Kisah Tragedi Hari Kamis, saat Rasulullah SAW Sakit Keras
Kamis, 29 Desember 2022 - 15:22 WIB
Pada waktu Nabi Muhammad SAW sakit keras, beliau bersabda, "Bawa kepadaku Kitab agar kalian tidak akan sesat sesudahku." Umar bin Khattab berkata. "Sakit keras menguasai diri. Pada kita ada kitab Allah itu cukup buat kita."
Orang-orang pun bertikai dan ramailah pembicaraan. Nabi SAW berkata, "Enyahlah kalian dari sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku."
Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadis di atas menyebutkannya sebagai tragedi hari Kamis. "Alangkah tragisnya kejadian yang menghalangi Nabi SAW untuk menuliskan wasiatnya," tutur Ibnu Abbas.
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat (1949-2021) dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Dari Sunnah ke Hadits atau Sebaliknya" berujar kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai tragedi.
"Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapan Nabi SAW yang sedang udzur, sehingga Nabi SAW murka kepada mereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduh perintah Nabi SAW itu dilakukan tidak sadar, sehingga tidak perlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwa al-Qur'an saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjuk Rasulullah saw di luar itu?" ujar Jalaludin Rakhmat.
Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwa itu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memuji kebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan.
Al-Qurthubi mengatakan, "Memang yang diperintah harus segera menjalankan perintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat perintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yang terbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi SAW dengan sesuatu yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi ada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini sedikit pun," dan al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu. Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita."
Sedangkan al-Khithabi berkata: "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu, karena sekiranya Nabi SAW menetapkan sesuatu yang menghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu tak ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi."
Selanjutnya Ibn al-Jawzi berkata: "Umar khawatir sekiranya Nabi SAW menuliskan dalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencari jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu."
Apapun komentar para ulama, kata Jalaluddin Rahmat, perkataan Umar, "Kitab Allah ...," telah memulai problematika sunnah atau hadis yang berada di luar al-Qur'an.
"Betulkah al-Qur'an saja sudah cukup? Atau bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah karya ilahi, sedangkan sunnah atau hadis adalah produk pemikiran manusia; dan karena itu tidak mengikat?" katanya.
Menurut Jalaluddin Rahmat, sikap Umar terhadap hadis adalah sikap Abu Bakar juga. Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak setelah Nabi SAW wafat.
Abu Bakar berkata: "Kamu sekalian meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah SAW, sehingga kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadis sedikit pun dari Rasulullah SAW. Bila ada orang yang meminta kalian (meriwayatkan hadis), katakan di antara kita dan Anda ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan apa yang diharamkannya."
Baik Abu Bakar maupun Umar, menurut Jalaluddin Rahmat, menegaskan sikap mereka dengan tindakan. Mereka melarang periwayatan hadis dengan keras.
Aisyah bercerita, "Ayahku telah menghimpun 500 hadis dari Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, "Bawa hadis-hadis itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu." Ia lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati, meninggalkan hadis-hadis itu kepadamu."
Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata, "Hadis-hadis makin bertambah banyak pada zaman Umar. Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelah hadis-hadis itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnat Ahli Kitab."
Menurut Jalaluddin Rahmat, Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin Musayyab tidak mau menuliskan hadis.
Situasi seperti ini berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan hadis. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Mekkah, Malik di Madinah. Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.
"Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar merujuk selain al-Qur'an?" ujar Jalaluddin Rahmat.
"Ketika mereka ingin mengetahui cara-cara sholat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan Islam, apa yang mereka jadikan acuan?" lanjutnya.
Fazlur Rahman menjawab, mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu mereka melihat hadis. Sekarang, dalam rangka membuka pintu ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. "Saya melihat perkembangan sebaliknya: dari hadis ke sunnah. Untuk membuka pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada kedua konsep itu," ujarnya.
Orang-orang pun bertikai dan ramailah pembicaraan. Nabi SAW berkata, "Enyahlah kalian dari sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku."
Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadis di atas menyebutkannya sebagai tragedi hari Kamis. "Alangkah tragisnya kejadian yang menghalangi Nabi SAW untuk menuliskan wasiatnya," tutur Ibnu Abbas.
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat (1949-2021) dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Dari Sunnah ke Hadits atau Sebaliknya" berujar kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai tragedi.
"Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapan Nabi SAW yang sedang udzur, sehingga Nabi SAW murka kepada mereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduh perintah Nabi SAW itu dilakukan tidak sadar, sehingga tidak perlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwa al-Qur'an saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjuk Rasulullah saw di luar itu?" ujar Jalaludin Rakhmat.
Baca Juga
Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwa itu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memuji kebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan.
Al-Qurthubi mengatakan, "Memang yang diperintah harus segera menjalankan perintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat perintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yang terbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi SAW dengan sesuatu yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi ada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini sedikit pun," dan al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu. Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita."
Sedangkan al-Khithabi berkata: "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu, karena sekiranya Nabi SAW menetapkan sesuatu yang menghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu tak ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi."
Selanjutnya Ibn al-Jawzi berkata: "Umar khawatir sekiranya Nabi SAW menuliskan dalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencari jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu."
Apapun komentar para ulama, kata Jalaluddin Rahmat, perkataan Umar, "Kitab Allah ...," telah memulai problematika sunnah atau hadis yang berada di luar al-Qur'an.
"Betulkah al-Qur'an saja sudah cukup? Atau bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah karya ilahi, sedangkan sunnah atau hadis adalah produk pemikiran manusia; dan karena itu tidak mengikat?" katanya.
Menurut Jalaluddin Rahmat, sikap Umar terhadap hadis adalah sikap Abu Bakar juga. Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak setelah Nabi SAW wafat.
Abu Bakar berkata: "Kamu sekalian meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah SAW, sehingga kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadis sedikit pun dari Rasulullah SAW. Bila ada orang yang meminta kalian (meriwayatkan hadis), katakan di antara kita dan Anda ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan apa yang diharamkannya."
Baik Abu Bakar maupun Umar, menurut Jalaluddin Rahmat, menegaskan sikap mereka dengan tindakan. Mereka melarang periwayatan hadis dengan keras.
Aisyah bercerita, "Ayahku telah menghimpun 500 hadis dari Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, "Bawa hadis-hadis itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu." Ia lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati, meninggalkan hadis-hadis itu kepadamu."
Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata, "Hadis-hadis makin bertambah banyak pada zaman Umar. Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelah hadis-hadis itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnat Ahli Kitab."
Menurut Jalaluddin Rahmat, Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin Musayyab tidak mau menuliskan hadis.
Situasi seperti ini berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan hadis. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Mekkah, Malik di Madinah. Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.
"Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar merujuk selain al-Qur'an?" ujar Jalaluddin Rahmat.
"Ketika mereka ingin mengetahui cara-cara sholat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan Islam, apa yang mereka jadikan acuan?" lanjutnya.
Fazlur Rahman menjawab, mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu mereka melihat hadis. Sekarang, dalam rangka membuka pintu ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. "Saya melihat perkembangan sebaliknya: dari hadis ke sunnah. Untuk membuka pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada kedua konsep itu," ujarnya.
(mhy)