kalian kemari?" "Tidak," jawab mereka. Umar mengatakan, "Andaikan mereka mengetahui kedatangan kalian, tentu aku akan menjadikanmu sebagai bahan pelajaran bagi mereka."
Dengan fikih ala Umar yang peka terhadap Al-Qur'an ini, ia sangat menekankan masalah kemudahan ini sejak semula, menutup pintu kesulitan dan memfasih-fasihkan bacaan. Meskipun usaha membuat kemudahan-kemudahan ini yang barangkali menyulut datangnya malapetaka (wafatnya, --pent.) yang tidak diketahui duduk persoalannya secara jelas kecuali oleh Allah SWT.
(mhy)